Agus Mulyadi Njaluk Rabi

Joko Kendil, Si tangguh pembelah jalan lereng Sumbing

| Wednesday, 24 July 2013 |

Berbicara tentang dunia transportasi Magelang, terutama untuk segmentasi bus, tentu tak dapat dipisahkan dari nama Joko Kendil. bagaimana tidak, Bus ini adalah salah satu Medium bus AKDP dengan trayek paling aktif di kabupaten Magelang (Bersama Widodo Putro, Bukit Indah, Purbo Putro, Tunas Mulya, Cebong Jaya, Maju Jaya, dan Bagus Jaya). Joko Kendil melayani rute Magelang-Bandongan-Kaliangkrik-Kajoran, sehingga tak heran jika bus ini menjadi andalan warga lereng Sumbing sebagai sarana transportasi.

Bus Joko kendil

Bus ini bisa dibilang merupakan bus yang setia, karena sudah melayani trayek tetapnya sejak belasan tahun yang lalu. Jika ditotal, Bus ini melintasi rute 5 kecamatan (sekitar 20% dari total kecamatan di kabupaten Magelang), yaitu Bandongan, Kaliangkrik, Kajoran, Salaman, dan Tempuran. Sedangkan Home base pemberhentian utama-nya adalah pasar Kaliangkrik dan Terminal kota Magelang.

Jurusan bis ini terbagi menjadi 2, yaitu Magelang-Kaliangkrik, dan Magelang-Salaman. Dua jurusan ini sebenarnya melewati rute yang sama, hanya saja arahnya yang berbeda. Untuk Jurusan Magelang Kaliangkrik, Rute yang dilewati adalah Magelang - Bandongan - Kaliangkrik - Kajoran - Salaman - Tempuran - Magelang, sedangkan Jurusan Magelang-Salaman rute-nya adalah arah kebalikan dari rute jurusan Magelang-Kaliangkrik.

Selama masa pengabdiannya bagi para warga lereng Sumbing, Bus ini tercatat sudah dua kali ganti nama (atau berganti kepemilikan). Dari nama Joko Kendil yang sudah begitu membumi di ingatan para warga lereng Sumbing, Bus ini kemudian berganti nama menjadi Aliedha Putra, tak jelas apa alasan pergantian nama ini, tapi yang saya ketahui, konon nama Aliedha berasal dari nama si pemilik karoseri bus ini, yaitu Pak Ali. Setelah sempat menyandang nama Aliedha Putra selama beberapa tahun, Bus ini kembali ganti nama, kali ini menggunakan nama Tri Grass, Nama yang terakhir ini kabarnya karena trayek bus diambil alih oleh Karoseri Tri Grass Jaya. Tapi kendatipun sudah berganti nama beberapa kali, masyarakat pengguna bus ini sudah kadung familiar dengan nama Joko kendil, sehingga penyebutan nama bus inipun tetaplah Bus Joko Kendil.

Saya sendiri sudah sejak kecil selalu setia menggunakan jasa Bus Joko Kendil ini, Biasanya saya naik Bus ini untuk mengunjungi nenek saya di Bandongan dan Kaliangkrik. Naik bus joko kendil ini punya sensasi tersendiri, karena dalam setiap rute perjalannya, kita hampir selalu disuguhi dengan pemandangan alam yang indah, dari hamparan sawah di sepanjang rute Bandongan dan Kaliangkrik, sampai pemandangan barisan pegunungan sumbing yang selalu saja memanjakan mata.

Kini, tepat saat tulisan ini saya buat, sudah hampir 4 bulan saya belum jua naik bus Joko Kendil ini karena banyaknya kesibukan, sehingga saya belum punya waktu luang untuk mampir ke rumah nenek saya di Kaliangkrik. Semoga lebaran nanti, saya bisa kembali merasakan jok empuk bus Joko Kendil ini.

Duh, Lupa hitungan rukun wudhu dan sholat

| Tuesday, 23 July 2013 |

Sudah hampir setahun ini, saya punya kebiasaan aneh, yaitu kebiasaan lupa hitungan rukun ibadah. Selama setahun terakhir ini, saya sering sekali lupa dengan hitungan wudhu saya, entah kenapa, setiap kali saya membasuh tangan, muka, atau kaki saya untuk yang ketiga kalinya, saya selalu merasa bahwa itu baru basuhan yang kedua. Maka seketika itulah muncul keraguan, "Ini basuhan yang kedua apa ketiga ya?" Saya pernah bertanya pada seorang Ustadz, dan jawabannya cukup jelas, "tambahkan saja basuhannya agar sampeyan yakin bahwa itu adalah basuhan yang ketiga". Jawaban pak Ustadz ini merujuk pada Sabda Nabi Muhammad SAW dalam isi hadits arbain ke 11, yaitu "Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan kamu, bergantilah kepada apa yang tidak meragukan kamu". dan tentu saja saya puas dengan jawaban pak Ustadz ini.

Nah, yang jadi masalah adalah, sampai sekarang, kebiasaan lupa jumlah basuhan wudhu ini tak juga sembuh sampai sekarang. Saya terus saja lupa dengan jumlah basuhan wudhu saya. Jadi boleh dibiang, saya itu wudhu dengan kemungkinan basuhan empat kali, dan bukan tiga kali seperti yang diperintahkan.

Dan klimaknya, kebiasaan lupa ini menjadi makin parah, karena sudah menular pada jumlah rokaat sholat. Setiap kali saya melakukan gerakan sholat pada rokaat yang keempat, saya selalu merasa bahwa itu baru rokaat ketiga. Solusi terbaik dari kebiasaan lupa jumlah rokaat ini sebenarnya bisa diatasi dengan sholat berjamaah, hanya saja bagi saya tidak memungkinkan untuk sholat berjamaah di semua waktu sholat, saya hanya bisa menunaikan sholat secara berjamaah hanya pada waktu Maghrib, Isya', dan subuh. Itupun kadang saya terlewat.

Nah, Karena kebiasaan lupa itulah kini saya kerap kali harus menambahkan sujud sahwi dalam sholat saya (terutama sholat Zuhur dan ashar) untuk menyempurnakan sholat saya. Bayangkan mas mbak, Sujud sahwi kok hampir setiap hari, apa ndak kabengetan itu.

Nah, lewat postingan ini, saya ingin bertanya pada pembaca sekalian, barangkali ada yang punya pengalaman serupa, mungkin bisa memberikan saran atau tips agar kebiasaan lupa saya bisa hilang. Kalau ada, siahkan tinggalkan komentar ya mas mbak.

Sujud Sahwi : sujud tambahan sebanyak dua kali yang dilakukan karena ragu atau terlupa akan salah satu rukun shalat, baik kelebihan maupun kekurangan dalam melaksanakannya. Hukumnya adalah sunat mu’akad

Menikmati suasana Tempo Doeloe di Waroeng Makan Voor de Tidar

| Sunday, 21 July 2013 |

Kalau anda orang Magelang atau pendatang yang kebetulan sedang singgah di Magelang dan sedang ingin mencoba sensasi kuliner Magelangan, maka saya rekomendasikan anda untuk mencoba Warung makan Voor de Tidar.

Waroeng Makan Voor de Tidar

Waroeng Makan Voor de Tidar

Waroeng Makan Voor de Tidar, adalah warung makan sederhana yang terletak di Jalan Gatot Subroto 58 Magelang (Depan Lapangan Golf Borobudur - Komplek Akademi Militer). Sepintas, warung makan ini terlihat biasa, namun begitu anda masuk, maka anda akan merasakan sensasi jadul alias jaman dulu. Bagaimana tidak, selain bangunannya yang memang merupakan rumah bergaya lama, begitu memasuki pelataran rumah makan, anda akan langsung disuguhui dengan deretan foto-foto kota magelang pada masa kolonial, ditambah lagi dengan alunan musik bernuansa jadul berbahasa Belanda semakin yang menambah kesan Tempoe doeloe di warung makan ini. Pokoknya kesan Tempoe-Doeloe benar-benar tersaji di warung makan ini.

Waroeng Makan Voor de Tidar

Waroeng Makan Voor de Tidar

Ya, Warung makan Voor de Tidar ini memang merupakan warung makan yang mengusung konsep klasik tempeo doeloe. Hal ini tidak terlepas dari sang pemilik yaitu pak Tony Kusumohadi yang memang merupakan aktivis komunitas Kota Toea Magelang, yaitu sebuah komunitas pecinta dan pelestari bangunan tua yang juga berupaya untuk lebih menggali informasi tentang sejarah dan berusaha melestarikan berbagai peninggalan cagar budaya (tangible dan intangible) yang ada di Kota Magelang dan sekitarnya.

Begitu masuk ke warung makan ini, suasana segar dan hijau langsung nampak, maklum, aneka tumbuhan hijau yang tumbuh di pot sengaja diletakkan di pelataran warung makan ini.

Waroeng Makan Voor de Tidar

Di ruang makan pertama, ada 4 meja dengan posisi berjajar dua, tempat makan ini terletak persis di depan pintu masuk. Ruangnya seperti garasi yang diubah menjadi ruang makan. Sedangkan ruang kedua, berada di sisi kiri gerbang masuk, terdiri dari 2 meja pendek yang memang dikhususkan untuk pengunjung yang menghendaki makan ala lesehan.

Waroeng Makan Voor de Tidar

Waroeng Makan Voor de Tidar

Ruang makan ketiga adalah di dalam rumah, ruang makan yang terakhir ini cukup luas, karena memang menggunakan area rumah yang dikosongkan. Ruang makan ini sering dipakai untuk meeting, arisan, ataupun buka bersama.

Waroeng Makan Voor de Tidar

Untuk parkir, Rumah makan Voor de Tidar ini menyediakan lahan parkir yang cukup namun tak terlalu luas, setidaknya cukup untuk 2 mobil dan 5 motor, yah, namanya juga warung makan kecil.

Selain itu, lokasi warung yang bersebelahan langsung dengan Musholla menjadikan pengunjung muslim tak perlu khawatir untuk beribadah.

Waroeng Makan Voor de Tidar

Untuk masalah menu, Warung makan Voor de Tidar menyedikan aneka makanan tradisional Jawa, diantaranya adalah Ayam kampung goreng, ayam pandan, belut goreng, ayam laos, nasi goreng, bakmi goreng, bakmi godhog, sate serai, sego abang (nasi merah), sampai aneka gorengan. Minuman pelengkap-nya pun selain Es Teh dan Es jeruk, Voor de Tidar juga menyediakan minuman klasik tempo dulu, yaitu wedang serai, wedang serai, wedang uwuh, kunir asem, teh rosela, juga wedang secang.

Waroeng Makan Voor de Tidar

Harganya? Tenang saja, di rumah makan ini, anda tak perlu merogoh kocek yang dalam, karena semua menu makanan di minuman di warung makan ini harganya sangat terjangkau. Pepes ikan misalnya, harganya hanya 6 ribu, nasi pecel lele 7 ribu, nasi sambel belut 8 ribu, trus aneka nasi ayam 12 ribu, sedangkan minumannya, semua dibanderol dengan harga 3 ribu. Murah bukan? pokoknya sangat cocok bagi pasangan untuk menghabiskan waktu pacaran di malam minggu dengan budget terbatas.

Jadi, kapan panjenengan mau menyambangi warung makan ini?

NB : Gambar menu makanan sengaja saya ambil setelah selesai makan, soalnya kalo saya ngambilnya sebelum makan, nanti malah dikira bocah alay

Bersih-bersih makam Johannes 'Pa' van Der Steur

| Wednesday, 10 July 2013 |

Minggu, 7 Juli 2013, saya beserta Rombongan Komunitas Kota Toea Magelang berkesempatan untuk kerja bakti bersih-bersih kompleks makam Johannes 'Pa' van Der Steur, Tokoh Missionaris legendaris Belanda yang mengabdikan lebih dari separuh usia hidupnya untuk kegiatan kemanusiaan dan sosial di Indonesia, khususnya Magelang. Beliau adalah tokoh terkenal Belanda yang mendirikan Panti Asuhan terkenal Oranje Nassau (Panti asuhan Pa van Der Steur, sering disingkat Panti PVDS) yang sudah merawat lebih dari 7.000 anak asuh.

Pa Van der Steur

Pa Van der Steur (tengah, berjenggot) bersama anak-anak asuhnya

Kompleks makam Johannes 'Pa' van Der Steur merupakan satu-satunya kompleks makam di Kerkhoof (Jalan Ikhlas) Magelang yang tidak direlokasi. Seperti yang masyarakat Magelang ketahui, bahwa di tahun 80-an terjadi relokasi besar-besaran kompleks pemakaman Kerkhoof untuk dijadikan sebagai pusat pertokoan dan pasar, alam relokasi tersebut, jasad-jasad yang dikebumikan dipindahkan ke Makam lain di Magelang Seperti Giriloyo, maupun makam lain di luar Magelang seperti di Muntilan maupun Ambarawa.

Nah, kompleks makam Pa van Der Steur inilah yang katanya tak boleh direlokasi. Mitos yang beredar adalah karena sering terjadi hal-hal aneh yang menimpa orang-orang yang berusaha merelokasi kompleks makam ini seperti gejala sakit-sakitan, bahkan sampai pada kematian. Namun menurut Pihak yang berwenang, alasan tidak direlokasinya kompleks makam Pa van Der Steur adalah karena adanya permintaan dari Pemerintah Belanda, yang juga didukung Yayasan Pa van Der Steur. Maka jadilah satu kompleks makam Pa van Der Steur masih bertahan hingga kini.

makam Johannes 'Pa' van Der Steur di Kerkhoof Magelang
Makam Pa Van der Steur di tengah makam-makam lain

makam Johannes 'Pa' van Der Steur di Kerkhoof Magelang
Kompleks makam Pa Van der Steuryang masih sangat terawat

makam Johannes 'Pa' van Der Steur di Kerkhoof Magelang
Disinilah tempat peristirahatan terakhir Pa Van der Steur

makam Johannes 'Pa' van Der Steur di Kerkhoof Magelang
Makam-makam sahabat, keluarga, dan anak-anak asuh Pa Van der Steur

Kompleks makam Pa van Der Steur luasnya tak sampai 100 meter persegi, di dalam kompleks pemakaman tersebut, terdapat Makam Pa van Der Steur, beberapa sanak keluarga, kerabat, dan juga anak-anak asuhnya. Lokasi kompleks makamnya berada tersembunyi di balik kios dan pertokoan Jalan Ikhlas. Gerbang masuknya pun berupa lorong dengan rolling door layaknya kios atau toko.

Makam Johannes 'Pa' van Der Steur Magelang
Jalan masuk kompleks Makam Johannes 'Pa' van Der Steur

Saya sebenarnya sudah cukup lama mendengar tentang Kompleks makam Pa van Der Steur ini, namun baru kemarin itu saya berkesempatan untuk mengunjunginya sekaligus kerja bakti bersih-bersih kompleks makamnya. Kesempatan itu datang seiring dengan kegiatan Jelajah Plengkung yang diselenggarakan oleh komunitas Kota Toea Magelang.

Jadi ceritanya, selepas selesai acara Jelajah Plengkung, kita para peserta diberi kesempatan untuk ikut kerja bakti bersih-bersih makam Pa van Der Steur, maklum, saat itu adalah tanggal 7 Juli, berdekatan dengan hari ulang tahun Pa van Der Steur, yaitu 10 Juli. Jadi acara bersih-bersih kompleks makam Pa van Der Steur itu sekaligus juga sebagai kado ulang tahun dan penghormatan untuk beliau.

Makam Johannes 'Pa' van Der Steur Magelang
Nisan Makam Johannes 'Pa' van Der Steur

Kami tiba di kompleks makam sekitar pukul satu siang, di sana, kami para rombongan komunitas Kota Toea Magelang langsung disambut oleh ibu Tatik, seorang yang dipercaya untuk mengurus kompleks pemakaman ini. Ibu tatik sendiri merupakan putri dari salah satu anak asuh Pa Van der Steur, yaitu DJB van Haellen yang juga dimakamkan di kompleks pemakaman Pa Van der Steur.


Ibu Tatik, Ahli waris yang dipercaya untuk mengurus kompleks makam

Setelah sedikit diberi briefing singkat oleh mas Bagus Priyana sebagai koordinator kegiatan, kami semua langsung mengambil sapu, cetok, dan juga sabit untuk membersihkan area makam yang kebetulan sedang dalam kondisi yang tak terlalu kotor, hanya ada beberapa sampah cangkang keong, daun kering, dan juga beberapa rumput liar yang tumbuh di pelataran makam karena memang beberapa hari sebelumnya, pelataran pemakaman ini sudah dibersihkan oleh Ibu Tatik.

Makam Pa Van der Steur
Para peserta membersihkan kompleks makam Pa van Der Steur

Makam Pa Van der Steur
Mas Mameth Hidayat, salah satu angota KTM sibuk membersihkan area makam

Sambil membersihkan areal makam, ibu Tatik juga sedikit banyak bercerita tentang sejarah Pa Van der Steur. Bu Tatik menceritakan tentang bagaimana kondisi Panti asuhan yang didirikan oleh Pa, sejarah Yayasan Pa van Der Steur, sampai sejarah hak waris kepengurusan makam tersebut yang katanya pernah berpindah-pindah tangan sebelum akhirnya diamanatkan kepada Ibu Tatik.

Sekitar pukul setengah tiga sore, kegiatan kerja bakti pun usai. kompleks makam kini jadi terlihat lebih bersih. Puas rasanya bisa ikut memberikan sumbangsih kecil membersihkan pusara tokoh luar biasa dan sangat menginspirasi.

Dalam langkah pulang, masih teringat pesan Pa Van der Steur yang tertera jelas di nisan makamnya, Niet mijn naam, maar mijn werk zij gedacht, Jangan kenang nama saya, tetapi kenanglah pikiran dan kerja saya.

Beristirahatlah pa,

Ngamen yang dulu bukanlah ngamen yang sekarang

| Wednesday, 3 July 2013 |

Hari belum beranjak siang, belum ada satu jam sejak saya membuka warnet tempat saya bekerja, saat tiba-tiba muncul seorang bapak yang ngamen di depan warnet tempat gawean saya. Alat musik yang dia bawa tak tanggung-tanggung, bukan kencrung ataupun gitar, melainkan gendang gamelan. Welha dalah. Pakaiannya sederhana, dengan blangkon di kepala. Benar-benar njawani.


Tanpa aba-aba. Dengan suara yang sedengan (tak terlalu jelek, namun juga kurang pantas dikatakan merdu), bapak pengamen ini menyanyikan sebuah tembang berbahasa jawa, saya tak tahu persis apa judulnya, tapi yang jelas, saya mudeng liriknya. suara sedengan bapak tadi bisa terdengar cukup enak didengarkan karena iringan musik gendang yang ia mainkan. Jujur, saya cukup terhibur. Seandainya beliau adalah peserta audisi X-Factor dan saya adalah Bebi Romeo, mungkin saya akan berkata, "Pak pengamen, Papa Bangga Sama Kamu!!"

Dengan hiburan singkat yang sempat saya dapatkan dari lantunan tembang bapak pengamen ini, Saya pun tak segan memberikan uang dua ribu rupiah (seadanya uang di kantong) pada pak pengamen yang njawani ini, padahal biasanya kalau ada pengamen yang menyambangi warnet tempat gawean saya, paling pol saya kasih gopek. Yah, mungkin karena saya menganggap pak pengamen ini ngamen dengan style yang anti mainstream.

Btw, ini adalah pertama kalinya dalam setahun ini saya melihat pengamen di kampung saya yang menggunakan gamelan tradisional sebagai alat musik ngamen.

Belasan tahun yang lalu, saat saya masih SD, saya ingat betul kampung saya sering disambangi oleh pengamen wanita paruh baya yang menggunakan kecapi sebagai alat musik. Kecapinya selalu dia bawa dengan dicangklong di bahu, sepintas, saya melihat seperti pendekar kecapi yang sering muncul di cerita silat China. Dalam setiap ngamen-nya, beliau selalu membawakan lagu jawa yang dinyanyikan dengan cengkok sinden. Sangat menghibur. Tapi entah mengapa, sejak saya masuk SMP, ibu pengamen ini sudah jarang muncul di kampung saya. Padahal, sudah banyak yang menanti kedatangannya. (Apa jangan-jangan si Ibu pengamen ini memang pendekar kecapi yang sedang menyamar? Ah Sudahlah).

Yah, dunia per-ngamen-an memang sudah sangat berubah. kini sudah sangat jarang ditemukan pengamen-pengamen dengan suara aduhai (minimal menghibur) atau pengamen-pengamen yang benar-benar sanggup menghibur. Bapak pengamen yang saya ceritakan di atas bisa jadi hanyalah satu dari sedikit pengamen yang masih mampu memberikan penghiburan bagi empunya rumah yang diameni.

Ngamen yang dulu bukanlah ngamen yang sekarang. Dulu, ngamen murni merupakan profesi jual suara, jadi jangan heran jika pengamen dulu hampir semuanya punya suara yang merdu, minimal enak untuk didengar. Jadi sang tuan rumah yang diameni pun tak merasa segan untuk memberikan uang demi mendengar suara merdu sang pengamen, bahkan beberapa malah nanggap, alias memberi uang lebih dengan syarat si pengamen menyanyikan beberapa buah lagi lagi.

Untuk pengamen solo, suara bagus menjadi sebuah keharusan, sedangkan untuk pengamen grup atau rombongan, suara bagus  bisa sedikit dikesampingkan, asalkan didukung dengan alat musik meriah, minimal gitar, kencrung, dan ketipung paralon.

Namun kini, semuanya berubah setelah negara api menyerang, Ngamen kini sering kali menjadi profesi jual iba, dan bukan jual suara. Kebanyakan pengamen jaman sekarang tak terlalu mementingkan suara merdu. Alat musiknya pun kadang ala kadarnya, bahkan kecrekan tutup botol atau sekedar keplok alias tepukan tangan pun dinilai sudah cukup mumpuni. Kadang malah lagu yang dinyanyikan ndak karuan, hanya mengandalkan tampang melas dan kasihan. Praktis, tujuan empunya rumah yang diameni memberi uang pun bukan lagi untuk mendengarkan lagu yang merdu, melainkan karena kasihan, atau agar sang pengamen cepat-cepat pergi.

Hhh, Sekali lagi, Ngamen yang dulu bukanlah ngamen yang sekarang.

NB : Jika barangkali anda ndak suka atau kurang suka dengan artikel ini? mohon layangkan gugatan anda ke agus@agusmulyadi.com atau ke twitter saya di @AgusMagelangan

Tentang Saya

Saya Agus Mulyadi, biasa dipanggil Gus Mul (bukan lulusan pesantren seperti Gus Dur, Gus Muh, maupun Gus Mus. Gus Mul hanya akronim dari nama saya). Blogger dan Freelance Layouter. Kini berusia 24 tahun. Aktif di Karang Taruna dan Komunitas Blogger Magelang Pendekar Tidar. Profil lebih lengkap, Lihat Disini
 
Copyright © 2010 Blog Agus Mulyadi , All rights reserved
Design by DZignine . Powered by Blogger