Saya dan Kalis baru saja selesai berbelanja buku di Gramedia jalan Sudirman. Ada beberapa buku yang kami beli, buku yang kemungkinan besar hanya akan kami buka plastiknya, kami baca beberapa lembar yang menurut kami menarik, kemudian kami tinggalkan begitu saja di rak untuk kemudian mengjadi penghias ruangan. Hal yang sebetulnya mubazir, tapi entah kenapa selalu saja membuat kami bahagia.
Tepat di dekat pintu keluar (yang sekaligus juga menjadi pintu masuk), perhatian saya mendadak terarah pada stan Casio. Stan yang menjual beragam jenis kalkulator.
Kalau tertarik pada smartphone, itu wajar. Tertarik pada sepeda, itu lumrah. Tertarik pada stationary, itu biasa. Tertarik pada harta tahta dan wanita, itu lelaki sekali. Tapi tertarik pada kalkulator? Ah. Entahlah, saya tak tahu apa sebabnya, yang jelas, begitu melihat deretan display kalkulator di stan Casio tersebut, kaki saya reflek melangkah dan mampir.
“Mas, ngapain sih, ke tempat kalkulator, Mas mau beli?” Tanya Kalis.
“Lihat-lihat saja, ya kalau nanti beli, ya nggak papa, kan?”
Saya kemudian melihat-melihat beragam model dan bentuk kalkulator yang dipajang. Mbak penjaga stan tampak dengan ramah mempersilakan saya untuk melihat dan bahkan menawari saya untuk mencoba.
“Mbak, lihat yang ini, dong,” kata saya seraya menunjuk salah satu kalkulator.
Kalkulator yang saya tunjuk adalah kalkulator model flip. Bisa dilipat. Ukurannya kecil dan tipis. Sangat handy, atau kalau dalam bahasa Jawanya: cemekel.
Saya buka, kemudian saya pencet-pencet tombolnya untuk tahu seberapa empuk tombolnya. Saya lantas mencoba untuk menghitung penjumlahan sederhana. 4 + 4 = 8. Mantap. Hasilnya benar. Saya coba lagi dengan angka yang lebih besar. 40.000.000 + 40.000.000 = 80.000.000. Mantap, dipakai untuk menghitung bilangan puluhan juta, hasilnya tetap akurat dan tidak nge-lag apalagi nge-hang.
“Lis, aku beli ini, ya?” Tanya saya pada Kalis.
Kalis tampak agak syok. “Kamu mau beli, mas?” tanyanya agak berbisik. “Kan di hape Mas sudah ada kalkulatornya.”
“Ya kan biar lebih mantap, lebih marem. Kamu kalau baca buku kertas juga pasti ngerasa lebih puas kan ketimbang baca e-book?”
Kalis agak cemberut, tapi ia kemudian tetap memperbolehkan saya untuk membeli kalkulator tersebut. “Kalau memang Mas pengin, ya beli aja.”
Saya kemudian langsung menanyakan harga kalkulator tersebut pada mbak penjaga stan. “130 ribu, jawabnya.”
Saya agak terperanjat. 130 ribu bukan uang yang besar bagi saya. Tapi untuk sebuah kalkulator, yang saya pernah beli di kios fotocopy dengan harga tak lebih dari dua puluh ribu, 130 ribu jelas angka yang fantastis.
Tapi saya kemudian sadar, ini bukan kalkulator biasa. Ini Casio. Kalkulator bermerek terkenal. Terbaik di kelasnya. Wajar kalau harganya 130 ribu.
Saya kemudian mencoba melihat-lihat kalkulator yang lain.
“Kalau yang itu, Mbak?” Tanya saya sembari menunjuk kalkulator berukuran agak besar dengan keyboard yang Tampak sangat kokoh.
“Yang ini agak murah, 70 ribu.”
“Coba lihat yang itu deh, Mbak.”
Mbak penjaga kemudian mengambilkan kalkulator tersebut untuk saya. Kalkulator yang sangat gagah. Desainnya memang sederhana, plain, tapi sangat mantap. Ketika saya coba tombolnya, ternyata sangat nyaman dan anti selip.
“Wah, aku jadi bingung, Lis, mau beli yang mana. Yang 130 apa yang 70, ya?”
“Terserah,” kata Kalis dengan wajah yang agak cemberut.
Saya bingung setengah mati. Yang satu harganya lumayan mahal, tapi enak dan flip. Sudah pasti nyaman dibawa ke mana-mana. Saya merasa butuh karena kadang saya harus ngitung laporan keuangan toko buku online yang saya kelola. Sedangkan yang satu tidak flip, tapi mantap dan tampak lebih kokoh.
“Enaknya beli yang mana, ya, Mbak?” Tanya saya pada Mbak Penjaga.
“Ya kalau buat mobile enak yang ini, Mas. Kalau buat inventaris, enak yang ini,” terangnya.
“Ya sudah deh, Mbak. Saya beli dua-duanya.”
“Oke, Mas.”
Kalis Tampak sangat syok. Jauh lebih syok dari syok yang tadi saat saya mendadak mampir ke stan kalkulator.
“Kenapa harus beli dua?” Katanya protes.
“Kalis. Hidup itu tujuannya cari bahagia. Dan kebahagiaan bisa datang ketika kita bisa menghilangkan kebimbangan. Kalau aku beli dua, rasa bimbangku hilang, aku bahagia. Lagian cuma 200 ribu ini.”
Kalis tampak merengut. Saya yakin, di balik tampangnya yang merengut itu, ia sedang merencanakan perhitungan dan pembalasan... Yang jauh lebih kejam, brutal, dan kolosal.
Penyelesaian Atas Kebimbangan Memilih Kalkulator
Memanaskan Mesin
Nyali itu seperti mesin, perlu dipanaskan. Dan hari ini, saya dengan ditemani keluarga dan kerabat mencoba memanaskan mesin itu. Melamar Kalis, gadis yang paling piawai menjaga perasaan saya. Datang memintanya untuk menjadi istri saya, walau tentu saja, dengan mental yang tidak prima-prima amat.
Puji Tuhan, lamaran saya diterima.
Keluarga saya punya semacam tradisi penamaan yang aneh. Bapak saya namanya Mulgiyanto, tapi ia dipanggil “Trimo” sebab saat remaja, ia harus menerima keadaan ditinggal mati bapaknya. Ibu saya tak jauh beda, namanya Isrowiyah, namun di kampung kelahirannya, ia dipanggil “Urip” karena selamat setelah hampir tewas tenggelam di kolam saat kecil.
Saya, Agus Mulyadi, tentu saja tak perlu mendapat panggilan “Untung”, namun yang jelas, hari ini, saya yakin, saya memang lelaki yang beruntung. Lelaki yang ketiban ndaru.
Saya jadi ingat momen awal tahun, ketika saya masih takut-takut untuk main ke rumah Kalis. Apalagi di sana, bapaknya sempat bercerita tentang masa lalunya sebagai seorang jagoan.
“Waktu muda dulu, saya ini pernah ikut tarung bebas, Dik. Full body contact,” ujarnya dengan nada bicara yang sangat berat. “Kalau sekarang ya kaya MMA lah...” kata bapaknya Kalis.
Saya mantuk-mantuk. Mendengarkan ceritanya dengan penuh takzim.
“Tahun 85, atau 86, saya agak lupa. Saya bahkan sempat lolos dalam salah satu kejuaraan nasional di GOR Siliwangi, Bandung.”
Saya melirik sebentar. Dari jarak dekat, terlihat lengannya yang tampak masih menyisakan tanda-tanda lengan seorang petarung. Saya menelan ludah. Mental saya menipis dengan sendirinya.
Apa pun yang ia katakan tentang pengalaman masa mudanya itu di telinga saya terdengar seperti sebuah peringatan: “Berani macem-macem sama putriku, tak timplik cengelmu!”
Dan alhamdulillah, jagoan yang sempat membuat saya sangat jiper itu hari ini menyambut saya sekeluarga dengan sangat ramah. Bersuka-cita mengizinkan saya untuk meminta putri tercintanya sebagai istri saya.
Hari ini, saya terpaksa menyanyikan salah satu lagu Didi Kempot yang blas nggak ada unsur patah hatinya: “Plong rasane njero dadaku, rasane mak plong lego atiku.”
Puja-Puji untuk Lord Didi Kempot
Di dunia ini, tidak ada yang bisa menandingi Didi Kempot. Tidak Robbie Williams, tidak Frank Sinatra, tidak pula Nat King Cole, semuanya tak bisa. Sebab Didi Kempot adalah semesta yang lain.
Ia lelaki luar biasa yang oleh banyak orang dijuluki sebagai “God Father of broken heart”, bapak patah hati. Julukan yang tentu saja sangat kurang tepat, sebab Didi kempot adalah broken heart itu sendiri.
Didi Kempot, pada titik tertentu, ia jauh lebih besar dari Jokowi.
Saya bertemu langsung dengan dia pertama kali enam tahun lalu di Hotel Sahid Jaya. Saat itu, dia keluar dari bar hotel, sementara saya sedang duduk di lobi. Melihatnya, tak butuh waktu lama bagi saya untuk segera menghampirinya dan meminta berfoto bersamanya.
Dia berjalan pelan. Sangat anggun namun tetap gagah. Dari jarak yang sangat dekat, aura patah hati terasa sekali. Mungkin di dunia ini, hanya Didi Kempot, yang mampu membuat seseorang patah hati bahkan tanpa perlu jatuh cinta lebih dahulu.
Saat bertemu dengan saya, ia memakai kaos bertuliskan huruf LE. Ini bukan huruf biasa, melainkan dua huruf awal dan akhir dari kata LOVE. Ada semiotika di sana. Bahwa cinta itu soal mengawali dan mengakhiri. Sedangkan perjalanannya, adalah petualangan yang penuh misteri. LE bisa menjadi LIVE, hidup. Bisa pula menjadi LOSE, kehilangan.
Didi Kempot bukan semata penyanyi. Ia adalah dimensi waktu. Maka tak berlebihan jika kemudian ada istilah “Waktu Indonesia bagian kembang tebu sing kabur kanginan.”
Katon Bagaskara boleh saja membuat Jogja menjadi tempat yang melemparkan ingatan masa lalunya, atau John Denver membikin West Virginia-nya sebagai labirin nostalgianya. Namun Didi Kempot, baginya kenangan bisa tercecer di mana saja. Di Stasiun Balapan, di Terminal Tirtonadi, di Terminal Kertonegoro, di Pantai Klayar, di Tanjung Mas, di Gunung Purba Nglanggeran, di Parang Tritis. Semuanya adalah lumbung-lumbung kenangan.
Ia penyanyi yang mampu menembus sekat-sekat ketidakmungkinan. “Sewu kuto, uwis tak liwati,” ujarnya dalam lagunya. Padahal jumlah kota dan kabupaten di Indonesia hanya 415. Artinya, ia menembus batas negara untuk mengejar cinta sucinya. Tak banyak yang sanggup berjuang dengan perjuangan yang lebih sakit dari pada dia.
Perjuangan yang ketika ia yakin ia tak bisa memenangkannya, ia merelakannya, dengan ikhlas. “Umpamane kowe uwis mulyo, lilo aku lilo.”
Cobalah kau sesekali menonton konsernya. Konser yang akan terasa sangat aneh, sebab tak ada air mata yang menetes, namun kepedihan terasa mengalir deras sekali.
Pada akhirnya, kita semua memang harus mengakui. Dia bukan seorang penyanyi. Kita salah besar. Sebab, dialah nyanyian itu sendiri.
Semua ibu melahirkan anak, tapi tidak dengan ibunya Didi Kempot, ia melahirkan legenda.
Hanya di tangan Didi Kempot-lah, negara seperti Swiss yang kuat meski tanpa tentara itu bisa luluh menjadi pesakitan.
*Swiss sakmestine, ati iki nelongso.
Rihanna dan Payungnya
Di jaman yang serba Yutub dan serba Spotifai seperti sekarang ini, siapa yang tak kenal dengan Rihanna. Salah satu diva paling moncer dalam blantika musik pop dunia saat ini.
Mangkanya, hati saya mongkok setengah modar setelah saya dikasih tahu kalau saya berkesempatan mewawancarai Rihanna di sela-sela kesibukannya saat mempersiapkan rangkaian konser tour Asia Tenggara-nya.
Jogja yang merupakan tempat Rihanna menghabiskan waktu masa kecilnya dipilih menjadi salah satu kota yang kebagian jatah konsernya selain Bangkok, Ho Chi Minh, Phnom Penh, dan Dili.
Atas lobi-lobi seorang kawan yang ndilalah menjadi panitia konser, saya mendapatkan akses untuk mewawancarai Rihanna langsung di hotel tempat dirinya menginap di bilangan Jalan Kaliurang.
Saya diantar ke hotel tempat Rihanna menginap oleh salah satu LO yang mengurusi akomodasi Rihanna. Katanya, Rihanna sudah tahu dan susah diberi tahu dan sudah mempersiapkan diri untuk diwawancara.
Rihanna sendiri yang membukakan pintu kamar hotel untuk saya. Ternyata ia sendirian saja di kamar.
“Iki mas sing meh wawancara aku, yo?” Tanyanya dengan senyum yang menawan.
“Ehm… enggih, Mbak,” jawab saya gugup.
Ia kemudian mempersilakan saya untuk duduk di kursi.
Di ruang tamu di kamar hotel, saya serasa melayang penuh rasa tidak percaya. Bagaimana tidak, saya diberi kesempatan untuk bertemu dengan salah satu diva tersukses di dunia, bahkan bisa mewawancarinya secara eksklusif.
Namanya juga diva internasional, hotelnya pun tentu saja muewah. Ruang tamu kamar hotelnya sangat luas. Saya taksir, tarif menginap per malamnya pasti lebih dari 10 juta rupiah.
“Kosek yo, Mas. Aku tak lipenan ndisik, ben lambene ketok seger pas direkam,” ujarnya pada saya yang masih dipenuhi dengan perasaan senang bercampur tidak percaya.
Saya sempat terdiam beberapa saat, masih tak percaya seorang Rihanna ada di depan mata saya. Namun perlahan, saya mulai bisa menguasai keadaan dan mulai terbiasa.
Begitu selesai dengan bibirnya, Rihanna kemudian duduk di kursi sofa berwarna krem dengan posisi duduk yang sangat anggun. Cara duduknya benar-benar merepresentasikan cara duduk seorang diva kelas atas.
Ia memakai blazer putih dengan bawahan berwarna hijau ngejreng seperti warna rompi pak ogah. Blazernya yang putih membuat tubuhnya yang hitam manis tampak semakin eksotis. Bongkahan pahanya yang sehat dan tampak begitu terawat menyembul dengan sangat provokatif, membuat dada saya beberapa kali berdesir kencang.
Sembari saya mengeset peralatan wawancara, ia tak henti-hentinya menyunggingkan senyum sembari sesekali menanyakan pertanyaan-pertanyaan remeh pada saya.
“Wis suwe, Mas, dadi wartawan?” tanyanya.
Saya sedikit kaget mendapatkan pertanyaan mendadak tersebut, saya tak menyangka bahwa ia ternyata punya inisiatif untuk bertanya lebih dahulu. Mungkin ia paham dengan kegugupan saya, sehingga ia mengambil menuver cantik untuk memecah kebekuan dan kegugupan saya.
“Ehm… eh, lumayan lah, Mbak. Yo wis rong tahun iki…” jawab saya dengan agak terbata. “Maune aku kerjo serabutan, kadang dadi kurir, kadang dadi admin sosmed, kadang yo dadi penulis lepas.”
“Yo teko ditlateni wae, Mas. Sing penting ono hasile…”
“Nggih, Mbak Rihanna…” jawab saya
“Halah, rasah nganggo mbak, teko Rihanna thok, koyo ro sopo wae lho.”
“Siap, lapan anam, Mbak Riha… eh, Rihanna.”
Peralatan wawancara sudah siap. Kamera sudah stand by. Perekam juga sudah diset. Saya langsung membuka buku catatan saya yang di dalamnya sudah berisi dengan daftar pertanyaan yang ingin saya tanyakan.
Namun, belum sempat saya membuka halaman yang berisi daftar pertanyaan, Rihanna buru-buru memotong.
“Welha, rasah repot-repot nganggo catetan barang. Teko ngobrol santai wae,” katanya. “Anggep wae lagi ngobrol karo konco dhewe…”
Saya terpaksa menuruti apa saran Rihanna. Walaupun dalam hati, saya masygul juga, sebab sehari sebelumnya, saya sudah begadang mempersiapkan banyak pertanyaan dan sudah saya catat di buku catatan. Tapi yah, mau bagaimana lagi, kalau Rihanna sudah berkehendak, saya bisa apa. Lagipula, saya juga takut ia tidak nyaman jika saya mewawancarai dia dengan mengunakan daftar pertanyaan yang sudah disiapkan.
“Oke, jadi teko ngobrol santai wae, ya?”
“Hoo, teko ngobrol santai wae.”
Saya pun mulai mencoba memancing wawancara dengan pertanyaan seputar konsernya yang akan diselenggarakan di stasion Kridosono, pekan depan.
Konon, Rihanna sengaja memilih stadion Kridosono sebagai tempat konsernya karena mengingatkan dirinya dengan masa kecilnya. Stadion Kridosono, menurut Rihanna merupakan tempat yang penuh kenangan dan secara tidak langsung memengaruhi karier bermusiknya.
“Jadi ngene, Mbak…” kata saya.
“Nah, tho, dikandani ngeyel, wis tak kandani rasah nganggo ‘Mbak’ kok yo iseh dibaleni wae.”
“Oiya, lali…”
“Ngene, Rihanna,” ujar saya. “Ah, ketoke ora pantes je nek aku ngundang sampeyan tanpo ‘Mbak’, aku ngundange ‘Mbak Rihanna’ wae yo, ben luwes…”
“Yo wis, saksakmu.”
“Ngene, Mbak. Sampeyan kan milih stadion Kridosono dadi venue konsere sampeyan minggu ngarep. Nah, iso dicritakke ora ngopo sampeyan milih stadion Kridosono? Padahal neng Jogja kene kan akeh tempat sing luwih mashoook nek ngge konser, misal Candi Prambanan, sportorium UMY, JNM, po nggon liyane ngono.”
Rihanna tampak memasang pandangan menerawang. Ingatannya seakan melayang jauh ke belakang.
Ia bercerita bahwa di stadion itulah pertama kalinya Rihanna berkesempatan menonton konser Nicky Astria, penyanyi gaek yang kelak menginspirasi Rihanna untuk menjadi seorang penyanyi.
“Aku isih cilik pas kuwi, Mas. Ketoke kelas 1 SMP. Wektu kuwi aku diajak budeku sing ndilalah ngefans banget karo Nicky Astria,” kenangnya. “Saking ngefans’e karo Nicky Astria, Budeku kuwi ngasi njenengi anak wedoke Yayuk Astria.”
Saya tertawa kecil.
Rihanna mengubah posisi duduknya. Kali ini dengan kaki menyilang yang membuat pahanya tampak semakin provokatif saja.
“Aku maune ora patio mudeng sopo kuwi Nicky Astria, tapi aku teko gelem wae diajak budeku. Tekan kono, aku akhire ngerti, jebul Nicky Astria ki penyanyi rock wedok” kenangnya.
“Trus sampeyan melu ngefans karo Nicky Astria?”
“Hoo… Pas aku nonton deknen nyanyi kuwi, jan, aku langsung yakin nek aku kudu ngefans karo mbak penyanyi siji iki,” jelas Rihanna. “Suarane kuwi lho, serak-serak ngerock, pokoke uapik pooool.”
“Nek Nicky Astria ngono pancen lejen, jaminan mutu,” kata saya.
“Aku iseh kelingan biyen pas Mbak Nicky nyanyi lagu ‘Jarum Neraka’, wah, pokoke suangaaaar pwooool.”
Rihanna kemudian berdiri dan mencoba menirukan bagaimana Nicky Astria menyanyikan lagu yang bercerita tentang bahaya narkoba tersebut.
“Jarum-jarum setan bisa mencabut nyawa…
“Bila kau tak cepat berhenti memakainya...
“Tanpa kau sadari tanpa engkau rasakan…
“Kau bunuh dirimu secara perlahan…
Usai memberikan sedikit aksi menyanyi tersebut, Rihanna kemudian duduk kembali. Kali ini ia duduk di kursi tak jauh dari kamera yang sudah saya pasang, sehingga saya terpaksa harus mengubah posisi kamera.
“Terusan lirik’e aku lali, hehehe,” katanya sambil meringis geli.
Saya ikut geli.
“Wis lah, pokoke Mbak Nicky ki juara,” kata dia. “Pas Mbak Nicky kuwi nyanyi, aku ndelok penonton sak Kridosono podo melu nyanyi kabeh. Pokoke suangar lah, Mas,” lanjutnya.
“Wah, aku njuk melu mbayangke rasane nonton konser Nicky Astria neng Kridosono, Mbak”
“Pokoke meriah, Mas. Gara-gara kuwi aku akhire pengin dadi koyo Mbak Nicky Astria. Aku njuk nduwe cita-cita dadi penyanyi. Mangkane, nek aku saiki dadi penyanyi gedhe koyo saiki, kuwi salah sijine mergo biyen aku nonton Mbak Nicky neng Kridosono.”
“Oalah, jadi kuwi alesane sampeyan mekso milih panggon konsere neng Kridosono?”
“Hoo, Mas!”
Saya kemudian bertanya tentang masa kecil Rihanna di Jogja. Seperti diketahui, Rihanna memang menghabiskan masa kecil sampai masa remajanya di Jogja sebelum akhirnya hijrah ke Manhattan, New York, untuk mengejar mimpinya sebagai penyanyi internasional.
Masa kecil Rihanna di Jogja boleh dibilang penuh dengan kisah keprihatinan.
Ayahnya kala itu bekerja sebagai asisten bong supit dengan gaji yang tak menentu. Sedangkan ibunya hanya bekerja sebagai penjual sayur keliling.
Berada dalam keadaan serba kekurangan, Rihanna terpaksa harus ikut bekerja sepulang sekolah demi membantu keluarganya. Berbagai pekerjaan sambilan ia jalani demi mendapatkan uang untuk biaya makan dan tambahan uang sekolahnya.
“Mergo kahanan aku kepekso nyambut gawe nggo keluargaku, Mas,” ujarnya lirih. “Kadang aku adol koran, kadang aku dadi tukang umbah-umbah,” lanjutnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Mendengar jawabannya itu, timbul simpati dan rasa kekaguman saya pada sosok diva yang satu ini. Betapa dia memulai kesuksesannya dengan penuh kerja keras. Saya memang tahu tentang kisah pilu kehidupan Rihanna semasa kecil, namun saya tak menyangka jika kisahnya semenyedihkan itu.
Kendati hidup dalam kesusahan, Rihanna tak lantas larut dalam keadaan. Rihanna justru makin semangat mengejar impiannya menjadi seorang diva.
“Pokoke diva harga mati!” kata Rihanna bersemangat. “Ora diva, ora!”
Kehidupan masa lalunya yang susah itu nyatanya justru ikut menjadi perantara berkah dan kejayaan bagi kariernya. Mental hidup susahnya yang sudah teruji saat kecil membuat Rihanna tidak lantas menjadi pribadi yang boros dan sombong setelah merengkuh kesuksesan.
Selain itu, banyak dari lagu-lagu Rihanna yang tercipta karena terinspirasi oleh kehidupan masa susah Rihanna. Salah satu lagu yang paling terkenal tentu saja adalah lagunya yang berjudul “Umbrella”
Lagu “Umbrella” yang hampir semua orang hafal liriknya, setidaknya pas bagian “Ella… ella… e… e…” itu masuk dalam berbagai chart teratas di banyak stasiun radio di berbagai negara. Dari Amerika sampai Honduras. Dari Italia sampai Trinidad Tobago.
Saya mencoba untuk mencari tahu lebih lanjut tentang lagu itu, dan Rihanna memceritakan satu rahasia besar tentang “Umbrella”.
“Lagu ‘Umbrella’ iki lirike terinspirasi seko uripku rikolo jaman sengsoro, Mas,” terangnya dengan mata yang semakin basah.
Rihanna sempat terdiam cukup lama ketika saya menanyakan hal itu lebih jauh.
“Jaman biyen, selain mburuh dadi loper koran, aku yo kerep nyambi dadi ojek payung pas mongso udan, Mas,” ujarnya.
Kali ini, pertahanan air matanya tak bisa ditahan lagi. Air matanya jebol. Maskaranya mulai luntur tak beraturan. Saya reflek mengambil tissu yang berada di meja dan memberikannya pada Rihanna.
Ia kemudian menghapus air matanya dengan tissu bermerek Alfamidi yang baru saja saya sodorkan padanya.
“Aku nek kelingan jaman semono mesti trenyuh, Mas,” Katanya terisak. “Bali sekolah, begitu udan, aku langsung nyangking payung njuk budhal terminal, ngojek payung.”
“Wah, uripe sampeyan kebak perjuangan yo, Mbak?”
“Iyo. Bocah liyane udan-udanan nggolek seneng, aku udan-udanan nggolek pangan, mas…”
“Opo ora wedi keno masuk angin?”
“Halah, aku wis ra sempet mikir masuk angin, aku mikire piye carane nggolek duit. Ora kudanan ora mangan.”
Menurut Rihanna, di lagu Umbrella, ia bercerita tentang seorang sahabatnya sesama pengojek payung yang tersambar petir. Demi kesembuhannya, sang sahabat terpaksa harus menjalani terapi di sebuah klinik pengobatan alternatif.
“Jenenge Marni, deknen tonggo deso, bocahe mesakke, podo mlarate koyo keluargaku,” tuturnya. “Saiki bocahe wis rabi, tangan kiwone kudu diamputasi.”
Rihanna kemudian beranjak dari kursinya, berjalan menuju jendela, ia memandangi pemandangan kota Jogja dengan tatapan yang kosong.
Saya tak berani menganggunya. Ia terdiam cukup lama.
Ia lantas kembali ke kursi dengan air mata yang sudah semakin menggenang.
“Dingapuro ya, Mas…” ujarnya dengan suara yang parau karena ia tak bisa menangis tangis. “Aku kegowo perasaan.”
“Iyo, rapopo, Mbak. Aku ngerti perasaane sampeyan.”
Kondisi tersebut membuat saya memutuskan untuk menghentikan sesi wawancara. Saya merasa tak bisa menanyakan lebih banyak pertanyaan sebab Rihanna tampak sangat emosional dan sentimentil mengenang masa lalunya. Kondisi Rihanna sedang tak stabil.
“Nggih mpun, Mbak Rihanna. Wawancarane teruske kapan-kapan wae, dilanjut lewat email, nek saiki ketoke ora kondusif,” terang saya.
“Iyo, Mas… pisan meneh, aku njaluk ngapuro, yo”
“Santai, Mbak…”
Agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan, sembari membereskan peralatan wawancara, saya pun mencoba mengalihkan pembicaraan seputar menu diet dan kiat-kiat menjaga kebugaran tubuh di tengah aktivitasnya yang padat.
Rihanna kembali terdiam larut akan kenangan masa lalunya.
“Bali sekolah aku yo kerep dodolan kacang godok neng terminal Giwangan, Mas,” ujar Rihanna sembari kembali menangis meraung-raung. Saya jadi kelimpungan sendiri. Untung peralatan wawancara sudah saya kemasi dan saya masukkan tas, sehingga saya bisa menenangkan Rihanna sembari menepuk pundaknya.
“Rasah terlalu dieling-eling, Mbak. Kuwi kan wis dadi masa lalu.”
Ia hanya terdiam dan terisak.
Sambil beranjak untuk keluar dari kamar, saya mencoba memberikan sebuah pertanyaan terakhir terkait dengan persiapan-persiapan menjelang peluncuran album terbarunya.
“Btw, Mbak Rihanna, peluncuran album terbaru sampeyan itu kiro-kiro kap…”
“Kabeh ikhlas tak lakoni, sing penting halal, Mas” ujarnya setengah berbisik sembari menyeka air matanya yang masih mengalir.
- - - - - -
Ditulis untuk Album Agan Harahap: “Rihanna dan Payungnya” - Showroom Mama, Witte de Withstraat 29 - 31, 3012 BL Rotterdam, Netherlands, 29 Maret 2019.
Kenangan Tempat Berak Masa Lalu
Dalam sebuah wawancara di salah satu acara talkshow di TVRI yang disiarkan tahun 2003 silam, Cak Nun pernah dengan sangat baik dan menawan menjelaskan tentang epistemologi mudik.
Mudik, menurut Cak Nun kala itu, merupakan pengejawantahan paling dasar atas naluri manusia yang senantiasa punya keinginan untuk kembali pada asal-usulnya. Asal-usul jasmani dan ruhani. Asal-usul berupa kampung halaman, sanak famili, dan juga nuansa budaya yang membesarkan dia sewaktu kecil.
Cak Nun benar. Mudik kali ini, saya menemui asal-usul budaya yang membesarkan saya dalam bentuk “legok”.
Legok bagi saya bukanlah sungai biasa, ia sungai yang penuh kenangan masa kecil yang kadang riang kadang muram.
Saya tak tahu apa nama resminya, namun yang jelas, warga menyebutnya sebagai “legok”. Sebuah sungai kecil yang berada di pinggir kampung. Sungai ini menjadi batas alam yang memisahkan kampung saya dengan kampung sebelah. Sungai ini punya arus yang tak besar. Bentuk tanahnya unik. Kiri dan kanannya dipenuhi oleh hutan bambu yang membuatnya menjadi rindang.
Di sungai inilah, dulu, ketika orang-orang belum punya kamar mandi di rumahnya, membuang hajatnya dengan penuh suka-cita.
Saya ingat betul, dulu, setiap pagi, di sepanjang sungai, setidaknya ada 3-5 orang yang berjongkok untuk berak. Jumlahnya bisa bertambah bisa berkurang. Sungai ini, tiap pagi, memang selalu ramai. Sebelum berangkat bekerja, sebelum berangkat ke sekolah, orang-orang selalu menyempatkan diri untuk berak lebih dahulu.
Orang-orang dengan etel membuka celananya tanpa merasa risih pantatnya terlihat oleh orang di sebelahnya, yang tentu saja juga sama-sama berak.
Kadang percakapan antar mereka terjadi begitu saja. Sambil berak, mereka bisa ngobrol dengan sesama pem-berak lain tentang apa saja. Tentang pendidikan anak, tentang pembangunan masjid, tentang pekerjaan, tentang apa saja. Dialektika terbangun di atas tahi-tahi yang mengambang dan hanyut dibawa arus.
Kami semua punya semacam spot pijakan favorit. Beberapa bahkan membuat penanda tersendiri. Penanda yang kemudian memunculkan semacam aturan tak tertulis yang seolah berkata “Itu tempatku, kalau aku dan kamu kebetulan sama-sama kebelet berak pada waktu yang sama, aku lebih berhak dan lebih otoritatif untuk berak di situ. Kamu carilah tempat pijakan yang lain. Kau boleh pakai tempatku, tapi nanti, kalau aku sudah selesai.”
Karena legok menjadi satu-satunya tempat untuk buang air besar, maka dulu legok selalu stand by 24 jam. Saya pernah kebelet berak jam 1 malam, dan kemudian harus mengumpulkan nyali agar berani turun ke legok dan berak di sana.
Seiring dengan perkembangan jaman dan makin tingginya kesadaran masyarakat akan keberadaan MCK, juga seiring dengan program pemerintah yang menggelontorkan dana PNPM Mandiri yang salah satunya adalah untuk membangun MCK kolektif bagi warga yang rumahnya masih belum punya MCK, legok tak lagi banyak digunakan sebagai tempat buang air besar.
Terakhir, mungkin empat atau lima tahun lalu, masih ada beberapa orang yang berak di legok. Sekarang kelihatannya sudah tak ada.
Kemarin, sepulang dari makam untuk berseh, saya meniatkan diri untuk menengok legok. Rasanya aneh. Airnya tak sederas dulu. Juga tentu saja tak sebersih dulu.
Saya mencoba mencari spot favorit saya. Masih ada. Bentuknya tak berubah.
Ingatan saya kemudian melayang pada fragmen tahi-tahi yang jatuh dari dubur ke air yang kemudian menghasilkan bunyi mak-plung dengan irama yang begitu ritmis dan melodis. Saya melihat bayangan Agus kecil di sana. Bayangan bocah kecil dengan pantat yang tentu saja sangat tidak menyelerakan, berjongkok, seraya menyanyikan lagu soundtrack Jin dan Jun.
Ya Tuhan, kenapa tempat berak bisa sesentimentil ini.
Benar apa kata orang bijak, setiap silit punya sejarah dan kisahnya sendiri-sendiri.