Perpu Hukuman kebiri untuk pelaku pelecehan seksual terhadap anak sudah diteken oleh Presiden. Dan seperti biasa, hal yang sensitif ini mengundang banyak pro-kontra. Yang pro menganggap ini hukuman yang tepat karena dinilai mampu menjadi solusi terhadap kejahatan seksual yang semakin tinggi, yang kontra menilai, hukuman kebiri ini dinilai tidak sesuai dengan HAM. Baik pihak pro maupun kontra masing-masing punya landasan pendapat sendiri.
Terlepas dari pro kontra hukuman kebiri untuk pelaku pelecehan seksual tertentu, jujur, saya berada di pihak yang cenderung setuju dan mendukung.
Kenapa? Karena menurut saya, seandainya hukuman kebiri tidak mampu menimbulkan efek jera bagi pelakunya, setidaknya ia mampu menimbulkan efek takut bagi calon-calon pelaku lainnya.
Sebagai lelaki, saya kok yakin, bahwa tidak bisa ngaceng atau tidak punya sesuatu untuk dingacengkan adalah salah satu momok yang sangat menakutkan. Yang pada titik tertentu bisa lebih mengerikan ketimbang kurungan penjara belasan tahun atau denda ratusan juta.
"Tapi Hukuman kebiri tidak akan menjadi jaminan kasus pelecehan seksual akan hilang"
Ya, begitu juga dengan sekolah yang tidak akan menjamin kebodohan akan hilang, begitu juga dengan dokter yang tidak akan menjamin penyakit akan hilang, begitu juga dengan Uji kelayakan kendaraan yang tidak akan menjamin kasus kecelakaan akan hilang, begitu juga dengan sedekah yang tidak akan bisa menjamin kemiskinan akan hilang, begitu juga dengan kopi yang tidak bisa menjamin kesepian akan hilang.
Bagaimanapun itu, kita tetap butuh Sekolah, kita tetap butuh dokter, kita tetap butuh uji kelayakan kendaraan, kita tetap butuh sedekah, dan kita juga tetap butuh kopi.
Kenapa? Karena Ini bukan tentang usaha untuk menghilangkan, ini tentang usaha untuk mengurangi. Sekali lagi, mengurangi...
Mengurangi...
Hukuman Kebiri? Kenapa Tidak?
Di Klinik Kesehatan Akmil
Nama resminya “Klinik PPK-1 Kesehatan Akmil”, sebuah klinik kesehatan yang berlokasi di perumahan akademi militer panca arga. Meski klinik kesehatan ini milik akademi militer, namun masyarakat umum juga boleh berobat di sini.
Masyarakat sekitar klinik lebih senang menyebut klinik ini dengan sebutan “Kesehatan” saja. Jadi, kalau ada yang sakit, biasanya banyak yang bilang “langsung dibawa ke kesehatan saja”
Di masa jayanya, klinik ini sempat menjadi ujung tombak yang sangat ampuh bagi TNI untuk meleburkan diri dengan masyarakat. Klinik ini menjadi bukti yang sangat otentik implementasi konsep Kemanunggalan TNI-Rakyat.
Saya punya kenangan tersendiri dengan klinik ini.
Dulu, sewaktu kecil, jari saya pernah tertembus kail pancing. Sakitnya ngaudubillah setan. Dan kurang ajar, si kail bedebah yang tidak tahu diri itu rupanya tidak mau diajak kerja sama. Begitu susah untuk dicabut. Semakin dicabut, semakin besar sakit yang saya rasakan.
Saya menangis dengan tangisan yang sepilu-pilunya. Mbah saya pun sigap, ia segera mengambil sepeda kumbangnya, dan langsung membawa saya ke “Kesehatan”
Di sana, entah dengan teknologi dan obat macam apa, si kail bedebah dengan mudahnya bisa dicabut dari jari saya dengan rasa sakit yang teramat minim.
Itulah perkenalan pertama saya dengan si “Kesehatan”. Sebuah perkenalan yang tak terlalu bagus, namun cukup akrab.
Kunjungan saya berikutnya ke “Kesehatan” terjadi sekitar lima tahun setelah insiden “kail tancap”.
Kunjungan saya kali itu tidak semenyakitkan kunjungan yang pertama. Kunjungan kedua itu menjadi kunjungan yang begitu intim. Ya, intim. Karena kunjungan saya adalah untuk melepas perban yang menyelimuti burung saya, empat hari setelah saya sunat.
Sore tadi, saya mengunjungi klinik ini untuk sekadar bernostalgia, dan entah mengapa, saya kok jadi teringat dengan burung saya yang dulu pasrah dan tak berdaya saat pak dokter membredel perban yang sudah beberapa hari sebelumnya selalu melekat dengan setia.
Mampir ke Kampung Arab Al-Munawar Palembang
“Orang Arab itu antitesanya orang Sunda. Kalau orang Sunda ngomong F jadi P, nah kalau orang Arab, ngomong P malah jadi F”
– (Yanto, 23 tahun, penjual obat kuat)
Yah, Itu adalah salah satu humor jayus yang sedikit banyak lumayan memberikan saya gambaran dasar tentang orang Arab.
Saya memang tak terlalu mengenal bagaimana orang Arab. Yang saya tahu ya hanya sekadar dari sentimen yang muncul dari masyarakat tentang orang arab. Misalnya, orang arab itu dzikirnya faseh, orang Arab itu raja minyak, atau yang paling ekstrem, orang Arab itu anunya gedhe.
Kalau di Magelang (kota kecil tempat saya tinggal), orang-orang arab selalu identik dengan juragan mebel. Ini generalisir yang sangat beralasan, karena memang toko-toko mebel di sepanjang jalan A. Yani dan jalan Ikhlas hampir seluruhnya dimiliki oleh orang-orang keturunan arab. Yah, mungkin orang-orang keturunan arab di Magelang memang punya chemistri yang kuat dengan meja, kursi, bufet, dan almari.
Pemahaman saya tentang orang arab memang masih sangat cetek. Maklum, saya jarang punya temen keturunan arab. Jadinya ya cuma bisa meraba sedapatnya.
Maka, betapa beruntungnya saya saat mendapat kesempatan untuk mengunjungi Kampung Arab Al Munawar di Palembang, salah satu kampung Arab yang paling termasyur di Indonesia.
Salah satu sudut Kampung Arab Al Munawar
Adalah Kementerian Pariwisata RI, yang secara baik hati dan khilaf bersedia mengundang saya untuk berdarmawisata ke Palembang. Saya bersama beberapa blogger diundang untuk meliput destinasi wisata di Palembang dalam rangka meramaikan dan menyemarakkan event International Musi Triboatton 2016, yang mana salah satu destinasinya adalah Kampung Arab Al Munawar.
Kampung Arab Al Munawar ini berada di kawasan 13 Ulu, pesisir sungai Musi. Untuk menuju ke lokasi kampung arab ini, bisa melalui dua jalur, jalur pertama via jalur darat, sedangkan jalur kedua via jalur sungai alias menyusuri sungai Musi menggunakan perahu.
Panitia memilih untuk menggunakan jalur sungai. Sungguh pilihan yang cocok bagi saya, mengingat saya adalah sosok pria yang sangat suka menantang bahaya dan memacu adrenalin. Lagipula, kami juga sadar, bahwa nenek moyang kami adalah pelaut, bukan supir travel.
Jalesveva Jayamahe...
Butuh waktu sekitar 30 menit perjalanan dari dermaga jembatan Ampera sampai ke kampung Arab Al Munawar.
Begitu turun dari perahu dan sampai di gerbang kampung Arab Al Munawar, gambaran saya tentang perkampungan arab yang sudah saya simpan sejak lama sirna sudah. Saya pikir, lha namanya saja kampung arab, harusnya kan ya tandus, penuh pasir, sesekali ada pohon korma atau ontanya, ealah, ternyata bukan. Sama sekali ndak ada nuansa padang pasirnya. Hahaha
Akhirnya, sampai juga di gerbang kampung Arab Al Munawar
Teras rumah yang cocok buat gathering atau diskusi pendekar antar padepokan
Di kampung Arab Al Munawar ini, ada sekitar belasan rumah panggung tradisional bergaya limas yang rata-rata sudah berusia lebih dari seratus tahun. Jalannya tak jauh berbeda dengan jalan kampung kebanyakan. Yang membedakan adalah bangunan-bangunannya yang lawas dan eksotis.
Daihatsu Alya, bukan Ayla (bacanya harus dari kanan ke kiri, kan kampung arab)
Kampung Al Munawar ini menjadi salah satu destinasi wisata favorit di Palembang. Namun, kendati begitu, Kampung ini seakan tak pernah berhias untuk menjadi tempat wisata, penduduk kampung ini menjalani hidup seperti biasa, seperti tak perduli jika mereka dan lingkungan perkampungan mereka menjadi salah satu destinasi wisata yang menarik di Palembang. Dan jujur, bagi saya, justru itulah yang menjadi daya tarik sendiri bagi banyak wisatawan yang datang ke situ. Jadi, jangan harap anda bakal menemukan pedagang-pedagang keliling yang menawarkan anda tasbih atau lukisan onta padang pasir di kampung arab ini.
Menyusuri jalanan kampung Arab, ndak perlu takut ketemu begal
Utamakan Ukhuwah, stiker ciamik di salah satu sudut kampung Al Munawar
Penduduk Kampung Arab bercerita soal sejarah Kampung Arab Al Munawar
Penduduk kampung arab umumnya berprofesi sebagai pedagang. Sebagian besar rumah-rumah tua di kampung-kampung itu dihuni secara turun-temurun, sehingga sudah menjadi hal yang lumrah bila di satu rumah bisa dihuni oleh beberapa kepala keluarga.
Vintage dan eksotis, berasa seperti tersedot ke masa lalu
Vintage dan eksotis, berasa seperti tersedot ke masa lalu (2)
Di Kampung Arab Al Munawar ini, terdapat satu Madrasah Ibtidaiyah yang menjadi tempat belajar anak-anak Kampung Arab Al Munawar dan sekitarnya. Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Kautsar namanya.
Di depan gerbang Madrasah Ibtidaiyah Al-Kautsar
Sama seperti rumah-rumah penduduk di Kampung arab Al-Munawar, Madrasah ini juga mempunyai bentuk bangunan yang vintage dan eksentrik.
Alhamdulillah, salah satu murid masih sudi untuk saya ajak foto bareng
Jam pulang sekolah memang selalu menjadi anugrah yang paling indah
Iman dulu, baru aman, kemalingan nggak apa-apa, yang penting tetap beriman
Ruang kelas yang minimalis
Presidennya masih tetap Pak Beye...
Mushola dan perpustakaan
Sengaja ditulis salah, karena sejatinya, kebenaran hanya milik Allah semata
Yang penting bisa baca Al-Quran, bisa baca kode dari cewek, itu mah bonus.
Saya hanya setengah hari menghabiskan waktu di kampung arab ini. Dan selama setengah hari itu, saya puas menikmati keindahan bangunannya, mendengarkan cerita-cerita seru para penduduknya, melihat keceriaan anak-anak kecilnya, juga merasakan kehangatan dan senyum warganya. Benar-benar pengalaman yang rasanya akan sangat sulit untuk dilepas.
Di Kampung Arab pun, Boboiboy masih tetap jadi idola
Sungguh, suatu saat, jika anda mampir ke Palembang, maka anda wajib berkunjung ke kampung arab ini, yah, siapa tahu, anda dapat facar ferempuan Falembang yang finter dan fenyayang... Eh Lho, kok saya jadi ketularan arab begini ya?
5 Hal yang akan Saya Lakukan Seandainya Saya adalah Rangga
Bagi banyak wanita, tentu sosok Nicholas Saputra sebagai Rangga di film AADC akan susah digantikan oleh siapapun. Ya, oleh siapapun. Bahkan oleh sosok yang jauh lebih tampan dari Nicholas Saputra sekalipun. Mau dibikin sekuel sebanyak apapun dalam berbagai versi, Rangga harus tetap Nicholas Saputra.
Wiro Sableng mungkin bisa diperankan oleh Tony Hidayat, Ken Ken, atau Abhie Cancer. Spiderman juga mungkin bisa diperankan oleh Tobey Maguire, Andrew Garfield, ataupun Tom Holland. Tapi Rangga, ia hanya bisa diperankan oleh Nicholas Saputra. Hal ini tak bisa diubah, karena memang sudah begitu aturan mainnya. Hukum AADC harus ditegakkan setegak-tegaknya.
Sebagai seorang AADC-ers yang kaffah, saya mencoba untuk mematuhi dan menjunjung tinggi hukum AADC, dimana Rangga tak bisa digantikan oleh siapapun.
Tapi sayang, ini adalah Mojok, situs dimana banyak aturan main boleh dan bisa ditabrak sesukanya, situs dimana hukum AADC tidak dijadikan rujukan yang utama.
Maka, untuk kali ini saja, izinkan saya menyaru sebagai Rangga.
Menjadi seorang Rangga tentu bukan hal yang mudah. Ia harus selalu kalem dan cool, padahal seperti yang sampeyan tahu, saya adalah makhluk yang paling susah jika harus disuruh macak kalem. Selain itu, saya juga tak bisa betah jika terus disuruh berfikir dan bertindak dari sudut pandang seorang Rangga.
Nah, atas dasar itulah saya menyusun daftar hal apa saja yang akan saya lakukan seandainya saya adalah Rangga. Tentu menurut sudut pandang nalar saya.
Apa sajakah? Monggo disimak.
Saya akan mengakui penetapan saya sebagai pemenang lomba puisi dan mengambil hadiahnya
Ya, itu adalah hal pertama yang akan saya lakukan seandainya saya menjadi Rangga. Saya akan datang ke lapangan upacara, lalu mengakui dan menerima hadiah atas kemenangan saya di lomba puisi yang saya ikuti secara tidak sengaja itu (karena bukan saya yang mendaftarkan puisi saya).
Ini tentu langkah yang bijak dan taktis. Mang Diman girang, pak Kepala Sekolah tidak kebingungan, dan Saya juga senang karena dapat hadiah. Apalagi menurut desas-desus yang beredar, konon hadiah lomba puisi waktu itu adalah voucher belanja Indomaret yang nilainya cukup menggiurkan. Yah, kapan lagi bisa dapat snack Pocky dan Sari Roti gratis cuma karena nulis puisi?
Saya tak khawatir penerimaan hadiah itu akan meghambat kisah asmara antara saya dan Cinta. Karena saya sadar, menerima atau tidak menerima hadiah, toh Cinta bakal tetap mewawancarai saya, secara dia itu kan orang mading, ditambah dia juga merasa gagal karena puisinya kalah kece dan ciamik dibandingkan puisi saya.
Mangkanya, saya heran banget sama Rangga (yang asli), mengapa ia menolak mengakui dan menerima hadiah lomba puisi itu. Ganteng sih ganteng, tapi gobloknya itu lho, nggak ketulungan.
Saya tak akan mengajak Cinta ke toko buku
Setelah sukses mendekati Cinta, saya tak akan mengajaknya ke toko buku, apalagi toko buku bekas. Kenapa? Karena saya sadar, mengajak wanita ke toko buku bukanlah hal yang romantis. Toko buku adalah tempat yang suci dan sakral, ia tak pantas menjadi tempat yang hanya menjadi ajang pamer keromantisan dan intelektualitas.
Karena itulah, saya lebih memilih mengajak Cinta ke warnet, untuk kemudian mengajarinya bagaimana cara membuat akun di Tokopedia atau Bukalapak, lalu membeli buku secara online di sana. Itu adalah cara yang etis dan romantis tanpa harus merusak kesakralan toko buku.
Hari gini masih ngedate di toko buku? Duh Gusti paringono ekstasi…
Saya akan mengajak Cinta nonton film di rumah
Mengajak seorang wanita ke kafe lalu menjebaknya agar tampil untuk menyanyi atau membaca puisi di hadapan segenap pengunjung kafe adalah sesuatu yang sangat tidak pantas bagi seorang lelaki. Dan itu yang dilakukan oleh Rangga (Bangsat kamu, Rangga).
Karenanya, sebagai Rangga tandingan, saya tidak akan mengikuti jejaknya. Saya justru akan mengajak Cinta main ke rumah lalu nonton film. Film apa yang akan kita tonton? Tentu saja AADC. Agar apa? Ya agar saya bisa memberitahu Cinta, betapa gobloknya Rangga yang asli karena menolak menerima hadiah, juga memberi tahu, betapa noraknya seorang pria yang mengajak gebetannya ke toko buku bekas, dan betapa bangsatnya pria yang menjebak gebetannya agar mau tampil di hadapan umum.
Hal itu saya lakukan semata agar Cinta bisa membedakan, mana Rangga yang hobi nguntal Cerebrovit, dan mana Rangga yang hobi ngemil micin.
Saya akan mengajak Cinta ke Angkringan Mojok
Alih-alih mengajak Cinta makan di rumah, saya justru akan mengajak Cinta makan di Angkringan Mojok. Lho, Angkringan Mojok? Bukannya Angkringan Mojok itu di Jogja, sedangkan setting AADC itu di Jakarta? Duh, kan saya sudah bilang, ini Mojok, situs dimana hukum AADC tidak harus ditegakkan. SMA tempat saya dan Cinta sekolah kan tidak harus di SMA Kolese Gonzaga di Jakarta sana. Lha kalau saya bilang bahwa SMA sekolah kami itu adalah SMA Pangudi Luhur Gondomanan atau SMA Bopkri Kotabaru, kalian mau apa?
Alasan mengapa saya membawa Cinta ke Angkringan Mojok adalah untuk mempertemukan Cinta dengan Puthut EA. Karena dengan begitu, saya jadi bisa mewujudkan impian Puthut EA yang sedari dulu ngebet sekali pengin ketemu sama Cinta. Selain itu, saya juga bisa dapat mengumbar gombalan sama si Cinta.
“Cinta, cantikmu itu begitu luhur, bahkan seorang Puthut EA yang sudah punya anak istri pun sampai sekarang masih saja terus terobsesi sama kecantikan kamu.”
Tentu itu adalah langkah yang sangat Sun Tzu. Win-win solution. Puthut EA tercapai hajatnya, Cinta tersanjung dan tersipu bahagia, sedangkan saya mendapat kredit poin karena bisa membahagiakan keduanya.
Saya akan tetap pergi, tapi tak jauh
Rangga akhirnya harus pergi ke New York. Itu adalah bagian yang menyedihkan, namun harus tetap ada. Bagaimanapun, kepergian adalah harga yang harus dibayar Rangga untuk bisa menebus ciuman klomoh Cinta.
Sebagai Rangga tandingan, Saya pun tetap akan pergi menjauh dari Cinta, tapi tentu tidak jauh-jauh amat. Kemana saya pergi? Tentu bukan ke New York. Lalu kemana? Saya yakin anda sudah tahu jawabannya. Yak, betul, Polewali Mandar.
*Terbit pertama kali di Mojok.co