Agus Mulyadi Njaluk Rabi

Menghakimi Aksi Mandi Susu Sapi

| Sunday, 10 November 2024 |

mandi susu Aksi mandi susu di Boyolali - foto oleh Aloysius Jarot Nugroho (Antara Foto)

Para peternak sapi perah di Boyolali dan sekitarnya merugi karena aturan pembatasan kuota susu, mereka lalu protes dengan cara mandi susu. Aksi protes para peternak itu lalu dikomentari oleh sekelompok orang yang mengatakan bahwa itu pemborosan.

“Kenapa susunya tidak dibagikan saja kepada masyarakat? Kenapa malah buat mandi, pemborosan, mubazir.” Kata mereka.

Tidak salah, namun itu jadi bukti bahwa masih banyak orang yang tidak bisa melihat inti permasalahan dari sebuah perkara ekonomi-sosial. Fenomena kompleks seperti aksi mandi susu sapi itu ya bakal konyol kalau cuma dilihat dari kacamata boros atau tidak. Mubazir atau tidak. Etis agama atau tidak.

Dari dulu, yang namanya aksi protes itu ya akan selalu mengandung “pemborosan”. Perjuangan akan selalu membutuhkan biaya.

Para peternak itu “terpaksa” memilih aksi mandi susu itu selain sebagai ekspresi kekecewaan, juga memang agar mendapat perhatian luas dari berbagai pihak, sehingga isu tentang aturan pembatasan kuota susu itu bisa dibicarakan oleh banyak pihak, termasuk pemegang kebijakan.

Kok kasian betul para peternak sapi itu. Sudahlah rugi karena susunya tidak bisa dijual, masih dituntut untuk menyedekahkan susunya, dan kalau tidak mereka lakukan, mereka bakal dihujat karena dianggap melakukan hal mubazir.

Para penghujat itu tidak berpikir, bahwa mengemas susu dan mendistribusikan susu secara gratis ke orang-orang itu butuh biaya. Kecuali orang yang dibagi susu datang sendiri satu-satu ke peternakan lalu disuruh ngenyot sendiri ke tetek sapinya. Sekali lagi, mereka tidak mampu berpikir sejauh itu.

Orang yang cuma bisa berkomentar soal boros dan tidak ini, kalau melihat demonstrasi menuntut keadilan yang disertai aksi membakar ban bekas, mungkin akan berkomentar “Sayang ban bekasnya, harusnya bisa diolah menjadi sandal jepit atau ayunan.”

Akan lebih geli lagi kalau membayangkan seandainya mereka hidup di zaman perjuangan, mereka mungkin akan mengomentari para pejuang, “Daripada buat perang, mending waktu dan tenaganya digunakan buat bekerja, pasti akan lebih produktif dan bermanfaat. Senapan dan pelurunya juga mending dijual kiloan dan duitnya dipakai buat beli sawah atau buat modal ternak itik dan kalkun.”




Sawer blog ini

0 komentar :

Post a Comment

Tentang Saya

Saya Agus Mulyadi, biasa dipanggil Gus Mul (bukan lulusan pesantren seperti Gus Dur, Gus Muh, maupun Gus Mus. Gus Mul hanya akronim dari nama saya). Blogger dan Freelance Layouter. Kini berusia 24 tahun. Aktif di Karang Taruna dan Komunitas Blogger Magelang Pendekar Tidar. Profil lebih lengkap, Lihat Disini
 
Copyright © 2010 Blog Agus Mulyadi , All rights reserved
Design by DZignine . Powered by Blogger