Beberapa waktu yang lalu, saat film Jenderal Soedirman lagi heboh-hebohnya, banyak kawan facebook dan pembaca blog saya yang bilang kalau saya mirip sama Karsani, salah seorang anak buah jenderal Soedirman.
Lha karena saya belum lihat film-nya, maka saya pun browsing di google, mencoba mencari tahu, bagaimana sih tampang si Karsani itu, kok bisa-bisanya dibilang mirip sama saya. Dan akhirnya, ketemulah saya sama gambar mas Karsani (yang diperankan oleh Gogot Suryanto).
Mas Karsani yang fangkeh (Sumber gambar: Path)
Itu adalah satu-satunya foto Karsani yang bisa saya dapat, cuma satu angle dan satu ekspresi. Jadi foto tersebut bagi saya belum cukup cukup dijadikan sebagai bukti kemiripan antra saya dan Karsani.
Maka, saya pun ngeyel, pokoknya saya merasa tidak mirip sama Karsani. Saya pribadi merasa lebih mirip sama jenderal Soedirman.
Adik saya, Yuria nyengir waktu saya bilang begitu. Maklum, adik saya memang kerja di Bioskop, dan beberapa waktu yang lalu, bioskop tempat adik saya bekerja sampat kedatangan Adipati Dolken, si pemeran jenderal Soedirman itu untuk gala premiere.
“Iyuuuuh, ngimpiiii” begitu ledek adik saya. “Pokoknya mas Agus itu miripnya sama Karsani, titik...” lanjutnya.
Oke, sebagai kakak yang baik, saya mengalah saja. Tapi ingat, mengalah bukan berarti kalah lho ya.
Nah, hari ini, bioskop tempat adik saya bekerja kembali kedatangan salah satu pemeran film Jenderal Soedirman. Dan tebak, kali ini siapa yang datang? Yak, benar, si Karsani.
Tak jauh beda dengan Adipati Dolken, si Karsani pun langsung laris sebagai objek bidikan foto. Banyak karyawan bioskop yang kemudian berfoto bersama si Karsani.
Mas Karsani yang menang banyak (Sumber gambar: fb-nya Yuria)
Nah, diantara banyak karyawan yang meminta foto bareng Karsani, tentu adik saya adalah salah satunya. Dan saya kok yakin, salah satu motivasi adik saya untuk berfoto bareng Karsani adalah untuk membuktikan, bahwa saya memang cocok kalau dibilang mirip sama Karsani.
Yuria dan Karsani (Sumber gambar: fb-nya Yuria)
Yuria dan Karsani (Sumber gambar: fb-nya Yuria)
Foto-foto si Karsani itu tadi sore diupload sama adik saya di facebook (dan ndilalah kok ya muncul di timeline facebook saya). Fotonya banyak (dan dengan berbagai angle dan ekspresi). Dengan bukti foto yang cukup banyak itu, saya jadi keder juga, pertahanan saya kelihatannya bakal runtuh. Soalnya, setelah dilihat dengan seksama, kelihatannya memang dia mirip sama saya.
Sekarang, sore ini, adik saya masih belum pulang kerja. Namun saya yakin, nanti pas adik saya pulang kerja, ia bakal langsung menunjukkan foto-foto tersebut ke saya dan kembali menegaskan, bahwa saya memang mirip sama Karsani.
Oke, daripada saya kepaok, maka, sebelum adik saya pulang, saya lebih baik mengakui saja, bahwasanya, saya memang mirip sama Karsani. Dan pengakuan ini tulus adanya.
Karena mengakui kekalahan itu lebih terhormat ketimbang memperdebatkan kemenangan.
Balada Karsani Mulyadi
Tentang Buku Ketiga
Selamat siang pembaca, bagaimana kabarnya?
Jadi begini mas mbak, Setelah menerbitkan dua buah buku, Insya Alloh, dalam waktu dekat ini, saya akan segera menerbitkan buku ketiga saya. Konsepnya sih masih seperti buku pertama dan kedua saya, yaitu kumpulan tulisan-tulisan saya yang pernah terbit di blog dan media-media lain, ditambah tulisan-tulisan baru yang sama sekali belum pernah saya publish.
Buku ini rencananya bakal diterbitkan sama penerbit EA Books. Selain dirilis dalam bentuk buku cetak, nantinya, buku ini juga bakal dirilis dalam bentuk audio book (buku suara) dan bakal bisa didengarkan melalui aplikasi Listeno, aplikasi buku suara yang kini sedang ngehits.
Bagi saya, buku ketiga ini adalah buku yang sangat spesial. Karena di buku ini, kecuali cover dan produksi, hampir seluruh proses pengerjaanya bakal saya tangani langsung. Praktis, mulai dari tulisan, pengeditan, konsep, sampai tata letak, semuanya saya sendiri yang mengerjakan. Kebetulan, Mas Eka, selaku pengelola EA Books memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada saya untuk hal itu.
Di buku ini, saya sama sekali tidak menerapkan pengeditan kata, sehingga jangan heran jika nantinya, bakal ada beberapa kata-kata yang seronok dan agak saru.
Dan yang paling spesial dari buku ini adalah, buku ini nantinya tidak bakal saya jual di toko buku seperti dua buku saya sebelumnya, melainkan hanya dijual via online.
Untuk saat ini, proses pengerjaan buku ini sudah sampai pada tahap layouting akhir. Tinggal menunggu desain cover dan penambahan beberapa artikel yang mungkin belum sempat dimasukkan dalam buku.
So, untuk para pembaca blog saya tercinta, saya mohon doanya, agar buku ini bisa segera rampung dan bisa segera dibaca oleh khalayak.
Dan oh ya, hampir lupa. Sampai sekarang ini, buku ini belum punya judul, barangkali sampeyan punya saran untuk judul buku Ketiga saya ini, monggo dituliskan di kotak komentar. Siapa tahu judul yang sampeyan usulkan ternyata menarik dan bisa di acc penerbit.
Sapi Salah Sangka
Tadi siang, saya sempat mampir ke Museum Kereta Api Ambarawa, di sana, di salah satu sudut kompleks museum, ada patung sapi yang berdiri dengan kokohnya, seolah menantang saya: “Sini gus, kalau berani, selfie bareng aku”
Maka, sebagai pria beringas, saya pun segera mendekat dan menjawab tantangannya. Bukan sekadar berfoto selfie, tapi berfoto dengan pose yang cukup ekstrim, yaitu pose menthil sambil menyedot susunya.
Saya upload foto itu di facebook, dan muncul banyak komen. Semuanya menggelikan. Namun semuanya berubah saat salah seorang kawan komen begini: “Mas Agus, sekedar info aja, itu sapi jantan mas, bukan sapi betina!”
Saya terhenyak, dan segera sadar, kalau ternyata ada torpedo yang menggantung gagah di tubuh sapi tersebut.
“Biangane tenan, jadi yang saya hisap tadi ternyata bukan susu, melainkan air kencing. Bajingan tengik”
Es Degan Ndoro Trimo: Kabut Asap
Pagi hari seperti ini memang paling enak leyeh-leyeh di lincak di depan kios es Degan Ndoro Trimo ini. Lha namanya juga masih pagi, baru jam delapan, pembeli juga belum ada yang nongol. Biasanya, pembeli memang baru pada pating jedhul kalau sudah jam sepuluh-sebelas.
Tapi dasar saya cuma batur, asisten, pembantu, jadi ndak bisa seenaknya leyeh-leyeh seperti juragan saya si Ndoro Trimo itu. Lha kalau saya konangan leyeh-leyeh pas jam kerja, ancaman potong gaji biasanya dengan mudahnya menculat dari mulut Ndoro saya itu. Memang sih, biasanya itu cuma ancaman sambel, lha tapi kalau ndilalah beliau sedang khilaf dan motong gaji saya beneran gimana? Lak yo bobrok to lek.
Mangkanya, saya cuma berani leyeh-leyeh kalau ndoro saya itu pas tidak ada di kios, entah pas kulakan degan, atau pas beli plastik di pasar gotong-royong sana.
Dan rupanya, hari ini, Gusti Alloh sedang berbaik hati sama saya (lha memangnya sejak kapan Gusti Alloh tidak baik hati sama umatnya?). Ini hari, Ndoro Trimo stok degan sudah menipis, dan Ndoro Trimo harus kulakan degan. Saya jadi bisa leyeh-leyeh. Duh, saya kok serasa jadi buruh rasa ningrat begini ya.
Satu jam lebih saya klekaran di lincak, mat dan eco sekali rasanya, sampai tak sadar kalau ternyata Ndoro Trimo sudah pulang dari kulakan dan bahkan sudah berada di dalam kios sambil menata-nata gelas.
Wah, modar gasik saya, sayang sekali, pagi yang seindah ini terpaksa bakal saya lalui dengan dampratan dan ancaman potong gaji.
Tapi lagi-lagi, Gusti Alloh kelihatannya memang sedang berbaik hati sama saya. Lha alih-alih marah karena saya ke-gep sedang klekaran di lincak, Ndoro Trimo malah langsung mengajak saya diskusi. temanya berat lagi: Kabut asap Riau. Mungkin bagi Ndoro saya, kasus kabut asap di Riau lebih genting ketimbang potongan gaji saya.
“Itu lho Gus, kamu itu heran ndak tho sama kasus kabut asap di Riau, tiap tahun lho, dari dulu ndak pernah bisa ditangani,” kata Ndoro Trimo membuka keran percakapan antara kami berdua.
Saya langsung bangkit dan mengubah posisi saya, dari klekaran menjadi duduk biasa.
“Lha yo ndak heran tho Ndoro, wong tiap tahun yo ada saja kok hutan yang dibakar dan dijadikan kebun sawit,” jawab saya. “Lebih parah lagi, pemerintah seolah tidak peduli, karena sampai sekarang siapa saja otak di balik pembakaran itu juga kelihatanya belum tersentuh.”
“Welha, kamu kok jadi elok begini Gus, pinter menganalisa, bangga saya jadi ndoro kamu.”
“Siapa yang menganalisa Ndoro, wong itu tadi saya baca di internet kok”
“Woooo, semprul!”
Saya cuma terkekeh dan langsung masuk kios menyusul Ndoro Trimo yang sedari tadi sudah ubet menata gelas dan menggepuk es batu dengan pukulan yang begitu ritmis dan indah.
“Tapi kabut asap di Riau itu bener-bener ngeri lho gus,” kata Ndoro melanjutkan diskusi, kali ini di dalam kios.
“Ngeri gimana Ndoro?”
“Ngeri kok gimana, ngeri yo ngeri. Itu tadi aku baca berita, katanya ada anak SD meninggal dunia karena sulit bernapas akibat kabut asap.”
“Waduh, kok jadi kayak slogan bungkus rokok ya ndoro, Kabut Asap membunuhmu.”
“Lha yo itu, mangkanya kalau tidak segera diatasi, bisa gawat, bakal banyak nyawa yang melayang karena kabut asap ini.”
“Memangnya pemerintah sana ndak ngurus ya Ndoro?”
“Yo ngurus sih ngurus, tapi kok kelihatannya ndak niat!” Kata Ndoro, kali ini agak emosi. “Lha bayangkan saja, sudah tahu warganya sedang berjuang susah payah melawan kabut asap, ealah kok Anggota DPRD-nya malah sibuk dolan ke Norwegia, studi banding katanya.” lanjut Ndoro Trimo tambah emosi.
“Studi banding?”
“Lha iya, Studi banding. Mending kalau studi bandingnya ada urusannya sama asap, lha ini studi bandingnya saja malah studi banding teknologi budi daya perikanan je, apa ndak gemblung itu namanya?”
“Ya...Berbaik sangka saja lah Ndoro, ya siapa tahu ikan-ikan di Norwegia sana itu punya kemampuan khusus, cocot-nya bisa nyedot kabut asap yang pating kemebul itu.” Kata saya sambil terkekeh.
“Nyedot asap cocotmu kuwi...”
Saya makin terkekeh. Geli, apalagi sewaktu melihat Ndoro Trimo mengucapkan kata “Cocotmu” sambil bibirnya dimonyong-monyongkan, padahal tanpa dimonyong-monyongkan pun, bibir Ndoro Trimo sebenarnya memang sudah monyong dari sononya.
Belum rampung saya terkekeh, saya dan Ndoro Trimo mendadak dikagetkan dengan kedatangan Jumadi yang tiba-tiba saja sudah mecungul di pintu kios.
“Wah, ini dia, aktivis kita sudah datang Gus, mari sambut dia dengan sambutan yang semeriah mungkin gus!”
“Halah, rugi Ndoro... makhluk kaya gini ndak usah pakai disambut, wong paling beli Es Deganya juga cuma satu gelas thok, ndak nambah, hoo to Ju?” kata saya seraya memicingkan mata ke arah Jumadi.
Saya dan Ndoro Trimo kompak tertawa riuh. Jumadi yang diglendeng cuma nyengir kecut.
“Es Degannya satu, biasa, es batunya ndak usah banyak-banyak!” Kata Jumadi setengah teriak.
“Nah tho, apa kata saya Ndoro, cuma satu gelas thok, hehehe”
Sembari saya membuatkan pesanan Es Degan Jumadi, Ndoro mendekat ke arah Jumadi dan langsung duduk di sebelahnya.
“Eh, Jumadi, gimana tanggapanmu tentang anggota DPRD Riau yang malah ke luar negeri itu?” tanya ndoro seraya menepuk punggung Jumadi. Agaknya Ndoro saya itu sudah menemukan sparing partner yang mumpuni untuk diskusi soal kabut asap ini.
“Ah, parah Pak Mo, Pejabat-pejabat kita ini memang susah diandalkan, dan nggapleki. Lha kemarin Gubernur sama Wagub Lampung menggugat rakyatnya sendiri 50 miliar, sekarang anggota DPRD Riau malah dolan ke luar negeri saat rakyatnya kepontal-pontal kena kabut asap. Wis, pokoknya parah pak Mo!”
“Oalah, politisi kita itu memang asu-asu kok ya Ju!” saya nyeletuk sambil mengantarkan pesanan Es Degan si Jumadi.
“Hus, jangan bilang begitu, nanti kamu bisa kena pidana!” Kata Ndoro.
“Lho, pidana apa Ndoro? Pencemaran nama baik?”
“Bukan... Membocorkan rahasia negara!”
Every Sandal Has Its Destiny
Boleh dibilang, saya adalah salah satu die hard fans-nya sandal Swallow (please, ini bukan endorsement, advertorial, dan sebangsanya), saya termasuk pengguna yang militan, garis keras, ultras.
Saya tak tahu persis apa sebabnya, tapi yang jelas, saya merasa sangat nyaman saja kalau pakai sandal Swallow. Jari dan telapak kaki saya seakan sudah punya chemistri yang mesra dengan sandal merk ini.
Ini mungkin lebay, tapi nyatanya memang begitu. Kalau sampeyan ndak percaya, sampeyan boleh lihat foto-foto saya di facebook.
Biar buluk, yang penting kenyamanan
Dulu, pernah suatu kali, saya berkunjung ke Surabaya untuk menghadiri acara resepsi nikahan juragan saya. Lha sampai Surabaya, baru saya ngeh kalau ternyata saya lupa bawa sandal jepit dari rumah. Padahal, bagi saya, sandal jepit adalah salah satu benda yang mutlak sangat saya perlukan, karena saya paling tidak nyaman kalau harus pakai sepatu berlama-lama.
Ndilalah ada kawan satu rombongan yang juga mau beli sandal karena sama-sama ndak bawa sandal jepit. Akhirnya kami putuskan untuk bersama-sama beli sandal jepit di salah satu warung di dekat lokasi resepsi
Sial bagi saya, karena ternyata warung tersebut tidak menjual sandal swallow, adanya sandal cepit Ardiles. Saya hampir ndak jadi beli kalau saja kawan tidak memaksa saya untuk beli.
“Halah, sama saja kok, namanya juga sandal jepit, dimana-mana pasti sama,” katanya persuasif.
Nyatanya, begitu saya pakai sandal jepit Ardiles tersebut, rasanya memang sangat tidak nyaman di kaki. Padahal teman saya yang juga sama-sama beli sandal itu malah merasa sandal Ardiles yang ia beli terasa sangat nyaman dan enak di kaki.
Sejak itu, saya semakin yakin kalau saya memang sudah ditakdirkan sebagai pemakai sandal Swallow, saya semakin yakin, bahwa saya adalah seorang Swallow fanboy yang kaffah.
Every Sandals Has It's Destiny, Setiap sandal memang punya takdirnya sendiri-sendiri.
Ini tidak berlebihan. Nyatanya, beberapa orang memang punya kecenderungan kecocokan pada salah satu merk tertentu (tak terkecuali sandal). Sama halnya seperti kaum Nikonian yang bakal merasa lebih cocok dan nyaman kalau memotret menggunakan kamera merk Nikon.
Tentu ada juga beberapa orang yang loyal pada beberapa merk sandal selain Swallow, bisa Ardiles, Crocs, atau bahkan Daimatu. Karena sekali lagi, kecocokan pada satu merk tertentu itu memang mutlak adanya.
Sandal Bowling ala Daimatu (foto oleh: czrdee1)
Keyakinan saya akan kecocokan pada satu merk sandal ini semakin hari semakin menebal. Dan keluarga nenek saya lah yang menjadi salah satu faktornya.
Lain halnya dengan saya yang selalu loyal pada Swallow, keluarga nenek saya (yang terdiri dari nenek saya sendiri, adik nenek saya, dan paman saya) justru selalu merasa cocok dan nyaman dengan sandal Melly, tak hanya kecocokan pada merk, keluarga nenek saya bahkan punya kecocokan yang lebih segmented, yaitu warna sandal, yang entah mengapa selalu biru, warna yang tidak begitu saya suka, karena terlalu "chelsea", biru itu boleh, asal sewajarnya saja, jangan full :)
The Cat and The three Musketeers
Birunya itu lho, bikin gimanaaaa gitu
Namun kelihatannya, militansi keluarga nenek saya pada sandal Melly biru tak terlalu tinggi-tinggi amat, karena ketika saya tanyakan kepada nenek saya, adik nenek saya, atau paman saya, mengapa kompak membeli sandal Melly warna biru, jawabannya selalu saja hampir sama dan terkesan defensif: “Ben nek ketlingsut po kijolan, tetep ora bakal kisinan, tur nek selen ra bakal konangan”
Keluarga nenek saya boleh mengaku sangat nasionalis, tapi dalam urusan persandalan, Bhineka Tunggal Ika sama sekali tidak berlaku. Sampai kapanpun...
Es Degan Ndoro Trimo: 11 Tahun Munir
“Bajingan... pemerintah ini benar-benar bajingan!” maki Jumadi sambil membanting koran di atas meja di kios Es Degan milik Ndoro Trimo.
“Eee, e, e... kamu ada apa kok siang-siang begini sudah berani mbajingan-mbajinganke pemerintah?” tanya Ndoro Trimo sambil mlathoki degan-degan miliknya.
“Ini lho pak Mo, pemerintah ini kok kelihatanya ndak serius mengungkap dalang dibalik pembunuhan Munir, padahal sudah sebelas tahun berlalu, jangankan menangkap dalang pembunuhnya, lha wong eksekutor pembunuhannya saja cuma dihukum ringan, wis, pokoke bajingan lah pak mo!”
“Dimaklumi saja, Ju... dimaklumi saja.”
Jumadi adalah mahasiswa Jurusan Budi Daya Pertanian, dia masih terbilang sebagai mahasiswa baru, karena memang baru dua semester ia kuliah. Ia adalah salah satu pelanggan tetap Es Degan Ndoro Trimo. hampir setiap hari ia selalu mampir ke kios Es Degan ini, mungkin karena memang lokasinya yang tak terlalu jauh dari kampusnya.
“Gus, itu si Jumadi buatkan Es Degan satu, biar adem otaknya, kalau ndak cepet-cepet dibikin adem, bisa-bisa kios Es Degan ini pun nanti bakal ikut dibajingan-bajingankan!” Ndoro Trimo memberi instruksi kepada saya
“Siyap ndoro!” jawab saya mantap sambil cak-cek menyiapkan satu gelas Es Degan.
Saya sendiri namanya Gusmul, sudah dua tahun ini saya bekerja ikut Ndoro Trimo sebagai asisten. Saya sepantaran dengan Jumadi. Dulu setelah lulus SMA, saya ndak melanjutkan kuliah karena ndak punya biaya, dasar nasib lagi apes, cari kerja kok ya susah, untung saja ada Ndoro Trimo ini, ndilalah ia sedang butuh karyawan, saya dikasih kerjaan buat bantu-bantu di kios Es Degannya.
Ndoro Trimo sendiri masih ada hubungan saudara sama saya, walau agak jauh. Orang-orang memanggilnya dengan panggilan biasa: Pak Trimo, namun agaknya, ia punya setitik jiwa feodal, mangkanya, saya sebagai karyawannya diwajibkan memanggilnya dengan embel-embel “Ndoro”, jadilah saya memanggilnya dengan pangilan Ndoro Trimo.
“Ini Ju, diminum, biar adem otaknya,” kata saya sambil meletakkan segelas Es degan di atas meja di hadapan Jumadi, bersebelahan dengan koran yang tadi dibantingnya. Saya sempat melirik sebentar, di koran tersebut, tertulis headline yang cukup provokatif “11 tahun Munir: Belum juga tuntas”
“Gimana, Gus, menurutmu?” tanya Jumadi
“Gimana apanya?”
“Lha itu, Kasus Munir yang belum juga selesai,”
“Wah, aku ndak tahu je Ju, lha wong aku ndak terlalu mudeng sama kasus Munir,” jawab saya diplomatis, semata agar bisa menghindar dari perdebatan panjang dengan Jumadi. Maklum, berdebat dengan Jumadi soal dunia aktivis adalah salah satu pekerjaan yang bisa membuat saya menjadi tidak bergairah.
“Wah, kamu itu kok ya apatis banget tho sama perkara penting begini, mbok peduli sedikit, aku yang kuliahnya di jurusan pertanian saja tetap peduli sama urusan-urusan yang politis begini kok!”
“Hasyah, susah Ju, daripada mikir yang begituan, mending sibuk mbantu Ndoro mlathoki degan, lebih nyata khasiatnya, dan lebih nyata juga hasilnya.”
“Oalah, Pemerintahnya bajingan, rakyatnya ndak pedulian... mau jadi apa negara ini? Bobrok bakule slondok!“
Saya cuek saja dan lekas menghampiri Ndoro untuk mbantu mlathoki degan.
“Ndoro, itu kok si Jumadi bisa sebegitunya ya? jiwa aktivisnya itu lho, mburap-mburap, padahal kuliah juga baru dua semester,” tanya saya sama Ndoro Trimo, “Kalau saya sih sebenarnya juga benci sama Pemerintah karena ndak juga bisa menyelesaikan kasus Munir, tapi kan yo ndak pakai mbajingan-mbajinganke begitu,”
“Maklum Gus, Aktivis anyaran!” jawab Ndoro Trimo pelan, saya cuma terkekeh sambil sibuk membantu Ndoro saya mlathoki degan.
“Pak Mo, pamit dulu, ini uangnya di meja!” teriak Jumadi agak mengagetkan
Ndoro Trimo bangkit dari aktivitas mlathok-nya, “La kok buru-buru amat, mau kemana?” tanya Ndoro saya
“Mau cepet-cepet pulang, mau tidur, biar nanti malem bisa melek nonton bola, wong nanti malem, Liverpool main lawan Emyu,”
“Memangnya kamu ndukung siapa?”
“Ya ndukung liverpool tho pak Mo, mosok ndukung Emyu, iiih, najis...!”
“Ngakunya pro Munir, tapi kok ndukung Liperpul!”
“Lho, memangnya apa hubunganya pak Mo?” tanya Jumadi, kali ini ia kembali duduk di kursinya, menunda kepergiannya.
“Lha apa kamu itu lupa, Salah satu sponsornya Liperpul itu Garuda Indonesia lho Ju, maskapai yang konon katanya ikut andil dalam kasus pembunuhan Munir!”
Bagai disambar petir, Jumadi langsung mak jenggirat, kaget, kena touche yang kelihatannya sangat temapuk dari Ndoro Trimo.
Sebagai mahasiswa yang selalu mengklaim dirinya sebagai seorang aktivis dan ndilalah juga seorang pendukung Liverpool, Tentu perasaan Jumadi bergejolak hebat begitu mendengar apa kata ndoro saya itu. Wajahnya jadi nampak sangat sangat kecut dan njelehi, kalau saja ia bukan pelanggan setia Kios Es Degan ini, rasanya tak sudi saya memandangi wajah Jumadi berlama-lama karena saking kecutnya.
Pergulatan batin yang teramat dahsyat sedang melanda Jumadi, wajar saja, karena ia memang sedang dihadapkan pada dua pilihan yang baginya sama-sama pentingnya: Munir atau Liverpool.
Saya jadi kasihan melihat si Jumadi. Wajahnya itu lho, wagu-wagu asu.
Tapi untunglah, tak berselang lama, Jumadi segera bisa menguasai suasana, dan tampaknya, ia sudah punya pemecahan yang diplomatis. Hal ini terlihat dari raut wajahnya yang berangsur mulai terlihat normal dan tidak lagi njelehi.
“Ya sudah, untuk menghormati Munir, selama seminggu ini, saya tak absen dulu mendukung Liverpool pak Mo!” kata Jumadi mantap. “Atau gimana ya baiknya pak Mo? barangkali ada saran?” lanjut Jumadi
“La yo embuh, ra urusan, wong aku pendukung Emyu...!” kata Ndoro Trimo terkekeh. Saya ikut terkekeh, dan Jumadi pun pasang muka mecucu.
Hhhh, Menjadi pendukung Manchester United memang salah satu bentuk nikmat Tuhan yang tak terkira.
***
NB: Tulisan ini murni Fiksi, kalau ndilalah ada kesamaan nama atau tempat, itu memang disengaja.
Jelajah Negeri Tembakau Lombok
“Gus, kalau tanggal 21-23 Agustus besok kira-kira selo nggak? bisa ikut acara Jelajah Tembakau Nusantara di Lombok?” begitu sms yang saya terima dari Nuran Wibisono, salah satu panitia Jelajah Tembakau Nusantara yang sudah lama saya kenal.
Mongkok hati saya membaca sms tersebut. Benar-benar tawaran yang sangat sulit untuk ditolak. Lha memangnya kapan lagi saya bisa belajar tentang tembakau sambil piknik di Lombok?
Maka, tanpa banyak ba-bi-bu, saya langsung balas sms tersebut, “Kelihatannya selo mas, Insya Alloh bisa lah mas!” sengaja saya tambahkan kata "kelihatannya", biar kesannya saya punya kesibukan banyak (padahal mah, pengangguran) dan punya nilai tawar yang mumpuni.
“Oke mas, matursuwun, nanti rincian teknisnya akan saya kirimkan via email,” begitu balas Nuran, yang langsung saya balas kembali dengan jawaban singkat “nggih mas,”
Alhamdulillah, Gusti Alloh memang maha pemberi piknik.
* * *
BEBERAPA hari berselang, email dari panitia Jelajah Tembakau Nusantara sudah saya terima dan sudah saya baca dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Rupanya, dalam acara Jelajah Tembakau Nusantara di Lombok kali ini, ada 15 blogger yang diundang untuk ikut, dan saya menjadi salah satunya. Duh, Rejeki anak sholeh ini (sholeh ndasmu sempal, ayat kursi we ra apal kok)
Adapun ke-lima belas blogger tersebut adalah: Agus Mulyadi (alias saya sendiri), Arman Dhani, Wira Nurmansyah, Farchan Noor Rachman, Ayos Purwoaji, Aditia Purnomo, Astri Apriyani, Sukma Dede, Sabda Armandio, Maharsi Wahyu Kinasih, Eddward S. Kennedy, Sutikno, Syukron Makmun, Vira Tanka, dan Indri Juwono.
* * *
DI JELAJAH Tembakau Nusantara Lombok kali ini, kami akan diajak berkeliling Lombok untuk mengetahui seluk beluk tembakau Virginia (yang merupakan salah satu tembakau andalan Lombok), Mulai dari proses penanaman, jual beli, pengolahan, hingga dampak ekonomi dari Tembakau Virginia bagi masyarakat Lombok.
Di Pesawat pun tetap membaca, cerminan kaum terdidik, hehe (foto oleh: Eko Susanto)
Sejatinya, seluruh peserta sudah berada di Lombok sejak hari Jumat tanggal 21 Agustus 2015, namun acara jelajah baru dimulai keesokan harinya, yaitu hari sabtu, 22 Agustus 2015.
* * *
PENJELAJAHAN kami dimulai dengan menemui pas Iskandar. Beliau ini bisa dibilang adalah living legend dalam dunia pertembakauan Lombok. Pria 60 tahun asal Sidoarjo ini adalah tokoh perintis penanaman tembakau Virginia di Lombok.
Pak Iskandar bekerja sebagai senior manager Djarum di Lombok, beliau lah yang bertanggung jawab terhadap segala proses operasional Djarum di Lombok.
Pak Iskandar yang gagah dan fangkeh (sumber foto: Buku Dunia Iskandar)
Kami dijamu oleh Pak Iskandar di kantornya, di Djarum-Tobacco Station Lombok di daerah Montong Gamang, Lombok Tengah.
Namanya juga kantor perusahaan rokok, maka suguhan utama di tempat meeting kantor ini tentu saja adalah rokok. Pak Iskandar sengaja menyediakan ber-slop-slop rokok untuk para rombongan. Disuguhi suguhan yang begitu menggoda, naluri nggragas para peserta pun muncul. Beberapa peserta dengan beringas mengambil beberapa bungkus rokok sekaligus. “Hehehe..., Lumayan, sekalian buat oleh-oleh temen kantor,” begitu kata Farchan Noor Rachman alias Efenerr, kawan saya sesama blogger Magelang. “Hambok kamu ngambil juga, walaupun kamu ndak ngrokok, tapi kan bisa buat oleh-oleh temen-temenmu tho?” lanjutnya.
Saya terdiam sejenak merenungi saran agung nan bijak dari Efenerr, Tak butuh waktu lama bagi saya untuk mengiyakan saran Efenerr, dan tak butuh waktu lama pula bagi saya untuk segera menyusul kawan-kawan "merampok" persediaan rokok yang memang sudah disediakan.
Terhitung, ada 7 bungkus rokok yang berhasil saya ringkus, masing-masing adalah 3 bungkus Djarum Super, 3 bungkus Djarum Supermild, dan 1 bungkus LA Bold. Sekali lagi, rejeki anak sholeh.
Rokok sebagai suguhan yang begitu menggoda (foto oleh: Eko Susanto)
Setelah selesai "mengamankan" apa yang seharusnya sudah menjadi hak saya, saya kemudian langsung duduk di meja meeting untuk mendengarkan pemaparan tentang Tembakau Lombok oleh Pak Iskandar.
“Di Indonesia, ada beberapa daerah yang menjadi penghasil Tembakau Virginia, diantaranya adalah Lombok, Blitar, Ponorogo, Lampung, dan Bali,” Terang pak Iskandar mengawali pemaparannya. “Namun Lombok merupakan daerah penghasil yang terbesar, karena jumlah tembakau Virginia yang dihasilkan Lombok mampu memasok 80-90% dari total produksi tembakau Virginia Nasional.” lanjut beliau.
Pak Iskandar dengan segala pemaparannya (foto oleh: Atre)
Perlu diketahui, Lombok memang menjadi daerah penghasil tembakau jenis Virginia FC (Flue Cured) yang terbesar di Indonesia. Tak hanya yang terbesar, Lombok juga menjadi penghasil tembakau Virginia terbaik, hal ini menurut pak Iskandar karena tanah dan curah hujan di Lombok sangat mendukung.
Selanjutnya, Pak Iskandar banyak bercerita tentang pengalamannya saat menjadi penyuluh lapangan di Lombok, beliau juga bercerita banyak tentang transaksi sistem kerja PT Djarum dengan para petani yang menggunakan konsep kemitraan dan pendampingan.
Pak Iskandar juga memaparkan tentang perawatan tembakau, mulai dari pembibitan, hingga panen. Dari pemaparan inilah kami para peserta jadi tahu bahwasanya tembakau memang tanaman yang lebay dan manja, karena dalam masa perawatannya, tembakau butuh perhatian yang lebih serius ketimbang tanaman-tanaman lain.
Selesai pemaparan, kami lalu diajak untuk mengunjungi gudang dan tempat pengolahan tembakau yang lokasinya masih satu kompleks dengan kantor. Di Gudang inilah para petani menjual langsung tembakau hasil panenan-nya.
Tembakau yang dibeli langsung dari para petani (foto oleh: Eko Susanto)
Tembakau yang dibeli langsung dari para petani (foto oleh: Eko Susanto)
Proses penyortiran tembakau (foto oleh: Eko Susanto)
Tembakau Virginia Lombok (foto oleh: Eko Susanto)
Di gudang ini, nilai transaksi tembakau yang dibayarkan langsung kepada petani bisa mencapai angka enam miliar setiap harinya. Luar biasa bukan?
Tengkulak berkedok fans Manchester United (foto oleh: Kinkin)
Para peserta jelajah di gudang tembakau (foto oleh: Eko Susanto)
Oh ya, selain berfungsi sebagai gudang, tempat ini juga menjadi tempat pengolahan tembakau. Tahap pengolahannya antara lain mulai dari grading, penyortiran, pemanggangan, hingga pengepakan. Nantinya, tembakau yang sudah dikepak akan dikirim langsung ke Kudus untuk diolah menjadi rokok, karena memang di Lombok, tidak ada pabrik rokok, yang ada hanya gudang tembakau-nya saja.
* * *
SELEPAS dari Kantor Djarum di Montong Gamang, kami lalu diajak untuk mengunjungi ladang tembakau di daerah Pademare. Daerah ini menjadi salah satu daerah yang masuk dalam lingkup program kerjasama kemitraan petani dengan Djarum.
Ladang tembakau di desa Pademare, Lombok Timur (foto oleh: Eko Susanto)
Syukron dan Efenerr mencoba menerbangkan drone (foto oleh: Eko Susanto)
Para peserta beserta panitia di tengah ladang tembakau (foto oleh: Syukron)
Tak hanya mengunjungi ladang tembakau, kami juga diajak untuk mengunjungi tempat pengovenan tembakau milik warga. Tempat pengovenan tembakau di sana adalah berupa ruangan tertutup yang di dalamnya ditambahkan corong yang memancarkan hawa panas yang berasal dari proses pembakaran.
Berkunjung ke tempat pengovenan tembakau milik warga (foto oleh: Atre)
Proses pengovenan tembakau (foto oleh: Eko Susanto)
Sebagai informasi, pengovenan tembakau ini dimaksudkan untuk mengeringkan tembakau setelah dipanen. Karena koefisien harga tembakau yang ditransaksikan oleh petani dan perusahaan adalah harga jual tembakau dalam keadaan kering. Pengovenan ini dilakukan untuk mempersingkat waktu pengeringan.
Tempat ini sangat tidak dianjurkan untuk para insan yang sedang patah hati, karena tahu sendiri lah, panasnya bisa berlipat ganda :)
* * *
DARI Pademare, kami kemudian berpindah ke daerah Lekor, di Kecamatan Janapria, Lombok Tengah. Lekor adalah salah satu daerah yang menjadi simbol peningkatan ekonomi masyarakat Lombok karena pertanian Tembakau.
Dulu, Lekor lekat dengan citra kelam. Jika ada pencurian, biasanya orang Lombok akan menuding penduduk Lekor sebagai pelakunya. Kebiasaan ini sudah berlangsung sedemikian lama hingga akhirnya Desa Lekor terkenal sebagai desa maling. Orang Lekor tentu tidak ada yang ingin menjadi pencuri. Tetapi keadaan memaksa mereka.
Lekor memang desa tertinggal. Akses jalan menuju ke sana susah, berbatu dan hanya sedikit yang diaspal. Dahulu, mayoritas penduduk Lekor bekerja sebagai petani non-tembakau. Mereka menanam padi, ubi, atau kacang. Hasilnya sangat menyedihkan, panenan mereka bahkan sering tidak cukup untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Namun semuanya berubah saat negara api menyerang Djarum masuk ke Desa Lekor dan mengajarkan budi daya tembakau yang baik dan benar. Satu per satu warga mulai beralih menjadi petani tembakau dan banyak mulai berhasil memperbaiki taraf hidupnya.
“Kalau tidak ada tembakau, orang Lekor akan kembali melakukan tindak kriminal,” kata Haji Sabarudin, tetua petani tembakau di daerah Lekor.
Haji Sabarudin yang nampak malu-malu unyu (foto oleh: Wira Nurmansyah)
Petani tembakau KW 2 di ladang tembakau Lekor (foto oleh: Wira Nurmansyah)
Di Desa Lekor ini, banyak warganya yang sukses bertani tembakau, nyaris sebagian besar orang di Desa Lekor hidup makmur. Semua berkat tembakau. Bahkan menurut Haji Sabarudin, sudah ada banyak warga yang berhasil naik haji dari hasil bertani tembakau.
Kini saya semakin sadar, bahwa bukan hanya tukang bubur yang bisa naik haji, tapi petani tembakau pun juga bisa. Camkan itu RCTI, camkan itu...
* * *
SELEPAS Petang, kami mampir di salah satu rumah makan terkenal di Lombok. Di rumah makan ini, kami sekalian berdiskusi dengan Pak Iskandar dan juga Pak Martadinata, seorang budayawan Lombok yang ternyata masih adiknya Pak Iskandar.
Diskusi bersama Pak Iskandar dan Pak Martadinata (foto oleh: Lostpacker)
Dalam diskusi ini, kami berbincang soal hubungan erat rokok dengan budaya masyarakat Lombok (Di Lombok, masyarakat menyebut rokok dengan sebuatn Lanjaran). Usut punya usut, ternyata di Lombok , Rokok juga menjadi salah satu sajian untuk menyambut tamu, terutama untuk acara-acara adat.
Penyajiannya pun tak jauh berbeda dengan di daerah saya, yaitu rokok dikeluarkan dari bungkusnya, lalu diletakkan dalam gelas, kemudian diputar sesama tamu dan diambil secara bergantian.
Ah, Rokok kadang memang seperti Nokia: Connecting People
* * *
MINGGU, 23 Agustus 2015, Hari terakhir penjelajahan. Di hari terakhir ini, kami diajak untuk berwisata.
Destinasi pertama yang dituju adalah Kampung adat Sasak Sade yang termasyur itu. Kampung ini berada di Pujut, Lombok Tengah. Dusun ini dikenal sebagai dusun yang mempertahankan adat suku Sasak. Dinas Pariwisata setempat memang menjadikan Sade sebagai desa wisata. Ini karena keunikan Desa Sade dan suku Sasak yang jadi penghuninya.
Bersama Adit, Sesama anggota tidak tetap Marxis Manja Group (foto oleh: Adit)
Sebagai desa wisata, Sade punya keunikan tersendiri. Meski terletak persis di samping jalan raya aspal nan mulus, penduduk Desa Sade di Rembitan, Lombok Tengah masih berpegang teguh menjaga keaslian desa.
Bisa dibilang, Sade adalah cerminan suku asli Sasak Lombok. Yah, walaupun listrik dan program Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dari pemerintah sudah masuk ke sana, Desa Sade masih menyuguhkan suasana perkampungan asli pribumi Lombok.
Menyusuri Kampung adat Sasak Sade (foto oleh: Eko Susanto)
Salah satu yang unik di kampung ini adalah, jika seorang pria sasak ingin menikahi wanita sesama suku sasak, maka ia harus menculik si wanita dan kemudian meminta orang tua si wanita agar menikahkannya. hehehe. Jadi jangan heran kalau ada kasus penculikan, maka laporan ke Penghulu bakal lebih banyak ketimbang laporan ke polisi.
* * *
Selain Kampung Sade, destinasi wisata lain yang kami kunjungi adalah pantai Tanjung Aan. Jelas akan durhaka bagi kami bila berkunjung ke Lombok tanpa mengunjungi salah satu dari sekian banyak pantainya yang memang terkenal indah.
Walau di Lombok, tapi Jiwa tetap Pantura. Monataaaa... (foto oleh: Lostpacker)
Di pantai Tanjung Aan yang indah dan semledot itu (foto oleh: Sukma Dede)
Bersama Duo Potas (Arman Dhani dan Nody Arizona) (foto oleh: Sukma Dede)
Pantai Tanjung Aan ini Subhanalloh indahnya. Pasirnya putih, airnya bening, pemandangannya sempurna. Ah, ingin sekali rasanya kelak bisa berbulan madu di sini.
(Tunggu abang dek, tunggu abang...)
* * *
SENIN pagi, 24 Agustus 2015, seluruh rombongan sudah berkemas dan bersiap meninggalkan hotel. Kami semua meluncur ke Bandara Internasional Lombok untuk selanjutnya pulang ke rumah kami amsing-masing. Rombongan terbagi menjadi dua jurusan, satu rombongan bakal terbang ke Jakarta, dan rombongan yang lain bakal terbang ke Yogyakarta. Saya jelas masuk dalam rombongan yang terbang ke Yogyakarta.
Namun sunguh beruntung nasib saya. Di menit-menit akhir, baru saya diberi tahu, kalau ternyata, ada bonus wisata untuk saya. Hehehe. Jebul, saya diajak sama Panitia untuk jalan-jalan sebentar barang setengah hari di Bali. Lagi-lagi, Rejeki anak sholeh.
Saya, Adit, Mas Eko (panitia), dan Nody (panitia) akhirnya terbang ke Bali untuk berlibur sejenak.
Destinasi kami adalah Tegalalang rice terraces di Ubud, itu lho, sawah terasering terkenal yang jadi tempat syuting film Eat Pray Love yang dibintangi sama Julia Roberts.
Numpang ngopi sebentar di tepi sawah (foto oleh: Eko Susanto)
Kami hanya sebentar di Bali, cuma enam jam, karena selanjutnya kami harus terbang pulang ke Jogja jam setengah tiga sore. Tapi tak apa lah, biar hanya sejenak, yang penting sarat kesan. Lha kapan lagi bisa umuk sama temen: “Aku ini ke Bali cuma mau mampir ngopi, kurang sugih gimana coba?”
* * *
PENERBANGAN ke Jogja berjalan dengan sangat lancar, landing-nya mulus, Lha Garuda Indonesia je (umuk yo ben)
Di Bandara Adi Sucipto, kami berpisah. Saya langsung bertolak ke Magelang menggunakan Damri. Sedangkan Adit, Mas Eko, dan Nody langsung menuju kantor KBEA untuk singgah.
Bagi saya, Penjelajahan baru benar-benar usai saat kaki saya memijak halaman depan rumah saya. Sungguh sebuah penjelajahan yang sangat berkesan. Kawan baru, pengalaman baru, dan kisah yang baru.
Pada akhirnya, penjelajahan ini adalah persoalan pesan yang harus disampaikan, bahwa kadang, kita akan senantiasa menjadi manusia yang salah bila selalu melihat sesuatu hanya dari satu sisi, karena seringkali kita luput pada kebaikan-kebaikan tersembunyi pada sesuatu, yang hanya bisa dilihat dari sisi yang lain.
Begitupun dengan tembakau... Ya, begitupun dengan tembakau
Tulisan dari kawan-kawan Blogger:
Wira Nurmansyah – Negeri Tembakau Lombok
Sutiknyo – Lombok, Jelajah Negeri Tembakau
Indri Juwono – Hamparan Hijau Tembakau Lombok
Vira Indohoy – Another Side of Lombok Island, West Nusatenggara
Efenerr ─ Daulat Negeri Tembakau
Dear, Wanita yang Membuatku Lena
Dear, wanita yang membuatku lena...
Aku tahu, bahwa dalam ilmu ekonomi kerakyatan, menitipkan barang dagangan memanglah harus pada pedagang yang tepat dan amanah. Tentu agar barang dagangan itu berbalas menjadi uang yang nilainya sepadan, bukannya malah menjadi bon yang entah kapan dibayarnya.
Dan kini aku mengakui, bahwa aku sangatlah bodoh, karena tak bisa belajar dari ilmu ekonomi kerakyatan. Aku bodoh karena nekat menitipkan cinta pada dirimu, lebih bodoh lagi karena aku menitipkan cinta itu hanya kepada dirimu, ya, hanya pada dirimu thok, tidak membaginya kepada wanita lain, seperti halnya produsen menyetok barang dagangan tidak hanya pada satu pedagang.
Menitipkan cinta padamu ternyata menjadi sesuatu yang sangat menyakitkan. Lagi-lagi aku yang bodoh, karena menganggapmu sebagai "pedagang" yang tepat dan amanah.
Pada akhirnya, hasilnya memang bisa ditebak: Cinta yang aku titipkan kini teronggok begitu saja, Tak pernah kau transaksikan, atau bahkan mungkin, tak pernah kau jamah. Ah, Cinta memang rumit, mungkin karena cinta bukan barang dagangan, yang hitung-hitungannya bisa dihitung secara literal.
Dear, wanita yang membuatku lena...
Tentu aku tak bisa menyalahkanmu, karena memang kau tak pernah bertindak salah. Kau hanya bertindak selayaknya apa yang harus dilakukan oleh kebanyakan wanita waras. Dan aku maklum (lagipula, apalagi yang bisa aku lakukan selain maklum?)
Dear, wanita yang membuatku lena...
Aku memang manusia yang kerap berbuat khilaf, sama halnya seperti Jonru. Tapi apalah dayaku untuk melawan khilaf itu, karena ternyata, Mencintaimu adalah khilaf yang terlalu mengasyikkan. Ya, sangat mengasyikkan, hingga aku lena dibuatnya, terlalu lena, sampai-sampai aku tak sempat untuk mengambil cermin untuk berkaca.
Mungkin memang aku yang terlalu tak sadar diri, karena terlalu berani mencintaimu. Okeee, Sedari dulu memang aku sudah tahu, bahwa konsekuensi "jatuh cinta" adalah "cintamu bakal jatuh", tapi ternyata aku tak menyangka, bahwa jatuhnya bakal sesakit ini.
Dear, wanita yang membuatku lena...
Terima kasih karena telah mengisi satu titik hitam dalam ruang asmaraku. Satu titik keropos yang mungkin sekarang sudah berlubang, meninggalkan perih yang teramat sakit untuk ditanggung sendirian. Agaknya, inilah saatnya untuk memaksamu keluar dari titik hitam itu, semata agar lubangnya tak semakin membesar.
Mungkin benar kata Freddie Mercury (yang kadar mrongosnya dua tingkat di bawah saya), Too much love memang will kill you
Kau goblok gus, kau goblok...