Kawan saya Paijo mengirimi saya pesan ini kemarin Jumat. Itu pesan yang amat sepele belaka sebenarnya, namun ketika saya membacanya, seketika langsung hangat hati saya.
Melalui pesan singkat itulah, saya tahu bahwa kawan-kawan di kampung saya, Seneng Banyurojo, bikin hajatan: menanggap dangdut kecil-kecilan, untuk kemudian kami nikmati bersama, sambil ngobrol, sambil mabuk, sambil bergosip tentang kawan-kawan kami yang tidak hadir, dan sambil membicarakan hal yang sebenarnya itu-itu saja.
Terharu juga saya, sebagai warga kampung Seneng yang sudah lama “pindah” ke Jogja, tapi masih tetap dianggap orang Seneng dan diminta ikut meramaikan dangdutan.
Tentu saja saya tidak akan ikut mabuk, begitu pula Paijo. Dalam lingkaran pergaulan di Seneng, saya memang menjadi salah satu yang tidak minum. Sedangkan Paijo, ia sudah libur mimik wedang galak sejak setahun lalu setelah livernya kena.
Rembol (Kere nggrombol), begitulah kami menyebut diri kami, dan “Guyub rukun remaja Seneng” menjadi tema yang selalu kami usung dalam setiap acara dangdutan yang kami helat. Kami memang menolak tua. Kami ingin terus menjadi remaja. Setidaknya untuk sejenak, saat kami berkumpul bersama.
Kami sering berdebat, cekcok, sesekali berkelahi satu sama lain. Tak jarang, itu terjadi karena masalah yang sepele. Masalah yang ketika dipikir dengan sedikit saja akal sehat, niscaya akan menghasilkan kesimpulan “Asuu, jebul mung mergo koyo mono”.
Dan seperti sebuah mantra yang mujarab, kalimat “guyub rukun remaja Seneng” ini seakan selalu mampu menjadi pengingat, bahwa kami senantiasa bisa kembali berdamai dan berkumpul lagi.
Tahun 2015, ketika saya mulai tinggal di Jogja, saya menemukan lingkungan pergaulan baru yang walau sangat menyenangkan namun “kelewat akademik”. Nyaris semua kawan-kawan saya di Jogja sarjana semua. Beberapa di antaranya bahkan memilih jalan melelahkan dengan mengambil S2 atau malah menjadi dosen.
Tentu saja itu lingkungan pergaulan yang sangat berbeda dengan lingkungan pergaulan saya di Seneng. Di Seneng, hanya sedikit kawan kami yang melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah. Kami seperti berjarak amat jauh dengan kampus, bahkan walau kampung kami dikepung beberapa perguruan tinggi. Gegar budayanya terasa sekali.
Di Jogja, saya sering mendapatkan pertanyaan “Dulu kuliah di mana?” sedangkan saat di Seneng, pertanyaan yang lebih akrab saya terima adalah “Sekarang kerja apa?”
Sebagai orang yang tidak pernah kuliah, sejujurnya, saya lebih menyukai pertanyaan yang kedua. Memang gelar akademik bisa membawa seseorang pada derajat hormat yang lebih tinggi, namun bagi saya, tentu saja pertanyaan kedua jauh lebih bisa menggiring saya pada kemartabatan yang bermutu.
Lagipula, pertanyaan pertama, selain agak salah sasaran, juga lebih sering menggiring si penanya kepada rasa tidak enak kepada saya, rasa tidak enak yang kemudian perlu ditebus dengan kalimat “Wah, nggak papa, Mas, nggak kuliah, yang penting terkenal yo, Mas.”
Pada titik tertentu, bersama kawan-kawan Rembol, tampaknya saya sangat menikmati ketidakakademisan kami. Sejujurnya, dalam ketidakakademikan itulah, saya merasa sering menemukan kenakalan-kenakalan intelektual yang artistik.
Undangan Dangdut Rembol
Selamat Datang, 2023
Ada banyak resolusi tahun baru yang terlewat, dan saya siap membuat resolusi baru lagi, yang tahun depan mungkin juga akan terlewat lagi.
Tahun selalu berganti, dan ia akan selalu menuntut beban dan tanggung jawab yang lebih besar dari yang sudah-sudah. Maka, tak ada cara yang lebih masuk akal untuk merayakan pergantian tahun selain dengan mensyukuri nikmat-nikmat sederhana yang sudah kita dapatkan.
Pekerjaan yang tidak besar namun ajeg, kawan-kawan yang baik, keluarga yang peduli, masakan istri yang bermutu, reputasi yang makin moncer, follower yang makin banyak, cicilan yang perlahan segera lunas, dan nikmat-nikmat lainnya.
Ini malam tahun baru yang agak berbeda. Saya tidak menghabiskannya dengan nongkrong dan thethek semalam suntuk di ngeboog perempatan bersama kawan-kawan seperti tahun-tahun sebelumnya.
Saya menghabiskannya di depan layar komputer, sambil mencicil pekerjaan. Kalis sudah terlelap di kamar. Dan kucing-kucing kesayangan yang selama ini menjadi penghangat hati hanya bisa kaget atau sesekali mengintip dari jendela, saat kembang-kembang api tahun baru itu menyalak di langit.
Tuhanku yang maha kasih, aku tidak meminta agar tahun 2023 menjadi tahun yang lembut dan lunak, aku meminta dikuatkan agar sanggup menghadapi 2023, sekeras apapun bentuknya.
Selamat datang, 2023.
Selamat Menjadi Juara, Messi dan Argentina
Saya menyukai Edinson Cavani. Di mata saya, Cavani adalah pemain yang sangat layak diidolakan. Kerja kerasnya, determinasinya, gairah bermainnya, penempatan posisinya, ketidakegoisannya, gesturnya tiap kali rekannya mencetak gol, pembelaannya pada rekan setim yang dikasari pemain lawan. Sempurna.
Cavani, secara naluriah, membuat saya mendukung Uruguay untuk menjadi juara Piala Dunia 2022. Apalagi di timnas Uruguay, juga ada Facundo Pellistri, pemain yang juga saya suka, pemain muda Manchester United yang belum pernah bermain satu kali pun untuk Manchester United, namun sudah berkali-kali membela Timnas Uruguay.
Dan kita semua tahu, Uruguay tumbang di babak penyisihan grup. Maka, demi tetap relevan, setidaknya sampai sebelum final, saya harus memilih jago yang lain.
Saya memutuskan untuk mendukung Kroasia dan Maroko di semifinal. Gejala “The underdog effect” memang membuat saya, dan banyak orang lainnya, punya kecenderungan untuk mendukung tim yang lebih tidak diunggulkan. Tentu akan sangat menggembirakan jika ada juara baru. Itu akan melengkapi kegembiraan kita sebelumnya karena menyaksikan negara-negara Asia dan Afrika mempecundangi negara-negara Eropa dan Amerika latin.
Pada prosesnya, Maroko dan Kroasia sama-sama tumbang dan menyisakan dua tim yang sama-sama punya sejarah juara: Prancis dan Argentina.
Lagi-lagi, saya harus memilih. Mana yang akan lebih saya dukung? Dan pilihan saya jatuh pada Argentina. Alasannya sederhana. Empat tahun lalu, Prancis sudah juara. Gantian. Sekarang biar giliran Argentina. Penantian yang lebih lama tentu akan lebih berhak.
Kali ini, dukungan saya tidak mental. Argentina benar-benar juara. Walau ia bukan opsi pertama bagi saya, namun mongkok juga saya melihat Messi mengangkat piala emas itu untuk pertama kalinya.
Messi, dengan segala kemampuan dan kerja kerasnya selama ini, memang sangat berhak mendapatkan perpisahan yang paling paripurna dengan menjadi juara dunia. Tentu saja Ronaldo juga berhak, tapi tak apa jika ia tak mendapatkannya, setidaknya di Piala Dunia inilah, ia bisa mencetak rekor sebagai satu-satunya pemain yang bisa mencetak gol di 5 Piala Dunia. Hal yang tidak bisa Messi lakukan. Dan itu membuat Ronaldo tidak kalah-kalah amat.
Saya bahagia menyaksikan Messi berdiri mengangkat trofi di atas panggung, walau di sisi yang lain, saya tak tega juga menyaksikan Kylian Mbappe berjalan gontai dengan tatapan yang layu, bahkan walau ia keluar sebagai top skor di turnamen ini.
Untunglah, besok pagi, atau mungkin lusa, atau setidaknya minggu depan, ingatan kita tentang itu akan meranggas. Kita mungkin tak akan peduli lagi dengan persaingan Mbappe dan Messi. Kita kembali larut dalam kesibukan-kesibukan kita yang lain.
Begitulah sepakbola, begitulah Piala Dunia.
Kebahagiaan, adrenalin, gairah mendukung, percekcokan, perdebatan, analisis, dan segala rupa atribut lainnya itu kelak memang akan menguap begitu saja.
Kita lalu akan sabar menunggu piala dunia lagi, memilih dan mendukung tim idola lagi, bersorak-sorai lagi, bergembira lagi, berjudi lagi, memacu adrenalin lagi. Lalu melupakannya lagi. Begitu seterusnya.
Sekali lagi, begitulah semesta sepakbola. Dunia aneh yang bisa membuat kita menaruh iba kepada Mbappe, tanpa kita peduli, bahwa gaji Mbappe sebulan masih jauh lebih besar dari gaji kita seumur hidup.
Hanya di semesta sepakbola-lah, kita bisa kasihan kepada Mbappe, tanpa kita peduli, ketika kita sibuk mencampur air ke dalam botol shampoo yang mulai habis lalu mengocoknya agar masih bisa dipakai, Mbappe bisa dengan mudah membuat kolam renang yang isinya shampo semua.
Selamat, Messi. Selamat, Argentina.