Agus Mulyadi Njaluk Rabi

Tiga Pekerjaan Tidak Lumrah

| Tuesday 5 September 2023 |

Dari sekian banyak pekerjaan yang pernah saya lakoni, ada tiga pekerjaan menarik yang mungkin tak banyak kawan-kawan saya yang tahu karena memang saya jarang menuliskannya.

Kawan-kawan saya di media sosial mungkin tahu pekerjaan saya di masa lalu sebagai penjaga warnet, penjual tuxedo, pengelem benang teh celup, pembuat stiker, sampai tukang edit foto. Namun untuk tiga pekerjaan berikut ini, tampaknya hanya segelintir orang yang mengetahuinya.

Pekerjaan pertama adalah tukang tulis ijazah. Pekerjaan ini saya lakoni dulu saat masih SMA. Saya mendapatkan pekerjaan ini melalui Pak Masykur (alm), tetangga saya di kampung.

Beliau, seingat saya, adalah seorang pensiunan yang di masa tuanya masih sering ikut mengurus TK Tunas Rimba yang kalau tidak salah dikelola oleh Yayasan Taruna Rimba Perhutani.

Pak Masykur, yang kebetulan satu mushola dengan saya, mendapat kabar kalau tulisan tangan saya cukup bagus. Saya kemudian diajak untuk mengerjakan penulisan ijazah TK Tunas Rimba. Saya diajari menulis indah dengan berbagai genre font, dari tulisan ala-ala Old English sampai ala-ala Monotype Corsiva yang dimodifikasi.

Dari titik itu, saya kemudian mulai dikenal sebagai tukang tulis ijazah atau juru menulis indah.

Pekerjaan ini sempat saya tekuni selama dua tahun sebelum akhirnya saya berhenti karena menganggap pekerjaan yang sederhana ini ternyata menghasilkan beban yang cukup besar. Saya pernah salah menulis nama seseorang. Seorang anak bernama akhiran “Zegananda” saya tulis “Zeganda”.

Kesalahan “kecil” itu nyatanya menghasilkan beban yang tidak kecil. Ada dua huruf yang hilang di sana. Insiden itu yang membuat saya jadi agak jiper dan memilih untuk tidak lagi menekuni pekerjaan berbasis kertangkes itu.

Pekerjaan kedua adalah ghostwriter khusus caption media sosial. Ini pekerjaan yang aneh, dan kadang masih sering saya lakoni sampai sekarang, walau tentu saja tidak sesering dulu.

Perkenalan saya dengan pekerjaan yang satu ini terjadi awal tahun 2016 silam saat saya iseng menulis sebuah tulisan untuk Puan Maharani (saat itu masih menteri). Saat itu, saya membuat tulisan dengan gaya surat terbuka untuk merespons pernyataan dia yang meminta masyarakat agar rajin diet.

Tulisan berjudul “Wahai Mbak Puan yang sudah langsing tanpa harus diet” itu ternyata viral dan bahkan dimuat ulang di berbagai media termasuk direpost oleh banyak akun propaganda di media sosial.

Gara-gara tulisan itu, saya kemudian dihubungi oleh seorang anggota DPD RI dan ditawari untuk menjadi ghostwriter untuk caption/status akun media sosial dia.

Saya menolak pekerjaan tersebut, sebab saya masih bekerja Mojok, dan pekerjaan sebagai ghostwriter itu mengharuskan saya pindah ke Jakarta.

Sebagai kompensasi, saya bersedia membuatkan si anggota DPD itu satu caption panjang untuk dia.

Momentum itulah yang membuat saya sadar, bahwa ternyata kebutuhan akan caption yang bagus sangatlah tinggi. Saya paham bahwa tidak semua orang bisa membuat caption media sosial yang bagus, namun saya tak menyangka bahwa ada banyak orang yang mau bayar mahal “hanya” untuk sebuah caption yang bagus.

Kesadaran itu makin menguat saat mengetahui kalau tulisan-tulisan saya tentang Kalis (ucapan selamat ulang tahun, apresiasi, dll), ternyata banyak dicopas orang dengan mengganti nama Kalis di tulisan itu dengan nama pasangan mereka. Hal yang bahkan sampai sekarang masih terus terjadi.

Saat itu, saya iseng membuat postingan menawarkan jasa menulis caption ini. Sekadar cek ombak. Tak dinyana, ternyata banyak peminat. Jadilah saya mulai sering mengerjakan tulisan untuk caption media sosial orang lain.

Nah, pekerjaan yang ketiga inilah yang menurut saya paling menarik sekaligus aneh, bahkan saya sendiri tak pernah menyangka: Menjadi talent di Empat Mata.

agus mulyadi empat mata

agus mulyadi empat mata tukul arwana

Kalau pekerjaan yang satu ini, tentu saja jalurnya adalah melalui profesi saya yang sebelumnya, tukang edit foto bareng artis.

Saya tak ingat kapan persisnya, yang jelas, saya mula-mula dihubungi untuk tampil sebagai bintang tamu di Empat Mata. Saya diundang sebagai ahli edit foto dan diminta untuk memberikan tanggapan terkait dugaan rekayasa foto syur yang melibatkan Ketua KPK saat itu Abraham Samad

Singkat cerita, setelah tampil sebagai bintang tamu, saya kemudian dihubungi kembali oleh orang Trans 7, saya diminta untuk tampil lagi di Empat Mata (saat itu namanya belum ganti jadi Bukan Empat Mata), tapi kali ini bukan sebagai bintang tamu, melainkan sebagai talent.

Btw, saat itu, saya belum kerja di Mojok, saya masih belum punya pekerjaan tetap. Mangkanya tawaran itu langsung saya terima.

Menjadi talent di Empat Mata adalah pekerjaan yang cukup berkesan. Pepi dan Vega Darwanti menjadi sosok yang sangat membantu dalam mengatasi demam panggung saya.

“Santai aja, Mas. Dulu saya juga begitu pas awal-awal tampil di sini” kata Pepi.

Kadang, saat jeda iklan, mereka berdua-lah yang justru minta maaf kepada saya terkait guyonan Mas Tukul (Vega, Pepi, saya, dan beberapa talent yang lain, termasuk kru Trans TV yang on cam memang sering dicengin atau digojloki oleh Tukul).

“Maaf ya, Mas, kalau tadi ada guyonan Mas Tukul yang menyinggung,” kata Vega.

“Santai aja, Mbak.”

Saya tidak banyak berinteraksi dengan Mas Tukul di luar panggung, sebab setelah panggung selesai, ia biasanya langsung masuk ke ruangan khusus.

Pekerjaan sebagai talent ini membuat saya jadi paham, betapa sibuk dan bergegasnya dunia showbiz, apalagi di Empat Mata yang saat itu juga ada versi siaran live-nya, jelas makin bergegas. Saya yang terbiasa bekerja dalam pace yang lambat benar-benar dibuat sangat “kemrungsung” dan “keponthal-ponthal”.

Di Jakarta, saya merasa kesepian. Nggak ada teman, bingung mau nongkrong di mana. Kota ini ramai, namun saya merasa sendiri. Hal itu, ditambah dengan ketidakmampuan saya mengimbangi ritme kerja ala Jakarta yang thas-thes akhirnya membuat saya memutuskan untuk berhenti dan memilih bekerja santai sebagai penulis saja di Jogja. Saya yang tidak petarung-petarung amat kelihatannya lebih cocok kerja di Jogja atau Magelang.

Praktis, saya hanya sempat tapping untuk 3 episode di Empat Mata. Kendati demikian, pekerjaan singkat itu akan tetap menjadi salah satu pekerjaan yang paling saya kenang. Apalagi, pekerjaan itulah yang memungkinkan saya jadi punya kesempatan untuk ngobrol dengan Ki Joko Bodo (alm) versi yang sudah cukur dan rapi, sosok yang belakangan baru saya ketahui ternyata sama-sama bernama Agus.

Juga ngobrol dengan Yeyen Lidya, sosok idola ribuan remaja laki-laki Indonesia yang dulu sering saya tonton secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi melalui acara kuis tengah malam di TPI itu.

Selain itu, pekerjaan ini pula yang sampai sekarang memunculkan reputasi saya sebagai seorang “artis” di kampung saya. Sampai sekarang, masih banyak tetangga atau kawan yang masih suka bilang “Waiki, artis’e teko” tiap kali saya pulang ke Magelang.

Suatu Hari Bersama Kalis

| Wednesday 2 August 2023 |

Saya tak ingat persis, kapan foto ini diambil kapan. Namun saya perkirakan, sekitar akhir 2017, alias di masa-masa awal saya pacaran dengan Kalis.



Adegan foto ini terjadi di sebuah halaman salah satu kantor pemerintah di Klaten. Saat itu, saya sedang mengisi sebuah kelas menulis. Kalis yang ikut mengantar saya, duduk di luar menunggu saya selesai mengisi, sambil makan pukis yang kami beli di tengah perjalanan.

Sungguh perempuan yang tidak merepotkan. Diumbar pakani pokis wae wis anteng, nyilek.

Di masa-masa itu, Kalis memang sering ikut menemani saya jika saya mengisi acara. Itu momen yang sangat menyenangkan. Dalam perjalanan pulang, Kalis yang duduk di belakang membonceng saya di atas motor akan menebak honor yang saya dapatkan (kala itu, saya belum punya rate, kalau ada yang mengundang saya sebagai pemateri kelas menulis, berapapun honornya, saya terima).

Kalau honornya besar, atau jauh di atas perkiraan kami, kami akan berteriak girang, lalu makan di penyetan, ngiras, tentu saja sambil prengas-prenges. Sedangkan kalau honornya kecil, atau yang lebih buruk, cuma dikasih ucapan “matur suwun”, kami tetap makan di penyetan, tapi dengan suasana yang agak muram dan “full mrengut”.

Sekarang, bertahun-tahun setelah momen itu, Kalis sudah bukan lagi pacar saya, dia istri saya. Dan posisi “menemani” itu sekarang sudah berganti posisi. Sayalah yang sekarang lebih sering menemani Kalis mengisi acara. Sebagai seorang trainer dan pembicara publik, Kalis sekarang sudah jauh lebih laris daripada saya. Ia bahkan pernah mengisi tiga acara sekaligus dalam satu hari. Honornya pun jauh lebih tinggi daripada honor saya.

Sebagai penulis pun demikian. Walau buku terakhir saya, “Sebuah Seni untuk Memahami Kekasih” terjual dengan baik dan sudah cetak ulang dua kali, namun ia masih tetap kalah bila dibandingkan dengan buku-bukunya Kalis.

Tentu saja saya bahagia. Jika diibaratkan sebagai sebuah investasi, return saya tinggi. Bukan hanya bakbuk, saya balik modal.

Ancen kabeh-kabeh ki kudu ditlateni.

Oalah, urip kok penake ngene tho, Ri…

Kunjungan Dadakan ke Warung Murakabi

| Wednesday 26 July 2023 |

Sebagai lelaki, dan terutama sebagai suami, saya memang bukan tipikal orang yang bisa selalu tangguh dan gigih dalam memperjuangkan banyak hal. Mangkanya, sempat timbul riak kekhawatiran kalau sampai istri saya ngidam yang aneh-aneh saat hamil, sebab saya rasanya akan cukup tega untuk tidak menurutinya.

Beruntung, istri saya cukup kooperatif. Ia tidak pernah ngidam yang aneh-aneh, seperti pengin makan daging rusa, misalnya, atau mengelus sisik trenggiling. Kalaupun ia ingin makan sesuatu, itu relatif mudah didapatkan, misal buah mangga, bubur kacang hijau, atau bubur sumsum.

Namun, sebagai gantinya, ia sering mengajak saya untuk mengunjungi tempat-tempat tak terduga yang mendadak muncul begitu saja di pikirannya.

Minggu lalu, misalnya, ia meminta saya mengantarnya ke Candi Sambisari di Kalasan, Sleman.

“Mas, aku pengin ke Candi Sambisari,” ujarnya tanpa bridging dan basa-basi apa pun.

“Kapan?”

“Ya sore ini. Aku sudah bilang Prima sama Natia, mereka ikut dan siap berangkat.”

Kalau sudah begitu, saya tak bisa banyak berkutik. Kalis sudah memblokir ruang gerak saya dan memastikan saya tak bisa lolos. Maka, saya antar juga Kalis ke Candi Sambisari. Di sana, ia tampak bahagia menikmati sore yang hangat sambil berjalan kaki mengelilingi area candi.

Seminggu berselang, tepatnya tiga hari lalu, Kalis lagi-lagi berakrobat kehendak dengan mengajak saya ke Warung Murakabi di Minggir, Sleman. Lagi-lagi, tentu saja ini ajakan yang dadakan.

Warung Murakabi adalah warung kelontong yang menjual dan mengolah aneka produk makanan lokal hasil pertanian warga. Usaha itu dikelola oleh kawan kami, pasangan suami-istri Asri dan Dhika.

warung murakabi

Lokasinya yang lumayan “hidden gems”, ditambah tempatnya yang nyaman dan estetik, serta menu makanannya yang unik dan khas membuat warung ini sering menjadi jujugan banyak wisatawan.

Tak hanya makan, di Warung Murakabi, pengunjung juga bisa belajar meracik obat-obatan herbal dari tanaman-tanaman lokal yang ada di sana.

warung murakabi

warung murakabi

warung murakabi

“Mau ke Minggir kapan?”

“Ya sekarang. Mas mandi trus berangkat.”

Lagi-lagi, saya tak kuasa menolak ajakan dadakan ini.

Mengantarkan istri ke tempat-tempat dengan rute yang random adalah sebuah kesenangan tersendiri, walau tentu saja saya harus mulai menguatkan kuda-kuda. Awalnya Candi Sambisari yang merepresentasikan unsur kebudayaan, lalu ke Warung Murakabi Minggir yang merepresentasikan unsur ketahanan pangan.

Jelas saya harus mulai waspadai, sebab jika melihat polanya, rasanya tidak mustahil bila minggu depan Kalis mendadak bisa mengajak saya ke SD Muhammadiyah Gantong di Belitung sebagai representasi unsur pendidikan, lalu minggu depannya lagi mengajak saya ke kantor PT. Pindad sebagai representasi unsur pertahanan nasional.

Tentang Saya

Saya Agus Mulyadi, biasa dipanggil Gus Mul (bukan lulusan pesantren seperti Gus Dur, Gus Muh, maupun Gus Mus. Gus Mul hanya akronim dari nama saya). Blogger dan Freelance Layouter. Kini berusia 24 tahun. Aktif di Karang Taruna dan Komunitas Blogger Magelang Pendekar Tidar. Profil lebih lengkap, Lihat Disini
 
Copyright © 2010 Blog Agus Mulyadi , All rights reserved
Design by DZignine . Powered by Blogger