Agus Mulyadi Njaluk Rabi

Tampang Gelandang

| Saturday 18 May 2019 |

Beberapa waktu yang lewat, saya mengisi semacam acara lokakarya mahasiswa di salah satu kampus pascasarjana di bilangan Sagan. Acara berlangsung dari pukul tiga sore dan berakhir sekitar lima belas menit menjelang maghrib.

Begitu acara selesai, saya buru-buru pamit ke panitia sebab saya keburu ingin berbuka di salah satu rumah makan langganan saya di Jakal atas.

“Nggak nunggu buka sekalian, Mas?” tanya salah satu panitia.

“Nggak, Mbak. Habis ini saya ada acara,” terang saya.

Panitia kemudian langsung memberi saya bungkusan, lengkap dengan amplopnya. Saya terima bungkusan dan amplop tersebut dan kemudian langsung ngacir keluar.

Saat sampai di tangga, seorang panitia tergopoh-gopoh mengejar saya sembari membawa nasi kotak.

“Mas, ini, ada jatah makan dari panitia. Harusnya buat buka puasa, tapi karena Mas Agus sudah pulang duluan, jadi saya kasihkan saja, siapa tahu nanti di jalan bisa dimakan,” ujarnya sembari memberikan kotak tersebut beserta tas kresek sebagai wadahnya.

“Oh, suwun, Mbak.”

Di parkiran, saya buka nasi kotak yang tadi dikasih panitia. Isinya nasi, tempe, sayur buncis, dan telur balado. Saya tutup kembali kotak tersebut dan saya gantungkan di gantungan motor.

Di jalan, saya memikirkan kepada siapa nasi kotak ini harus saya berikan. Nasi kotak ini tak mungkin saya makan sebab saya sudah ngebet ingin makan di warung makan langganan saya yang menyediakan menu ayam panggang sambal bawang yang legit dan bumbunya kolosal itu.

Dasar nasib mujur. Setelah sekitar setengah kilo saya melaju, saya melewati pemulung yang sedang mendorong gerobaknya. Pas betul. Mungkin inilah yang dinamakan berkah. Mau nyumbang makanan, ealah kok ya dimudahkan.

Motor saya hentikan. Saya datangi si bapak pemulung.

“Pak, ini saya ada nasi kotak,” ujar saya sembari menyerahkan nasi kotak saya pada si bapak yang wajahnya tampak kusut dan begitu kotor.

Saya mengira, si bapak akan langsung menerima. Tapi ternyata tidak. Ia menggeleng. “Nggak, Mas.”

Wah, tengsin ini saya. Saya curiga, dia tersinggung sebab saya menganggapnya berkekurangan.

Saya lantas mencoba membujuknya.

“Pak, ini buat njenengan. Saya dikasih sama orang, daripada saya buang, daripada nggak saya makan.”

Kali ini, ia menerima dengan sukacita.

“Oalah, Mas. Gratis tho. Saya kira tadi sampeyan itu sedang jual nasi sama saya,” ujarnya sambil prengas-prenges.

Bajigur setan alas. Apakah sudah sedemikian susah wajah saya sampai-sampai mau ngasih nasi gratis saja saya nggak dipercaya?

Jangan-jangan tampang saya memanglah tampang melarat, tampang yang tak selayaknya membagi-bagikan makanan gratis pada orang-orang.

Sepanjang perjalanan pulang, saya terus saja merenung. “Kelihatannya saya lebih pemulung ketimbang pemulung itu sendiri. Saya lebih gelandang ketimbang gelandangan itu sendiri.”

Bodhol wuk, bodhol... semplok wuk, semplok...




Sawer blog ini

8 comments :

  1. Dyar koe hahahhhhaha.
    Kui tandane yen auramu janjane kui orak jualan buku tok. Kudu buka warung makan ahahahahha

    ReplyDelete
  2. Kesan pertama selalu dilihat dari wajah & penampilan. Ada orang sederhana yang sebenarnya luar biasa atau sebaliknya ada orang yang terlihat luar biasa sebenarnya biasa-biasa saja. Oh ya saya follower baru blog ini. Nice info

    ReplyDelete
  3. kirain ketemu baim wong yang lagi nyamar bang jadi nggak mau nerima

    ReplyDelete
  4. Mungkin le mu nyandhang kurang mlithit gus. Dadine dikiro dodolan sego.

    ReplyDelete

Tentang Saya

Saya Agus Mulyadi, biasa dipanggil Gus Mul (bukan lulusan pesantren seperti Gus Dur, Gus Muh, maupun Gus Mus. Gus Mul hanya akronim dari nama saya). Blogger dan Freelance Layouter. Kini berusia 24 tahun. Aktif di Karang Taruna dan Komunitas Blogger Magelang Pendekar Tidar. Profil lebih lengkap, Lihat Disini
 
Copyright © 2010 Blog Agus Mulyadi , All rights reserved
Design by DZignine . Powered by Blogger