Sore ini, saya dan Kalis berkunjung ke pasar kangen. Yah, sekadar jalan-jalan cuci mata sambil melihat-lihat buku dan kaset bekas, tentu sambil membeli barang satu dua.
Selepas adzan isyak, saya mengajak kalis pulang. Maklum, suasana pasar kangen pada jam-jam tersebut sudah sangat ramai, sehingga agak tidak syahdu kalau mau berkeliling dari stan satu ke stan yang lain. Lagipula, saya dan kalis sudah cukup puas membeli beberapa buku dan kaos di sana.
Kami segera ke parkiran. Mengambil motor, dan langsung tancap gas pulang.
Di perjalanan, saya kepikiran buat menawari kalis nonton. Kebetulan, kami berdua sama-sama belum nonton Dunkirk.
“Bar iki meh langsung bali po meh nonton?” Tanya saya. Kalis hanya diam, tak menjawab. “Lis, nek ditakoni ki mbok njawab, ora meneng wae!” kata saya sedikit membentak. Dan dia masih tetap diam.
Bajangkrek setan alas, bocah ini ngambek apa gimana sih. Dari tadi ditanya kok diam saja.
Saya agak kesal dan kemudian menengok ke belakang bermaksud untuk memarahinya, dan... Masya Alloh, boncengan belakang saya kosong mlompong. Ternyata Kalis belum terangkut. Dan saya sudah jalan satu kilo.
Saya buka wasap, buru-buru minta maaf. Sebab saya sadar, kalau saya tidak segera minta maaf, hidup saya terancam.
Tanpa banyak babibu, saya langsung putar balik dan menjemput muatan saya yang tertinggal. Sesampainya di tempat penjemputan, saya melihatnya memasang muka mrengut.
“Ha kowe ki piye tho? Aku gek nganggo helm kowe wis nglencer wae, tak kiro tekan ndalan meh mandek, jebul bablas,” ujarnya.
“Dingapuro yo, tak kiro kowe wis munggah,” kata saya penuh sesal. “Pantes wae mau kok rasane enteng, manuvere iso gesit, jebul ra ono buntute.”
Kalis tertawa. Saya ayem. Hidup saya tidak jadi terancam.
Tidak Terangkut di Pasar Kangen
Aktor yang Lebih Cocok Memerankan Tokoh Dilan Selain Iqbaal CJR
Setelah sekian lama dinanti, novel laris karya Pidi Baiq, Dilan, akhirnya akan diangkat ke layar lebar. Film ini akan digarap oleh Falcon Pictures bersama Max Pictures dengan Fajar Bustomi sebagai sutradaranya.
Daftar pemeran film Dilan pun sudah disebar oleh pihak Falcon. Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan atau yang lebih dikenal sebagai Iqbaal CJR didapuk sebagai pemeran Dilan, sementara tokoh Milea akan diperankan oleh Vanesha Prescilla.
Netizen (maaf, saya belum terbiasa pakai istilah warganet) langsung heboh dengan pengumuman cast film Dilan ini. Kebanyakan mengkritik pemilihan Iqbaal yang dinilai ra mashooook untuk memerankan sosok Dilan. Iqbaal (ah, kenapa “a”-nya musti dua sih?) dianggap terlalu polos dan alim untuk ukuran Dilan.
Maklum saja, Di dalam novel Dilan, sosok Dilan memang digambarkan sebagai anak SMA cerdas, banyak akal, humoris, romantis, namun keras kepala lagi bad boy. Selain sebagai pelajar, ia juga nyambi sebagai panglima tempur salah satu geng motor di kota Bandung. Jadi tak heran jika Iqbaal, yang selama ini memang sudah kadung punya image sebagai anggota boyband remaja (untuk tidak menyebutnya cilik) dianggap kurang bad boy, kurang gahar, kurang geng motor, kurang klithih, dan berbagai kurang-kurang yang lainnya.
“Bukan gasuka Iqbal, tapi Dilan tuh Badboy euy. Iqbal mah alim. Ekspektasi tinggi banget ke Dilan. Semoga gasalah pilih.” Begitu kata pemilik akun @Wirasatriap
“Dilan itu tipe bad boy yang mainnya motor-motoran. Bukannya enggak suka Iqbal, tapi mukanya aja muka baik,” kali ini menurut pemilik akun @sccrltwtch.
(Maapin netizen ya Baal. Ya gimana ya, bagaimanapun, image Coboy Junior memang susah diterima untuk hal-hal yang berbau dewasa. Masih inget kan waktu kompatriotmu Mas Babas itu diece setengah modar gara-gara digosipkan pacaran sama Chelsea Islan?)
Kritik dan penolakan terhadap pemilihan aktor/aktris dalam memerankan satu tokoh tertentu sebenarnya memang bukan hal baru dalam dunia perfilman, terlebih jika yang digarap adalah film yang diangkat berdasarkan kisah di novel atau buku cerita lainnya.
Para pembaca novel yang akan dijadikan film pasti akan mengharapkan kesesuaian karakter antara tokoh di novel dengan pemeran di film. Sehingga wajar muncul kritik terhadap pemilihan aktor jika ia dianggap tidak mampu mewakili sosok tokoh yang ada di novel. Ini lumrah. Kecuali kalau novel yang mau diangkat ke dalam film adalah novel-novel stensilan Enny Arrow, pastilah minim kritik, sebab kebanyakan pembaca stensilan Mbak Enny memang fokus pada faktor uhuk-uhuknya, bukan karakter tokohnya. Lha gimana mau mikir pendalaman karakter, pas baca ngaceng melulu?
Dulu, ketika serial Harry Potter diangkat ke layar lebar, banyak pembaca Harry Potter yang mengkritik pemilihan Daniel Radcliffe. Nyatanya, ketika film itu jadi, Daniel banyak dipuji karena sukses memerankan sosok Harry. Bahkan banyak orang bilang tak ada aktor lain yang bisa menandingi Daniel Radcliffe dalam memerankan sosok penyihir remaja tersebut.
Tak jauh berbeda dengan Daniel Radcliffe, Ben Affleck pun juga pernah dianggap kurang pas untuk memerankan sosok Bruce Wayne alias Batman, hingga kemudian waktu membuktikan sendiri betapa ia sukses menggantikan Christian Bale dan bahkan disebut-sebut sebagai Batman terbaik yang pernah ada.
Ada yang berhasil, ada juga yang gagal. Ben Affleck yang dianggap sebagai pemeran terbaik Batman itu sebelumnya pernah gagal membuktikan kritikan atas pemilihannya sebagai tokoh superhero, kali ini lewat Daredevil. Kala itu, ia dianggap tidak cocok memerankan sosok superhero buta tersebut, dan hasilnya toh memang demikian. Film besutan tahun 2003 itu dianggap gagal dan mendapatkan banyak kritikan negatif dari para kritikus film, termasuk soal ketidakcocokan Ben Affleck yang dianggap kurang mewakili karakter Matt Murdock si Daredevil. Di IMDB, film ini hanya mendapatkan rating 5,3.
Kegagalan lain yang agaknya masih cukup segar dalam ingatan tentu saja adalah King Arthur: Legend Of The Sword. Film yang digadang-gadang bakal menjadi versi terbaik dari film-film lain yang bercerita tentang Raja Arthur ini nyatanya justru gagal dan merugi ratusan juta dolar. Pemilihan Charlie Hunnam sebagai pemeran raja Arthur dianggap sebagai salah satu sebab kegagalan film ini. Maklum, pemeran Jax Teller pada film seri Sons of Anarchy ini memang dianggap lebih cocok memerankan sosok anak motor ketimbang seorang kesatria pemberani .
Kalau mau versi yang lebih lokal, kita bisa melihat dari kasus film Warkop DKI Reborn. Kendati sukses di pasaran, film ini dianggap gagal untuk menampilkan kembali karakter Dono, Kasino, dan Indro. Dari ketiga pemeran trio Warkop, hanya Abimana Aryasatya yang bisa dibilang cukup sukses memerankan Dono secara karakter, sedangkan Vino Bastian yang memerankan Kasino dan Tora Sudiro yang memerankan Indro dianggap masih belum bisa menemukan pertalian karakter yang tepat.
Kembali ke Dilan.
Adanya banyak kritik dari pembaca Dilan terhadap pemilihan Iqbaal tentu bukan hal yang buruk-buruk amat. Pada titik tertentu, hal itu justru bagus. Ia menjadi salah satu bukti bahwa pengenalan karakter Dilan berhasil melekat di benak para pembacanya.
Soal pemilihan pemeran Dilan ini pun tak pelak menjadi hal yang menarik dan layak untuk diperdebatkan. Ia bisa melibatkan banyak nama, sebab untuk menjadi Dilan, bad boy saja tidak cukup (Kalau sekadar bad boy, Ray Sahetapi atau Torro Margens juga bisa).
Untuk menjadi Dilan (selain tentu saja harus bad boy), ia haruslah cakap, luwes dalam percakapan, agak tengil, dan romantis. Sukur-sukur kalau Sunda.
Nah, saya tentu menghormati keputusan Falcon dalam memilih Iqbaal sebagai pemeran Dilan. Tapi, jika ndilalah di tengah jalan mereka berubah pikiran dan berniat mengganti Iqbaal, saya punya beberapa referensi aktor yang mungkin bisa dipertimbangkan.
Sosok pertama tentu saja adalah Reza Rahadian. Lha, siapa lagi? Aktor yang kerap dijuluki Johnny Depp-nya Indonesia ini selalu masuk dalam daftar calon pemeran utama di hampir setiap film Box Office Indonesia. Kemampuan aktingnya yang mumpuni serta keluwesannya menghayati banyak karakter membuat dia pas berperan menjadi apa saja. Dari menjadi seorang pendekar, guru, presiden, penambang, sampai menjadi arem-arem atau toples Khong Guan sekalipun dia cocok.
Kalau saja Reza Rahadian lahir lebih dulu ketimbang Anto Wijaya, saya yakin, dialah yang dulu bakal jadi pemeran Arya Kamandanu dan Prabu Angling Darma, bukan Anto Wijaya. Bahkan, kalau saja kemarin Dian Sastro tidak bisa berakting dengan baik, mungkin Reza Rahadianlah yang bakal mengambil alih pucuk pimpinan dan berperan menjadi Kartini, bukan malah sebagai kakaknya.
Jangankan jadi Kartini, jadi tusuk kondenya pun saya yakin Reza mampu.
Namun sayang, Pidi Baiq agaknya memang penulis nyentrik dan tidak suka hal-hal yang berbau mainstream. Sehingga nama Reza Rahadian kecil sekali kemungkinannya untuk masuk hitungan.
Selain Reza Rahadian, ada Mohammad Tria Ramadhani alias Tria Changcuters. Sebagai sosok kelahiran Bandung, Tria tentu punya keterikatan emosional geografis dengan Dilan, sebab keduanya sama-sama orang Bandung.
Selain itu, Tria juga dianggap punya pengalaman di bidang peran sebagai anak motor. Maklum saja, di film The Tarix Jabrix 1, 2, dan 3, Tria bersama kawan-kawan Changcuternya memang berperan sebagai anak-anak geng motor. Ini tentu nilai lebih bagi Tria jika memerankan Dilan, yang notabene adalah seorang panglima tempur salah satu geng motor di kota Bandung.
Sosok lainnya yang juga cocok memerankan Dilan adalah Adipati Dolken. Aktor bernama asli Adipati Koesmadji yang entah dari mana mendapatkan embel-embel Dolken ini banyak diusulkan sebagai pemeran Dilan oleh para pembaca novel Pidi Baiq. Sosoknya dianggap cocok dan sesuai dengan karakter Dilan. Muda, rupawan, bertalenta, kelahiran Bandung pula.
Soal bad boy, jangan ditanya. Perannya sebagai Rangga di Sang Martir, film perang geng dan mafia itu, sudah cukup membuktikan bahwa Adipati Dolken adalah sosok yang cukup meyakinkan sebagai seorang bad boy dengan tingkat kebajinganan yang mumpuni.
Nah, sosok terakhir rekomendasi saya adalah sosok yang paling pas dan cocok memerankan tokoh Dilan. Andai Falcon Pictures mau lebih sabar dan jeli, aktor ini pastilah lolos. Dia berdarah Sunda, cerdas, bad boy, romantis, punya persona anak motor, pintar berkelit, dan punya jam terbang akting yang mumpuni. Pokoknya semua syarat yang harus dimiliki seorang Dilan ada pada sosok aktor ini.
Saya yakin Anda tahu siapa dia. Yak, betul, Epy Kusnandar.
Mutung dan Nyegat Bis
Beberapa waktu yang lalu, Mas Edi Mulyono menulis di Mojok tentang Tafsir Jodoh dan pernikahan menurut Quraish Shihab. Dalam artikel yang luar biasa lucu tersebut, ada bagian soal mutung-nya seorang istri yang kemudian memaksa dan mengancam pulang ke rumah orang tuanya naik bis.
Setelah artikel itu tayang, tak berselang lama, Kalis mengirimi saya pesan wasap.
“Tulisane pak Edi nggawe aku ngakak. Bagian padu njaluk mulih nyegat bis,” Begitu tulis Kalis.
Saya paham betul alasan kenapa dia ngakak, sebab dua minggu yang lalu, pas main ke rumah saya, Kalis sempat marah sama saya dan benar-benar mengancam mau pulang naik bis.
Gara-garanya sepele, karena saya bermaksud pengin nonton sendirian.
“Lis, tak tinggal dilit yo, kowe ng kene ndisik,”
“Lha kowe meh nangdi?”
“Tak nonton, dilit kok, paling mung rong jam,”
Saya memang merencanakan ingin nonton sendirian tanpa Kalis, sebab yang mau saya tonton waktu itu adalah Wonder Woman, film yang konon katanya tidak elok untuk ditonton berpasangan (Ayolah, lelaki mana yang masih butuh pasangan ketika di depan matanya, Gal Gadot memberikan senyum yang begitu manis dan metodis). Lagipula, saya juga paham betul, Kalis tidak suka film action apalagi yang superhero. Karenanya saya memberanikan diri sekadar formalitas untuk meminta ijin nonton sendiri.
Namun apa daya, bukan ijin yang saya genggam, malah bentakan yang saya dapat.
“Kowe ki karepe piye tho? Aku nglegakke tekan kene kok kowe tegel-tegele meh ninggal aku nonton dhewe, karepmu ki piye?”
“Ehm....”
“Wis, aku tak mbalik Jogja wae, Aku tak ngebis dhewe,” bentaknya yang kemudian membuat saya jiper.
Itulah saat di mana saya memandang Kalis bukan sebagai gadis kalem dan intelek, saya memandangnya serupa singa betina yang terluka.
Lalu apakah saya jadi nonton? Tak perlu saya jawab, sebab saya yakin, sampeyan sudah tahu jawabannya.