Agus Mulyadi Njaluk Rabi

Suatu hari, di Ini Talkshow

| Wednesday, 22 October 2014 |

Jumat sore, 10 Oktober 2014. Saya menerima pesan dari seseorang bernama Rina, ia mengaku sebagai tim kreatif acara Ini Talkshow Net tv. Katanya, ia ingin mengundang saya sebagai salah satu narasumber di acara Ini Talkshow.

Pesan Rina Ini Talkshow

Usut punya usut, Redaksi Ini Talkshow rupanya ingin mengangkat fenomena edit foto yang dulu pernah melambungkan nama saya. Saya diminta untuk bercerita tentang ihwal edit foto tersebut, dan juga sedikit tentang keseharian serta tentang buku yang sudah saya tulis. (Belakangan, pembahasan soal buku tidak jadi diangkat karena suatu alasan).

Perasaan saya jadi ndak karuan, antara senang dan takut. Senang karena ini adalah kesempatan bagus bagi saya untuk lebih mengenalkan buku saya ke khalayak, takut karena karena saya mudah gugup kalau harus berbicara di depan banyak banyak orang, apalagi disorot kamera.

Namun setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, akhirnya saya memutuskan untuk menerima undangan dari mbak Rina.

Sehari sebelum keberangkatan ke Jakarta, mbak Rina mengirimkan tiket pesawat PP Jakarta – Yogyakarta – Jakarta untuk keberangkatan tanggal 15 oktober.

Saya berangkat cukup pagi, karena dari rumah ke terminal Jombor Jogja dan dari Terminal ke Bandara sering tidak terkira waktu tempuhnya. Beruntung saya sampai di bandara tepat waktu (eh, mepet sih), saya sampai loket empat menit sebelum counter check in ditutup.

Penerbangan sempat delay cukup lama. Saya baru sampai jam setengah dua belas, terlambat 45 menit dari jam yang sudah dijadwalkan.

Sampai di Bandara Halim Perdanakusumah, saya kemudian dijemput oleh driver-nya Net tv, kalau ndak salah namanya mas Deden. Saya langsung diantar ke studio.

Sesampainya di Studio, saya langsung dipertemukan dengan Mbak Rina, Tim Kreatif yang menghubungi saya.

Tadinya saya sempat khawatir akan keterlambatan saya, karena kalau menurut jadwal, saya harus sudah on cam jam 12 siang, padahal saat itu sudah lebih dari jam 12. Ndilalah, jadwal syuting ternyata mundur satu jam.

Saya kemudian dipersilahkan menunggu di ruang tunggu.

Di ruangan berukuran sekitar 4x3 meter ini, sudah ada satu narasumber yang duduk manis menunggu, namanya Tika. Seorang gadis berparas amat cantik dengan senyum yang manis menawan (kalau bukan karena ingat anak istri di rumah, mungkin sudah rontok iman saya, hehehe).

“Mbak Tika, kenalkan, ini mas Agus, yang nanti jadi narasumber juga sama mbak Tika!”, begitu kata mbak Rina mengenalkan saya kepada si gadis bernama Tika tersebut.

Sayapun bersalaman dengan Tika, saling mengenalkan diri masing-masing dengan perkenalan yang lumayan standar. Saya dan Tika kemudian ditinggal di ruang tunggu oleh Mbak Rina.

Saya agak gugup, berada satu ruangan dengan mbak-mbak yang cantiknya setengah modar. Untunglah Tika ini orangnya pangerten dan cukup responsif. Tanpa banyak ba bi bu, ia menyapa dan mengajak saya ngobrol.

“Mas Agus sekarang sibuk apa mas?” katanya dengan diiringi senyum yang aduhai manisnya.

“Saya ndak sibuk apa-apa mbak, kalau mbak sendiri gimana, sibuk apa?” jawab saya sambil membalas tanya.

“Sama mas, saya juga ndak sibuk apa-apa!”

“Wah, berarti kita sama-sama ndak ada kesibukan ya!, hehehe!” (Ini saya ndak sedang berusaha mbribik lho ya)

Kami berdua hanya mengobrol sebentar, karena sesudah itu, kami sibuk dengan gadget masing-masing. Maklum, sebagai pemuda desa, saya nihil stok bahan pembicaraan, apalagi untuk lawan bicara yang cantiknya alamak seperti Tika ini.

Belakangan baru saya tahu, bahwa Tika yang ngobrol sama saya ini ternyata Tika Bravani, aktris muda yang namanya melambung lewat film ‘Alangkah lucunya negeri ini’ dan ‘Soekarno: Indonesia Merdeka’. Sumpah, saya tadinya ndak tahu kalau dia itu Tika Bravani, maklum saja, soalnya saya tahu Tika Bravani justru dari sinetron yang dibintanginya, yakni Bidadari-bidadari Surga, dimana ia berperan sebagai Laisa, Gadis desa yang punya kulit gelap. Sedangkan Tika yang ada di hadapan saya ini kulitnya putih pualam bak tembok rumah pas agustusan. Makanya saya agak kurang ngeh.

Tika Bravani

Tak berselang lama, Tika disuruh ke ruang make up. Tinggallah saya sendirian di ruang tunggu. Kira-kira sepeminuman kopi, masuklah Mbak Yurike Prastika ke ruang tunggu. Saya takjub. Bagaimana tidak, Yurike Prastika adalah salah satu artis idola saya, dan saya duduk hanya berjarak dua meter dari tempatnya ia duduk. Saking takjubnya saya, sampai saya hanya bisa menyunggingkan senyum ke arahnya yang ia balas dengan senyum pula.

Belum habis ketakjuban saya, ketakjuban lain pun muncul. Kali ini Maya Septha yang masuk ke ruang tunggu. Sumpah, Maya Septha ini cantik dan putih setengah mati. Ia juga ramah, baru duduk beberapa detik, ia langsung menghampiri saya dan menyapa saya.

“Ini mas Agus yang suka ngedit foto itu ya?”, tanya dia dengan senyum yang jelas tak akan bisa saya lupakan.

“Iya mbak!”, saya menjawab dengan singkat dan dengan diiringi dengan senyum pula, namun jelas senyum saya tak akan semanis senyum mbak Maya tentunya.

Baru sebentar saya berbincang dengan Mbak Maya Septha, saya dipanggil sama kru Net untuk persiapan make up.

Saya masuk ke ruang make up. Di dalamnya berjejer tiga kursi. Satu kursi di pojok sudah terisi oleh Mbak Rini Wulandari alias Rini idol (yang nantinya juga akan menjadi salah satu narasumber), sedangkan dua kursi lainnya kosong. Saya kemudian duduk di kursi tengah, sengaja agar bisa mencuri pandang mbak Rini Idol.

Saya sebenarnya sangat malas untuk dimake-up segala. Namun bagaimana lagi, ini sudah jadi prosedur. Lagipula, semua narasumber juga dimake-up kok. Tak apalah, sekali-kali mengikuti arus. #tsaaaah

“Wah, Mas rambutnya sudah dikasih minyak ya?”, kata si penata make up yang mengurus saya.

“iya je mbak, niatnya sih biar rambutnya kelihatan rapi,” begitu jawab saya.

“Ya sudah, kalau gitu kita keringkan rambutnya aja dulu pakai hairdryer, trus kita kasih gel ya mas!”,

“nggih mbak, saya manut saja!”

Wajah dan rambut saya kemudian dipermak sedemikian rupa. Disemprot sama cairan yang saya ndak tahu apa itu namanya, ditabur bedak, diunyeng-unyeng rambutnya. Pokoknya sangat protokoler.

Hampir 15 menit saya dimake-up.

Perubahan pasca make-up nampak sangat jelas, memang sih wajah saya tetap minor, namun setidaknya jadi kelihatan lebih segar dan bergairah.

Setelah dimake-up, saya kemudian disuruh masuk ke ruang wardrobe untuk memilih busana. Saya disuruh mengganti kaos melepas sandal saya, rupanya saya harus memakai kemeja dan sepatu. Oalah, jebul kostum doreng tentara khas malvinas yang saya pakai ini dinilai kurang layak masuk TV, Pun Sandal jepit baru yang saya beli beberapa waktu yang lalu rupanya dianggap kurang pantas untuk disorot kamera.

Jadilah saya tampil dengan kemeja berwarna ungu muda, celana panjang non jeans, dan dengan sepatu sneaker yang ukurannya longgar sama kaki saya. Praktis, saya berubah, menjelma menjadi pemuda kekinian, sangat tidak saya. Tapi tak apa, setahun sekali kok.

Oh ya, kira-kira begini tampilan saya dengan kemeja ungu muda yang begitu menggoda itu.

Agus Mulyadi Ini Talkshow Net

“Mas Agus nanti masuk di segmen ke dua, masih sekitar satu jam lagi, mas nunggu saja di dalam studio, sambil lihat proses syuting, sekalian membiasakan diri dengan suasana studio, biar nggak gugup!”, kata mbak Rina.

Di studio, sudah ada banyak kru dan pemain. Saya berjalan pelan ke arah kursi narasumber. Melewati deretan kursi host, saya lihat sudah duduk Sule dan Andre. Saya hanya melempar senyum, dan baik Sule maupun Andre juga hanya membalas senyuman saya.

Baik Andre maupun Sule kemungkinan belum tahu kalau saya nanti yang bakal jadi salah satu narasumber di acara mereka. Maklum, karena sebelum take, saya sama sekali tidak dipertemukan dengan Sule maupun Andre. Saya juga tidak diberi tahu perihal skenario talkshow Mungkin agar tercipta obrolan yang spontan dan menarik.



Saya menunggu di studio sekitar satu jam, satu jam yang terasa sangat lama. Saya sangat gugup, bahkan sampai berkali-kali bolak-balik ke toilet untuk buang air kencing saking gugupnya. Mbak Rina berkali-kali mencoba menenangkan saya.

“Rileks aja mas Agus, nanti juga biasa kok, pokoknya kalau ditanya, jawab aja dengan santai, nggak usah terlalu serius,” kata mbak Rina, saya hanya mengangguk pelan.

Akhirnya, setelah sekitar satu jam kurang sedikit, saya diberi aba-aba untuk persiapan take.

“Dan disini, sudah hadir salah satu praktisi edit foto yang sempat membuat editan foto bersama artis, inilah dia Agusss Mulyadiiii!”, Suara Andre Taulany terdengar kencang.

Saya langsung masuk ke arena studio Ini Talkshow diiringi dengan alunan musik dari band pengiring. Andre langsung berdiri dan menghampiri saya dan bersalaman dengan saya, begitupun Sule.

Saya langsung duduk di sebelah Rini Idol dan Tika Bravani yang sudah lebih dulu masuk.

Agus Mulyadi Ini talkshow

Agus Mulyadi Ini talkshow

Selepas itu, Sule dan Andre langsung bergantian bertanya seputar edit foto, keseharian saya, dan lain sebagainya.

Agus Mulyadi Ini talkshow

Selain berbincang-bincang banyak hal seputar edit foto, saya juga diminta untuk membacakan kuis, menirukan gerak host, bahkan menyanyi lagu Stinky untuk merayu Rini Idol. (Mohon maaf, untuk yang bagian ini, silahkan sampeyan lihat sendiri nanti di Net atau di youtube).

Agus Mulyadi Rini Idol

Proses syuting berlangsung dalam suasana yang sangat menyenangkan, aman, tenteram, dan sentosa. Apalagi pas adegan Maya Septha membuatkan saya minum, duh, berasa jadi seorang suami. Naluri kelaki-lakian saya bangkit, terlebih saat ia menyunggingkan senyum semribitnya, brrrrrr, berasa pengin menafkahi. Hehehe.

Syuting baru berakhir sekitar satu jam.

Setelah syuting usai, saya langsung berkemas, karena saya harus langsung bertolak pulang sore itu juga. Sebelum pulang, saya sempatkan diri berfoto bersama Sule dan Andre, yah, sekadar kenang-kenangan.

Agus Mulyadi Sule Andre

Jam lima sore, Saya diantar sama supir Net ke bandara Halim Perdanakusuma untuk bertolak ke Jogja malam harinya dan pulang ke Magelang, untuk kembali menjadi manusia.

Begitulah sodara, begitulah.

Update.. Ini link Youtube tayangan ini Talkshownya









Kawat Gigi, Rokok, dan Rasa Syukur

| Monday, 20 October 2014 |


Markopolo (jongkok di tengah, kaos hitam)

Sore itu, Saya, Markopolo, dan Duwek asyik bercengkerama sambil mabuk (saya ndak ikut mabuknya lho ya) di buk perempatan jalan dekat rumah saya. Yah, hitung-hitung menghabiskan sore hari sambil menunggu kawan-kawan lain pulang kerja.

Sambil ngobrol, Sesekali, Markopolo dan Duwek bergantian minum ciu dari botol aqua ukuran sedang yang sudah dihilangkan labelnya. Maklum, karena hanya dua orang, mabuknya pun tidak dibandari (dituang di gelas sloki dan diputar sesuai giliran minum), melainkan ditenggak langsung dari botolnya secara bergantian.

Entah bagaimana ceritanya, obrolan kami tiba-tiba menyasar tentang Aini, gadis tetangga desa yang baru saja pasang behel di giginya.

“Untu wis apik-apik, kok seh dikawat, warnane biru sisan, malah koyo pager kantor PLN!”, celoteh Markopolo.

“Haiyo, jan koyo kurang gawean, ha nek kowe gus, minat ra pasang kawat untuk koyo mono? Mbok menowo mrongosmu kelong sithik-sithik”, tanya Duwek pada saya.

“Ah, ra minat aku, wis teko ngene wae, rasah dikawat-kawat barang, teko narimo ing pandum wae tho, rasah aneh-aneh, mrongos yo mrongos”, jawab saya agak bangga dengan kemrongosan saya.

Sesaat, saya jadi takabur, saya merasa menjadi orang yang paling bersyukur di dunia.

“Bener gus, ra usah aneh-aneh pasang kawat untu, untumu ki kan wis dadi ciri khas, rasah diubah-ubah. Yo mbok menowo suk kowe mati nang ndalan lak polisine njuk gampang le ngidentifikasi, ra perlu main otopsi, cukup ndelok cocotmu!” kata Marcopolo sengak.

“Ndiasmu mlocot kuwi su!” umpat saya. Dan kami bertiga pun tertawa terbahak-bahak.

“Sek, tak nang warung dilit!”, kata saya seraya bangkit dari duduk dan melangkah ke warung mas Andri yang lokasinya hanya beberapa langkah dari tempat kami ngobrol.

“Gus, Signature loro gus!”, kata Marcopolo sambil memicingkan sebelah matanya dengan sangat genit, Signature merujuk pada salah satu varian rokok milik Gudang Garam: Gudang Garam Signature.

“Ha duite endi?”, tanya saya.

“Hayo melu kowe tho, ngono kok yo seh takon lho, ha nek aku nduwe duit ra bakal aku nembung ro kowe!”

“Asu, wegah, duitku meh entek, nek ra nduwe duit yo wis, rasah ngudud!”

“Lha dhewe ki nek omong-omongan ngene trus ra ono rokok’e ki jan njuk koyo wong padu je!”

“hahaha”, saya tertawa kecil, saya sudah hafal, ini siasat basa-basi Marcopolo kalau minta dibelikan rokok, basa-basi yang teramat garing kerontang, namun sering sukses membuat saya luluh. Saya pun melangkah ke warung dan membelikan dua batang rokok signature sesuai pesanan Marcopolo.

“Nyoh!”, kata saya sambil melemparkan dua batang rokok pesanan Marcopolo. “Le mbayar sesuk yo ra popo!”, kata saya menggoda Marcopolo. Yang digoda hanya nyengir nglegani.

Marcopolo pun langsung meraih satu batang rokoknya dan langsung menyalakannya.

Belum habis seperempat batang, tiba-tiba muncul mas Trimbil dengan mengendarai motor Astrea Grand kesayangannya. Mas Trimbil adalah seorang Dept Collector yang ngontrak di dekat rumah Marcopolo.

Mas Trimbil berhenti di dekat tempat Saya, Marcopolo, dan Duwek ngobrol

“Rokok ko?”, kata Mas Trimbil menawari Marcopolo rokok.

“Wah, rasah mas, matursuwun, ki wis nduwe rokok kok!”, kata Marcopolo sambil menujukkan rokoknya yang masih belum habis, mencoba menolak dengan halus pemberian rokok dari Mas Trimbil.

“Halah, iki, teko jupuk wae, turahan kok!”, kata mas trimbil memaksa sambil mengulungkan sebungkus rokok Dji Sam Soe kepada Marcopolo. “Jupuk kabeh wae!”, tambahnya.

Marcopolo rikuh, dan dengan agak sungkan, tapi mau bagaimana lagi, ia pun kemudian mengambil sebungkus rokok yang ditawarkan oleh Mas Trimbil. Saya tahu, dalam hati, sebenarnya Marcopolo girang bukan main karena diberi rokok oleh Mas trimbil ini. Hanya mungkin, Marcopolo masih punya gengsi yang agak mumpuni.

“Matursuwun lho mas, matursuwun!”

“Yo,” kata mas Trimbil singkat sambil berlalu.

Begitu dilihatnya mas Trimbil sudah cukup jauh dan dirasa cukup aman, Marcopolo langsung memeriksa bungkusan rokok yang ada di tangannya, dilihatnya dengan seksama. “Wah, jan lumayan tenan, isine seh akeh, mung gek kelong papat!”.

“Oalah, jan rejekine wong mabuk ki ono wae, Gusti Alloh ki cen apikan, wong mabukan we seh dikei rejeki rokok, isine meh sak bungkus sisan!” Kata Marcopolo.

Saya tercekat dengan kalimat Marcopolo, kali ini saya merasa menjadi orang yang paling tidak bersyukur di dunia.

Perkara Njoget Reggae

| Saturday, 18 October 2014 |

Joget Reggae
Joget Reggae (Source: kainhitampresent.blogspot.com)

Obrolan di Warung mas Andri siang itu terasa sangat asyik. Kami membahas tentang rencana untuk menyaksikan konser Reggae esok hari. Saya bersama Gembus, Paijo, Marcopolo, Komplong, dan kawan-kawan lain memang berencanan untuk menghabiskan malam minggu dengan menyaksikan konser reggae yang dihelat di salah satu gedung pertemuan tak jauh dari kampung kami. Konser yang diselenggarakan oleh salah satu produsen minuman suplemen ini menghadirkan satu band reggae terkenal dan belasan band reggae lokal.

Kami memang sering berkumpul di Warung mas Andri, oleh banyak orang disebut begitu, karena memang si empunya warung namanya Andri.

Di warung ini, bukan hanya anak-anak muda yang sering nongkrong, namun juga ada orang-orang tua berusia di atas kepala tiga bahkan kepala empat. Ada Pak Naryo, supir pro yang sudah malang melintang di dunia persupiran. Ada Mas Yus, pendaki gunung yang masih sangat setrong kendati umurnya sudah hampir kepala empat, ada Pak Tete, kretekus gaek yang sangat doyan ngopi, dan masih banyak lagi golongan tua yang juga sering nongkrong di warung Andri. Di warung inilah anak-anak muda dan bapak-bapak bisa ngobrol santai lepas dengan bahasa yang super ngoko. Warung ini menjadi semacam rendezvous bagi “golongan Wikana” dan “golongan Ahmad Soebardjo” di ranah per-gentho-an.

“Aku ndak ikut ke konser ah!!”, kata Sastro tiba-tiba. Hal ini tentu mengejutkan, karena Sastro dikenal sebagai kawan yang paling enggan menolak untuk ikut dalam event konser, bahkan ia kerap menjadi kompor kalau-kalau ada kawan yang ndak bisa ikut ke konser.

“Lha kenapa ndak ikut tro? wong yang lain saja pada ikut kok!”, tanya Marcopolo

“Ndak berani gelut kalau nanti rusuh po?”, Paijo menimpali

Wah, ra cengli tenan, memangnya ada apa tro?” tanya Gembus.

“Sebenarnya pengin sih mbus, tapi kalau reggae, aku ndak bisa njogetnya!”, jawab Sastro.

Demi mendengar jawaban super polos dari Sastro, kawan-kawan langsung meledak tawanya. Bahkan pak Naryo yang ndilalah ada di situ pun ikut tertawa terbahak-bahak. “Oalah tro.. tro... kemana-mana naik vespa, tapi njoget reggae saja ndak bisa, kilokke wae vespamu!!” seloroh Pak Naryo.

“Njoget Reggae itu susah pak, kaya orang lari-lari, tapi posisinya ndak maju-maju, kelihatannya simpel, tapi rumit, saya sudah pernah coba njoget reggae di depan kaca, tapi kok kelihatannya saya ndak luwes je pak”, kata Sastro masih tetap dengan kepolosannya.

Jawaban itupun kemudian kembali kembali gelak tawa seisi warung, bahkan lebih gempita dari tawa sebelumnya.

Ketidakbisaan Sastro untuk njoget reggae itu kemudian menjadi bahan guyonan dan cercaan. Sastro jadi bulan-bulanan, Sastro pun hanya bisa nyengir menahan malu dengan bibir yang terasa sangat kurang sedap untuk dipandang.

Sejujurnya, Sastro adalah penjoget yang handal. Njoget dangdut, mosing hardcore, ajojing disko, tari jatilan dan kubro siswo, bahkan sampai goyang poco-poco pun mungkin bisa ia jabani, tapi kalau njoget reggae, Sastro angkat tangan.

Yo wis, besok kamu ndak usah ikut joget, cukup berdiri sambil gerakkan badan saja!”, kata Paijo mencoba untuk membujuk sastro agar tetap ikut.

Akhirnya, Setelah diyakinkan dan dibujuk dengan aneka rupa bujukan, Sastro pun luluh dan bersedia untuk ikut. Dengan catatan, ia tak mau ikut maju ke depan panggung, hanya melihat saja dari belakang.

“Besok kumpul disini, jam tujuh, kita berangkat bareng pakai motor masing-masing, yang punya baju reggae, silahkan dipakai!!”, Kata Marcopolo memberi pengumuman yang sejurus kemudian langsung disepakati oleh kawan-kawan.

Besoknya, jam setengah tujuh, alias setengah jam sebelum jam keberangkatan, Sastro sudah sampai di warung Mas Andri, dandanannya sangat Reggae, bajunya klombor khas baju barong bali warna rasta, celana pendek, dan tak lupa ia memakai topi rajut merah kuning hijau. Wajahnya kumal (menurut Sastro, semakin kumal semakin reggae).

Warung mas Andri ternyata masih sepi, hanya ada Pak Naryo yang sedang asyik menyeruput kopi sambil sms-an.

“Pak, anak-anak mana? kok kosong melompong begini, katanya mau lihat konser reggae!”

“Di rumahnya Gembus, sedang pada latihan!”, jawab Pak Naryo singkat

“Lho, latihan apa pak?”

Ha yo latihan njoget reggae tho, rumangsamu cuma kamu thok yang ndak bisa joget reggae?, yang lain juga sama!”

Woooooo, telek!!!”

Sejurus kemudian, Sastro pun langsung meluncur ke rumah Gembus. Di wajahnya, terpancar jelas nafsu membunuh yang begitu besar.

Sekadar Pertanyaan

| |

Aku sadar, pertanyaan yang kutanyakan lewat pesan chat di facebook itu memang pertanyaan yang ora mbois, ya maklumlah, namanya juga pertanyaan pemancing, sekedar pelicin agar aku bisa say hello. Dan beruntungnya diriku, karena rupanya dirimu punya segudang rasa rikuh, sehingga dirimu masih mau menjawab pertanyaan-pertanyaan ora mbois-ku itu. Yah, walaupun jawabanmu sangat-sangat normatif, terkesan begitu nglegani.

Tolong dimaklumi, habis mau bagaimana lagi, bagiku, itu adalah satu-satunya cara yang mungkin bisa aku lakukan untuk terus intens berkomunikasi dengan dirimu.

Aku masih terus teguh dengan pepatah jawa 'witing tresno jalaran seko kulino', walau agaknya sampai kini, hanya aku yang tresno, sedangkan dirimu masih sebatas kulino. Tapi tak apa, memang sudah jadi tugasku untuk mengkonversi kulino-mu itu menjadi tresno. 

Jujur, rasanya sangat bahagia saat di kolom chat facebook tertulis namamu dengan lingkaran kecil berwarna hijau disampingnya. Saat itulah fikiranku menerawang, mencoba mencari pertanyaan yang sebisa mungkin agak mbois dan memungkinkan untuk aku tanyakan kepada dirimu.

Kadang aku merasa seperti panitia cerdas cermat yang berfikir keras hanya untuk menyiapkan pertanyaan bagi para peserta, bedanya, dirimu tak perlu jadi wanita cerdas untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanku itu. Dirimu cukup jadi wanita rikuhan. Itu saja.

Aku tak berani pasang target tinggi, asal dirimu jawab pertanyaanku dengan jawaban yang cukup panjang saja ─setidaknya dua kali enter, aku sudah sangat berbahagia. Apalagi kalau dirimu sudi membalas tanya, duuuh, itu benar-benar kenikmatan yang hakiki.

Duhai dirimu yang duduk 507 kilometer dari tempatku mengetikkan pertanyaan, tolong jangan bosan untuk terus menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Jaga terus sikap rikuh-mu, aku masih perlu itu, entah sampai berapa lama lagi.

Ah, andai dirimu tahu, di antara pertanyaan-pertanyaanku yang teramat ora mbois, terselip rasa cinta yang begitu tulus dan kinyis-kinyis.

Silikon Malinda Dee dan Perkara Body Jadi-jadian

| Sunday, 5 October 2014 |

Rusdi Mathari

Tadi malam, lewat pesan chat di facebook, seorang kawan ─yang kalau dilihat dari tekstur kulit keriputnya, beliau seharusnya lebih cocok jadi pakdhe saya─, Rusdi Mathari, atau yang lebih akrab dipanggil Cak Rusdi, bertanya pada saya perihal tanggapan saya tentang Malinda Dee. Ya, Malinda Dee, sosok yang dulu pernah heboh karena kasus pembobolan uang nasabah bank itu.

“Gus, kamu ngikuti soal Malinda Dee, sing silikone pecah Gus?”, tulis cak rusdi dalam pesan chatnya, bagi saya, ini sejenis pertanyaan pancingan, tipikal pertanyaan seorang wartawan.

“Cuma sekilas baca cak, tapi ndak terlalu mengikuti,” balas saya singkat dan cukup diplomatis, saya tak berani menjawab lebih jauh, karena saya masih mencoba meraba, kira-kira pertanyaan apa lagi yang bakal Cak Rusdi ajukan setelah ini.

“Apa pendapatmu soal tubuh indah yang dibuat-buat seperti itu?”, tanya Cak Rusdi, agaknya, ini adalah pertanyaan inti, karena selepas pertanyaan tersebut, Cak Rusdi tak lagi memberikan pertanyaan lain terkait Malinda Dee. Saya agak masygul, karena Cak Rusdi langsung memberikan pertanyaan inti hanya setelah satu pertanyaan pancingan. Sangat tidak interaktif, tadinya saya berfikir, sebagai seorang wartawan yang sudah 24 tahun berkecimpung dalam dunia jurnalistik, Cak Rusdi harusnya bisa sedikit bermain intermezzo. Sedikit berbasa-basi lah. Tapi tak apa, anggap saja sebagai anomali jurnalistik karena faktor usia sang jurnalis :)

Saya sebenarnya ingin langsung menuliskan tangapan saya perihal si Malinda Dee itu, tapi sejurus kemudian, saya berfikir ulang, saya mencoba menjernihkan akal sehat saya. Saya tahu, kalau saya memberikan pendapat saya, besar kemungkinan Cak Rusdi akan menulis artikel tentang tanggapan saya itu, dan saya sadar, itu artinya saya akan kehilangan satu bahan tulisan. Nah, daripada tanggapan saya perihal Malinda ditulis oleh Cak Rusdi, tentu akan lebih baik kalau saya sendiri yang menulis. Sehingga konsepnya bisa agak mirip dengan konsep demokrasi: “Dari saya, oleh saya, dan untuk saya”.

Maka akhirnya saya putuskan untuk menjawab pertanyaan Cak Rusdi tersebut dengan jawaban yang tuntas, “Aku ndak punya pendapat cak!”, tentu agar saya bisa mengelak dan bisa langsung menulis tanggapan saya lewat artikel ini.

Jujur, saya aslinya ndak terlalu tertarik dengan insiden pecah silikon pada wanita pelaku implan. Tapi karena kali ini yang jadi pelaku (atau korban ya?) adalah Malinda Dee, maka saya sebagai laki-laki Indonesia kekinian merasa terpanggil untuk membahasnya. Tentu karena Malinda Dee bukan sosok sembarangan, ia sosok wanita karir yang demi apapun, saya yakin, anda (pria) pasti akan mengambil korelasi sosok dirinya dengan sesuatu bernama payudara. Tak heran, ia memang lekat dengan itu. Bahkan mungkin, hanya Malinda Dee lah wanita yang mampu membuat benang merah yang menghubungkan antara dunia perbankan dengan payudara. (Tolong jangan googling gambar Malinda Dee, ingat, itu termasuk zina mata, dosanya besar)

Kasus pembobolan uang nasabah bank sejatinya bukan kasus yang luar biasa (karena memang sudah sering terjadi), setidaknya tak perlu menjadi headline media selama lebih dari beberapa pekan. Namun Kasus pembobolan uang nasabah oleh Malinda Dee tentu terasa spesial, spesial karena dilakukan oleh seorang karyawan bank berwajah cantik.

Kita semua tahu, bahwa segala sesuatu yang menyangkut wanita cantik akan selalu punya porsi yang lebih besar untuk berkembang menjadi hal yang fenomenal. Polwan itu biasa, tapi kalau polwan-nya Briptu Eka, itu baru luar biasa. Atlet volley wanita itu biasa, tapi kalau yang jadi atlet volley-nya Sabina, itu baru istimewa. Mengendarai mobil sambil mabuk dan menabrak orang itu biasa, tapi kalau yang menabrak itu Novi Amelia, itu baru layak berita.

Kalau untuk kasus Malinda Dee ini, tentu kadar fenomenalnya berlipat ganda, Karena sang tokoh bukan hanya punya paras cantik, namun juga punya ukuran payudara yang jauh di atas ukuran rata-rata wanita Indonesia. Sangat over cemekel kalau kata saya. Payudara yang belakangan diketahui sebagai hasil implan silikon.

Gara-gara kasus pembobolan uang nasabah itu, Malinda Dee akhirnya divonis 8 tahun penjara dalam persidangan tahun 2012 lalu.

Kini, setelah dua tahun tenggelam dalam pemberitaan. Namanya kembali mencuat ke permukaan. Kali ini karena rumor perlakuan khusus yang ia dapat di LP Sukamiskin, dimana tersiar kabar bahwa ia sering tak tinggal di sel-nya karena sakit dan harus menjalani perawatan. Malinda Dee dikabarkan justru lebih banyak menghabiskan waktunya di Klinik ketimbang di sel napi.

Usut punya usut, ternyata Malinda Dee memang sedang menjalani perawatan. Penyebabnya karena silikon yang terpasang di payudaranya meleleh akibat kanker payudara, selain itu, silikon yang ada di pantatnya juga bermasalah, sehingga terpaksa diangkat. “Bokongnya itu sudah tidak punya daging, jadi kulit ketemu tulang. Dokter menganjurkan, untuk mengurangi rasa sakit, silikon harus dipasang,” kata Sri Ulina, Dokter Lembaga Pemasyarakatan Wanita Sukamiskin Bandung.

Konon biaya operasi penyembuhan untuk payudara dan bokongnya itu mencapai ratusan juta dan itu harus ditanggung sendiri oleh Malinda Dee. Itupun ukuran payudaranya tak bisa kembali besar seperti sedia kala, karena kini silikonnya terpaksa diganti dengan ukuran normal. Dan untuk sekedar duduk dan tidur pun, Malinda Dee harus memperhatikan betul posisi tubuhnya.

Payudara besar dan pantat bohai yang dulu menjadi magnet utama penarik perhatian itu kini justru berubah menjadi perkara bagi Malinda Dee.

Sebagai pria waras dengan kadar birahi yang wajar, saya tak menampik bila saya memang lebih menyukai wanita dengan ukuran dada yang cenderung besar, terlebih bila didukung dengan tubuh yang sintal lagi proporsional. Sangat menggairahkan pastinya. Mungkin itu sudah sifat naluriah laki-laki.

Namun menurut saya, ketertarikan semacam itu hanya sebatas pada birahi. Sedangkan di tingkat Hati, tentu laki-laki lebih menyukai wanita yang tampil apa adanya, tanpa permakan, tanpa dempulan pupur, tanpa silikon. Pokoknya tanpa kepalsuan.

Lagipula, Sejauh yang saya tahu, menurut agama yang saya anut, permak atau rombak bagian tubuh adalah sesuatu yang diharamkan, karena itu termasuk dalam perbuatan yang mengubah ciptaan Allah. Permak tubuh tersebut baru bisa berubah hukumnya menjadi boleh, dengan catatan perombakan tersebut sifatnya adalah untuk memperbaiki. Jadi urgensinya fungsional. Misal, penambalan gigi geraham yang growong agar mulut bisa tetap bisa mengunyah makanan dengan lancar.

Intinya, mengubah keadaan tubuh hukumnya dibolehkan hanya jika tujuannya dalam rangka pengobatan, atau mengembalikan pada kondisi normal, dan haram hukumnya jika dilakukan untuk tujuan memperindah penampilan. Dan lagi, apa yang bisa dibanggakan dari bentuk tubuh indah namun manipulatif?

Ingat, Kalau Wanita paling suka dengan kepastian, maka laki-laki paling benci dengan kepalsuan.

Jadi untuk para perempuan di luar sana, izinkan saya untuk memberikan sedikit wejangan. Percaya dirilah dengan fisik yang anda punya sekarang, Tak usah berkecil hati karena anda tak punya tubuh sintal, tak usah malu kalau payudara anda kurang montok, tak usah merasa rendah hanya karena bentuk bokong anda kurang indah. Camkan, Pria memang suka memacari wanita dengan tubuh seksi, tapi akan berfikir dua kali untuk menikahi.

Percayalah, keshalihan, akhlak, kecakapan, dan kecerdasaan jauh lebih utama bagi seorang wanita di mata laki-laki ketimbang tubuh yang sintal dan menggoda.

Ndak seksi ndak apa, yang penting beriman dan bertaqwa, syukur-syukur kalau hafal Pancasila. Hehehe.

Sambil menulis kata-kata terakhir di artikel ini, lamat-lamat saya teringat akan pertemuan saya dengan Cak Rusdi beberapa hari yang lalu, dimana dalam kesempatan itu, beliau mengajari saya teknik ampuh memperbesar penis dengan metode urut.

Saya belum tahu, apakah memperbesar penis termasuk hal yang dilarang atau diperbolehkan. Tapi yang jelas, saya masih belum bisa berbangga diri dengan ukuran penis saya yang sekarang. Jadi, sambil menunggu hasil googling “hukum memperbesar penis”, agaknya ilmu memperbesar penis dari cak Rusdi untuk sementara belum bisa saya amalkan. Setidaknya, sampai waktu yang masih belum bisa ditentukan.

Eh, btw, adakah pembaca yang tahu hukum pasang behel untuk mengurangi tingkat kemrongosan gigi?

Tentang Saya

Saya Agus Mulyadi, biasa dipanggil Gus Mul (bukan lulusan pesantren seperti Gus Dur, Gus Muh, maupun Gus Mus. Gus Mul hanya akronim dari nama saya). Blogger dan Freelance Layouter. Kini berusia 24 tahun. Aktif di Karang Taruna dan Komunitas Blogger Magelang Pendekar Tidar. Profil lebih lengkap, Lihat Disini
 
Copyright © 2010 Blog Agus Mulyadi , All rights reserved
Design by DZignine . Powered by Blogger