Agus Mulyadi Njaluk Rabi

Bapak Momong dan Sebuah Kesabaran

| Monday, 29 December 2014 |

Setahun setelah dilahirkan dari rahim mulia ibu saya tercinta, saya tumbuh menjadi bayi yang trengginas dengan suara tangisan yang sangat kencang, dan susah untuk dihentikan. Mungkin tangisan saya termasuk tipe tangisan Falseto tinggi. Melengking namun nyaring.

Suara tangisan saya yang keras dan susah dihentikan ini pernah menjadi masalah tersendiri dalam keluarga saya.

Syahdan, suatu hari, bapak saya diberi tugas untuk momong saya yang waktu itu masih kecil kinyis-kinyis, usia saya baru genap satu tahun waktu itu. Bapak terpaksa harus kebagian tugas momong saya karena ndilalah emak (yang biasanya momong saya) sedang ada rewang (kerja bakti ibu-ibu di rumah tetangga yang sedang ada hajatan).

Sebagai sosok pria yang jarang sekali momong anak kecil, bapak tentu saja kurang cakap. Cara bapak memperlakukan seorang bayi sangat tidak elegan, tidak metodis, dan tidak sabaran.

Maka, ketika saya mulai menangis, yang dilakukan bapak bukanlah menimang-nimang saya seperti yang biasa emak saya lakukan, namun justru hanya bilang mênêngo gus, mênêngo!. Dan yang terjadi tentu seperti yang sudah bisa diperkirakan, saya tetap menangis dengan suara nyaring tanpa mau berhenti. Ya jelas lah, bayi baru umur setahun kok disuruh berhenti nangis cuma dengan mênêngo gus, mênêngo! lak yo mokal tho?. Kalau saja waktu itu saya sudah bisa ngomong, mungkin bakal saya jawab: “mbok tulung kecerdasanmu pak!”

Saya menangis tanpa kenal lelah. Bapak mulai gusar. Bapak pun mulai mencari cara lain, mulai dari ndolani saya pakai mainan, sampai ngipas-ngipasi saya. Sekali lagi, sangat tidak metodis. Dan itu sama sekali tidak menyelesaikan masalah.

Sampai di suatu titik, bapak saya pun memuncak emosinya, bapak saya hilang kesabaran. Lantas, dibopongnya saya dan dibawalah saya keluar rumah, saya diletakkan begitu saja di atas tanah kebun dengan beralaskan bantal. Bapak saya berjongkok tak jauh dari tempat saya diletakkan.

“Mênêng ora!! mênêng ora!!” hardik bapak kepada saya yang masih saja terus menangis, bahkan kali ini lebih keras. Lagi-lagi, sangat tidak metodis. Cah bayi kok dihardik. Kejiwaanmu lho pak, kejiwaanmu. #GuyonLhoPak

Bapak saya terus menunggui saya yang tergeletak di atas bantal di atas tanah kebun di depan rumah saya itu. Berharap saya segera diam dari tangisan saya. Hampir 20 menit bapak saya jongkok, dan saya belum jua berhenti nangisnya. Saya sendiri juga ndak tahu, bagaimana saya bisa menangis sampai selama itu. Mungkin ada onderdil yang dol.

Barulah setelah setengah jam, saya berhenti menangis. Hardikan bapak rupanya ampuh, sungguhpun butuh waktu setengah jam untuk bisa bereaksi. Saya kemudian dibopong dibawa masuk ke rumah.

Nah, disinilah petaka dimulai.

Setelah kejadian di kebun depan rumah itu, saya justru berubah menjadi bayi yang pendiam. Sama sekali tak pernah menangis. Tubuh saya lemah. Badan saya terus menerus panas. Saya juga tidak ceria seperti biasanya. Sepanjang hari, saya hanya bisa tertidur dan terkulai lesu tak bertenaga. Mengutip istilah Sangobion, saya benar-benar kena 6L: Lelah Letih Lesu Lemas Lunglai Letoi.

Bapak pun menceritakan muasal kenapa saya bisa menjadi seperti itu. Dan bisa ditebak, emak ngamuk berat sama bapak.

Bapak agaknya sadar dan menyesal atas apa yang telah diperbuatnya.

Bapak yang tadinya adalah seorang ayah yang tidak metodis, kini berubah menjadi sangat metodis, bahkan juga sistematis. Bapak mulai mendata populasi dokter anak yang ada di Magelang dan sekitarnya. Satu per satu dokter anak pun didatangi, tak lain dan tak bukan hanya untuk mengobati saya. Sudah tak terhitung berapa dokter spesialis anak yang sudah didatangi. Namun sama sekali tak membuahkan hasil. Saya tetap murung dan tidak bergas. Bapak pun bingung setengah mati.

Kata tetangga, saya jadi murung dan pendiam karena kena sawan. Kata tetangga yang lain, saya jadi begitu karena saudara ghaib saya (istilah jawanya Kakang kawah adi ari-ari) ngambek karena saya diperlakukan sembrono dengan diletakkan begitu saja di kebun di depan rumah.

Bapak pun kemudian mencoba mendatangi beberapa orang pinter, dan hasilnya masih juga belum memuaskan. Bapak dan emak semakin khawatir.

Hingga akhirnya, bapak saya bertemu dengan salah seorang kawannya yang bernama Agus Ngentak. Dia kawan bapak semasa bapak masih kerja jadi kernet angkot. Oleh si Agus Ngentak ini, bapak saya diberi saran agar saya dibawa ke tempat seseorang bernama Bu Hesti, beliau adalah orang pinter yang biasa mengatasi permasalahan seputar sawan anak-anak.

Bapak saya akhirnya menuruti saran Agus Ngentak. Saya lantas dibawa ke tempat Bu Hesti di daerah Mayongan, Tegalrejo.

Di sana, Bu Hesti seakan sudah tahu dengan permasalahan bapak.

“Wah, kalau ini, mau dibawa ke dokter anak manapun ndak bakal sembuh pak, beruntung sampeyan bawa anak sampeyan ini ke tempat saya!!”, kata Bu Hesti kepada bapak saya.

“Ini anak saya kena penyakit apa bu?” tanya bapak.

“Biasa, sawan bocah!!”, jawab bu Hesti singkat.

“Bisa sembuh tho bu?”

“Bisa, nanti dibantu doa!!”

Singkat cerita, bapak pun diberi petunjuk sama Bu Hesti. Katanya, kalau bapak ingin saya sembuh, saya harus dimandikan di air yang sudah diberi campuran daun jeruk, debog bosok (batang pisang yang sudah busuk), dan kêmbang macan kêrah.

Bapak saya pun menuruti apa yang diinstruksikan oleh Bu Hesti, dan benar saja, dua hari setelah saya dimandikan, saya pun kembali segar. Saya kembali sehat, bergas, dan bisa menangis lagi.

Bapak dan emak pun ayem.

Semenjak saat itu, Bapak saya ndak berani lagi memperlakukan saya dengan sembrono. Kalau saya menangis tak terkendali, sebisa mungkin bapak saya akan menahan emosi dan kesabarannya. Seemosi-emosinya bapak, bapak ndak bakal mungkin berani meletakkan saya lagi di kebun depan rumah saya. Bapak tentu tak ingin insiden di atas terulang kembali. Paling bapak hanya bisa menggerutu pelan: “Oalah gus, kowé ki, nangis nyusahi, ora nangis tansoyo nyusahi!!”.

Nah, melalui kisah singkat saya ini, saya ingin memberikan pesan kepada para orang tua muda yang baru saja dikaruniai anak, sabarlah dalam mengurus dan mengasuh anak. Jangan mudah emosi, anak kecil memang sering membuat ulah dan sering merepotkan para orang tua, tapi justru disitulah seni perjuangan orang tua dalam membesarkan anaknya. Ingat, anak adalah satu dari tiga perkara yang kelak bisa menolong dan mendongkrak klasemen amal anda di alam kubur nanti.


Trimo Mulgiyanto, Bapak saya, 47 tahun, trengginas dan bisa diandalkan 

Ini adalah tulisan ke-tujuh tentang bapak saya yang pernah saya tulis, berikut ini adalah beberapa tulisan tentang bapak saya yang mungkin anda tertarik untuk membacanya:

Tinky Winky: Solusi Terapi Masuk Angin. Bisa dibaca Disini

Bapak Saya dan Soal Penghapusan Hansip. Bisa dibaca Disini
Pesugihan Terlarang. Bisa dibaca Disini
Bapak Kesetrum Baju. Bisa dibaca di buku saya Jomblo Tapi Hafal Pancasila
Asmara Emak dan Bapak. Bisa dibaca di buku saya Bergumul dengan Gusmul
Pengkhianatan 212. Bisa dibaca di buku saya Bergumul dengan Gusmul 

Implementasi Pengusiran Demit

| Thursday, 25 December 2014 |

Ilustrasi Demit

Di Film Tuyul yang dibintangi oleh almarhum Darto Helm, ada satu adegan yang begitu terkenang bagi saya, yaitu adegan Tuyul yang ndak bisa tembus masuk ke sebuah rumah karena di pintu rumah tersebut tertempel stiker bertuliskan ayat Al-Quran.

Gara-gara film Tuyul tersebut, dulu saya sampai sangat meyakini, bahwa demit itu takut sama tulisan arab. Dasar anak kecil, dulu saya menganggap, demit atau setan itu takut bukan karena faktor ayat Al-Quran-nya, melainkan karena huruf arabnya. Maklum saja, namanya juga anak kecil, belum tahu apa itu ayat Al-Quran, tahunya tulisan arab. Titik. Pokoknya setan takutnya cuma sama tulisan arab.

Gara-gara hal ini, dulu saya pernah merengek sama bapak agar bapak membeli hiasan kaligrafi arab, maksud saya biar bisa dipasang di ruang tamu, biar ndak ada setan yang masuk ke rumah.

Lebih konyol lagi, dulu saya pernah begitu selo menulis huruf-huruf hijaiyah di dinding kamar saya, huruf-huruf itu saya salin dari iqro jilid 1, harapannya agar tak ada setan yang berani masuk ke kamar saya. Dulu saya beranggapan, huruf hijaiyah kan huruf arab, jadi setan pasti ndak bisa masuk kamar saya, karena saya yakin, setan takut sama huruf arab.

“biar setan ndak bisa masuk tho mak!”, jawab saya kepada emak sewaktu ditanya kenapa corat-coret huruf arab di dinding kamar. Emak saya hanya nyengir, mungkin membatin: “demit goblok mana yang bisa diusir cuma dengan huruf alib ba ta”.

Kalau Ingat hal itu, saya jadi merasa sangat bodoh. Kok ya bisa-bisanya saya mengira demit bakal takut hanya karena saya menulis huruf arab di dinding kamar.

Tapi saya tentu memakluminya, namanya juga anak kecil.

Dan sungguh beruntungnya saya, karena ternyata, saya bukan satu-satunya orang yang konyol dalam perkara demit ini. Puji syukur, ada yang lebih konyol dari saya. Sebut saja namanya Karyo. Ia temannya teman saya.

Jadi ceritanya, di Suatu malam, sekitar jam 11 malam, Karyo pulang sehabis melihat tontonan dangdut. Ia pulang sendirian, berjalan kaki, karena jarak tempat tontonan dengan rumahnya tak jauh-jauh amat. Kawan-kawannya mungkin masih berjoget di panggung dangdut, karena memang pertunjukkan dangdutnya belum usai. Karyo sengaja pulang lebih awal karena ia masih ada keperluan rumah yang harus diselesaikan.

Saat perjalanan pulang, Tibalah Karyo melewati jalan yang begitu sepi dan tanpa penerangan yang cukup. Kiri kanannya hanya berupa kebun kosong.

Karyo agak bergidik. Maklum, walau raganya sangar, tapi mental si Karyo ini rapuh serapuh-rapuhnya. Si Karyo mulai merinding, bulu kuduknya berdiri hebat. Untuk menenangkan diri, ia pun menyulut rokok yang ada di sakunya. Karyo pun berjalan dengan langkah yang agak cepat, takut kalau-kalau nanti bakal ada penampakan demit yang menganggu.

Dasar nasib siapa yang tahu. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih.

Benar saja, yang ditakutkan oleh Karyo akhirnya terjadi juga. Baru beberapa hisapan rokok, Karyo sudah diperlihatkan penampakan demit. Namun bukan demit seperti pocong terbang, Genderuwo fangkeh, atau kuntilanak nongkrong di atas pohon. Melainkan sosok demit yang justru hadir dari kepulan asap rokok yang ia keluarkan.

Entah bagaimana ceritanya, asap rokok yang kepulkan ke udara mendadak berubah menjadi gumpalan asap yang begitu besar mengepul dan membentuk sosok menyerupai manusia yang tinggi besar. Sontak si Karyo ketakutan setengah mati, rokoknya langsung ia buang.

Karyo ingin lari sekencang-kencangnya, namun kaki serasa kaku. Ia hanya bisa terdiam. Keringat dingin pun mengucur deras.

Di tengah ketakutannya, ia teringat dengan kata seorang kawan, bahwa setan atau demit takut dengan bacaan ayat-ayat Al-Quran. Namun sial bagi Karyo, rupanya ia sama sekali tidak hafal ayat Al-Quran, boro-boro hafal Quran, lha wong ngaji iqro saja tak pernah tuntas.

Akhirnya, dengan terbata-bata dan penuh rasa ketakutan, Karyo mengucap dengan keras “Alip ba ta, alip ba ta, alip ba ta” dengan harapan si demit bisa segera enyah dari hadapannya.

Dan ajaib, sosok demit asap yang ada di hadapannya itu pun hilang. Iya, hilang. Tiga huruf awal hijaiyah itu rupanya berhasil mengusir sang demit asap. Ampuh, sungguh ampuh.

Saya yang diceritani kisah tadi hanya bisa gelang-geleng sambil tersenyum geli. Rupanya 'Alip Ba Ta' cukup bisa diandalkan untuk mengusir demit. Tapi jelas saya ndak yakin demit itu hilang karena panas oleh bacaan huruf hijaiyah yang dibaca oleh Karyo, saya lebih yakin, demit itu hilang karena ndak kuat menahan tawa saking gelinya.

Emak Saya Je

| Monday, 22 December 2014 |

Saya punya banyak sekali kebiasaan buruk, salah satu yang menurut saya paling buruk adalah saya selalu betah berlama-lama di kamar mandi.

Bukan... bukan, jangan berfikir macam-macam dulu, saya betah di kamar mandi bukan karena aktivitas “self service”, sama sekali bukan (tapi sesekali iya sih). Saya betah di kamar mandi karena berbagai sebab yang sangat kompleks.

Pertama, saya selalu merasa nyaman untuk melamum dan memikirkan banyak hal di kamar mandi. Saya sadar ini perbuatan yang kurang terpuji (Lho, kok sangat PMP sekali ya?). Saya pernah membaca di internet, bahwa kamar mandi adalah rumahnya setan, dan setan suka sekali membisiki manusia dengan aneka rencana buruk saat di kamar mandi. Singkat kata, banyak ide-ide yang lahir di kamar mandi itu biasanya berakhir pada ketidakbaikkan. Karena itulah ajaran agama saya melarang untuk berlama-lama di kamar mandi. Namun apa mau dikata, saya selalu tak bisa menampik keinginan untuk melamun dan berfikir di kamar mandi.

Kedua, saya ini peragu kalau urusan wudhu. Saya sering kali mengulang wudhu saya, bahkan bisa sampai berkali-kali karena saking ragunya. Jadi kalau wudhu di kamar mandi, saya bisa menghabiskan waktu sampai lima belas menit lebih.

Ketiga, saya itu suka sekali bernyanyi di kamar mandi. Entah mengapa, saya merasa, suara saya terdengar lebih merdu kalau saya sedang berada di kamar mandi. Kalau sudah di kamar mandi, lagu demi lagu bisa dengan merdu saya dendangkan. Mulai dari tembang klasik semisal “L.O.V.E”-nya Nat King Cole, sampai lagu unyu masa kini seperti “All About That Bass”-nya Meghan Trainor. Pokoknya kalau sudah di kamar mandi, hasrat menyanyi saya sudah tak bisa dibendung lagi.

Gara-gara ketiga sebab di atas, saya sering kali menjadi keong dalam kakus. Menghabiskan banyak waktu di kamar mandi dengan berbagai kesia-siaan yang tak perlu.

Bukan apa-apa sih kalau memang pas kosong, lha tapi kalau pas ditunggu sama anggota keluarga lain yang juga ingin menggunakan kamar mandi, pasti bakal ada pisuhan-pisuhan tak sedap yang keluar, terutama bapak saya yang memang sering tak sabaran kalau perkara ngantri kamar mandi.

“Cêpêt gus, bapakmu iki mèh adus, nang kamar mandi kok suwéné sêtêngah modar, micêk po nang kono?” begitu kata bapak suatu kali.

Kedua adik saya pun tak jauh berbeda, hanya saja, mereka ndak berani misuh sama saya karena saya lebih tua matang.

Kalau emak saya lain. Dia adalah antitesa dalam keluarga saya. Dia makhluk paling berperasaan dalam lingkungan keluarga saya. Tatkala yang lain misuh-misuh karena saya menghabiskan banyak waktu di kamar mandi dengan bernyanyi ndak karuan, emak saya justru santai saja. Mungkin emak sadar, bahwa saya punya ketertarikan dan potensi cemerlang di bidang tarik suara (Hoeeek). Mungkin emak sadar, bahwa menyanyi di kamar mandi adalah salah satu kebahagiaan saya.

Bahkan, kalau bapak saya sedang misuh-misuh karena menunggu saya yang begitu lama menghabiskan waktu di kamar mandi, emak saya akan menyuruh bapak untuk mandi di kamar mandi nenek saya. Kebetulan rumah saya dan rumah nenek bersebelahan persis. Bapak saya nurut, walau tetap misuh.

Kalau emak sendiri yang akan mandi, dan saya sedang asyik bersenandung di kamar mandi, maka emak dengan senang hati menunggu saya sampai selesai, kalau memang sedang bergegas, emak biasanya langsung memilih untuk hijrah ke kamar mandi nenek. Seakan-akan emak tak mau menyela kegembiraan saya. Saya bahkan sampai mengira, andai emak punya uang yang sangat banyak, ia pasti rela membelikan saya seperangkat mic dan sonsistem untuk ditaruh di kamar mandi. Hahaha, emak memang juara.

***

Sebenarnya tak mengherankan jika emak saya sangat pengertian pada saya, anak lanang-nya yang trengginas ini, Namanya juga ibu. Pasti punya kesabaran dan kasih sayang yang lebih besar ketimbang bapak. Karena dialah yang mengandung anaknya selama sembilan bulan dan berjuang hidup mati toh nyowo untuk bisa melahirkan anaknya. Dan bagi saya, hal itu jelas terbukti pada sosok emak. (Sori lho pak, karena ini edisi hari ibu, sekarang saya lebih fokus untuk mbélani emak ketimbang bapak).

Pembuktian kasih sayang emak pada sang anak bisa saya lihat dengan amat jelas tatkala voting masakan. Biasanya, sebelum masak, emak akan bertanya sama saya, adik-adik saya, dan bapak saya, tentang sayur apa yang sebaiknya dimasak hari ini. Dan sejatinya, itu adalah voting semu. Karena sayur apapun yang dipilih bapak, itu tak akan pernah disetujui oleh emak selama ketiga atau salah satu anaknya tidak setuju. Prinsip emak, pilihan anak harus lebih diutamakan ketimbang pilihan suami. Hahaha, sungguh demokrasi yang percuma.

Hal ini membuat bapak saya lebih banyak menjawab: “Manut waé” saat ditanya mau masak apa hari ini. Mungkin bapak sadar, bahwa hak pilihnya hanyalah syarat covering dan formalitas demokrasi rumah tangga semata.

***

Saat masih SMP, saya ingat betul. Saya pernah tertabrak motor di perempatan dekat sekolah saya. Tidak ada luka yang serius, bahkan sekedar lecet pun nihil. Namun kaki saya terkilir, dan kalau buat jalan, rasanya agak sakit. Saya kemudian dibawa ke tukang pijet.

Baru sak-udutan saya dipijet, emak saya datang sambil nangis sejadi-jadinya. Emak saya sudah diberi tahu sama tukang pijetnya, kalau saya hanya terkilir, namun emak saya tetep saja nangis, seolah-olah saya luka parah dan harus diamputasi besok pagi. Sumpah, emak saya lebay banget waktu itu. Tapi mungkin itu adalah salah satu bentuk kasih sayang dan kekhawatiran seorang emak kepada saya. Kasih sayang dan kekhawatiran akan anak yang sering kali mengacaukan logika para ibu.

Teruntuk Emak saya, Matursuwun karena sudah dan terus memberikan segenap kasih sayangnya untuk anak lanangmu yang ndablêk ini. Ribuan bahkan jutaan kebaikan yang mungkin bisa saya lakukan belum tentu bisa menebus seluruh baluran kasih sayangmu. Mak, Maaf, kalau belum bisa menggembirakanmu. Tapi saya berjanji, saya akan.

Untuk para ibu di seluruh penjuru dunia, selamat hari ibu.

Untuk bapak saya, semoga bisa lebih sabar dan pengertian. Yakinlah, andai bapak bisa lebih sabar dan pengertian, mungkin Hari Bapak bisa sama terkenalnya seperti Hari Ibu. *Rasain lu, Emang enak ndak ada yang bikin hestek #SelamatHariBapak?

Dan teruntuk ibu dari calon anak-anakku... kowé ki wis lahir hurung to? Kok tak golèki ra kêtêmu-kêtêmu.

Surat Terbuka untuk Mas Anang Hermansyah

| |

Dear Mas Anang yang fangkeh,

Perkenalkan, nama saya Agus Mulyadi, 23 tahun. Asli Magelang. Saya pengagum Mas Anang. Bukan, bukan... bukan karena suara Mas yang serak-serak berat itu, sama sekali bukan. Saya kagum karena Mas Anang saya anggap sebagai representasi pria yang cemerlang dalam perkara wanita. Betapa tidak, Mas Anang sudah pernah menaklukkan hati wanita secantik Krisdayanti, terus mampu mendekati dan bahkan mem-PHP wanita semontok Syahrini, dan terakhir bisa menikahi wanita seimut Ashanty. Sungguh prestasi yang sangat luar binasa.

Beberapa waktu yang lalu, saya sudah mendengar tentang rencana persalinan istri Mas Anang yang cantik itu, persalinan yang akan disiarkan live di salah satu TV swasta nasional. Dan saya yakin, Mas Anang pasti sudah dapat banyak mensyen dari follower yang tidak setuju dengan rencana tersebut karena dianggap sebagai perampasan hak frekuensi publik.

Saya yakin, sebagai anggota dewan, tentu Mas Anang bisa berpikir untuk lebih berpihak pada khalayak-isme. Tapi sayang, ternyata Mas Anang ndak peduli sama perkara frekuensi publik itu. Mas Anang tetap melanjutkan rencana tayangan persalinan. Entah karena memang sudah kadung teken kontrak atau memang Mas Anang yang keras kepala.

Saya ndak tahu, apa tendensi Mas Anang ataupun RCTI sampai-sampai proses persalinan istri njengengan tercinta harus disiarkan secara langsung agar khalayak tahu. Entah sekadar perkara rating atau hanya sekedar sensasi. Tapi yang jelas, siaran live sebuah proses persalinan di stasiun TV adalah pembodohan yang seasu-asunya, Mas. Merampas hak publik atas tayangan siaran yang bermutu dan bermanfaat.

Saya kok ndak habis pikir dengan jalan pikiran Mas Anang. Buat apa, gitu, persalinan sampai perlu dibikin live? Kok ya selo sekali. Apa memang butuh sponsor karena lagi ndak ada duit? Semoga tidak ya, Mas.

Tentu naif kalau saya menganggap siaran persalinan itu karena Mas Anang tidak kuat bayar biaya persalinan. Welhadalah, bisa kuwalat saya kalau sampai menganggap Vokalis Kidnap Katrina hidup berkekurangan sampai ndak mampu bayar biaya persalinan istrinya. Lha wong sebagai artis merangkap Anggota Dewan, tentu duit yang masuk ke kocek Mas Anang setiap bulannya bisa sampai berpuluh atau bahkan beratus juta jumlahnya. Jangankan cuma biaya persalinan, kalau perlu rumah bersalin pun pasti bisa Mas Anang franchise-kan.

Mas Anang bilang, persalinan itu dibuat live karena ada nilai edukasi di dalamnya, terutama karena istri Njengengan pernah mengalami keguguran dan bertahan hingga melahirkan bayi perempuan setelah dua tahun pernikahan. Iya, Mas, saya tahu, saya turut bersimpati. Ibu-ibu atau bapak-bapak di seluruh penjuru nusantara juga rasanya pasti sama simpatinya seperti saya. Tapi kan ndak perlu begini juga, Mas. Ndak perlu pakai acara siaran langsung persalinan juga.

Tapi saya salut lho, Mas, sama njenengan. Ndak salut bagaimana, di Indonesia ini, hanya Mas Anang beserta istri lho yang bisa mengubah image persalinan, dari ritus yang suci dan sakral menjadi prosesi hingar-bingar yang berisik dan penuh dengan nuansa showbiz karena dikemas dalam bentuk reality show. Coba, siapa lagi yang bisa kalau bukan Mas Anang beserta istri?

Kalau saya pribadi sih ndak terlalu terganggu, Mas. Karena saya memang jarang sekali nonton TV. Tapi kalau yang lain, saya yakin bakal terganggu. Buktinya Di twitter dan facebook banyak yang mengeluhkan tayangan itu.

Bukan apa-apa sih, Mas. Tapi tren mengkomersilkan momen-momen penting artis dalam bentuk siaran ini dikhawatirkan akan memunculkan sekuel-sekuel yang lain. Diawali dengan pernikahan Raffi-Gigi, lalu Persalinan Ashanty. Lha besok apa lagi? Saya takut, jangan-jangan nanti sunatannya Sony Wakwaw juga bakal dibuat siaran live. (Semoga jangan ya, Dek Sony. Kakak percaya kamu anak baik, semoga SCTV juga begitu)

Walau bagi saya ndak terlalu mengganggu, namun saya merasa perlu membuat surat terbuka ini. Apalagi karena njenengan dengan enteng bilang: “Yang terganggu tinggal pindah channel lain saja,” sewaktu konferensi pers sesaat setelah proses persalinan usai.

Tinggal pindah channel ndasmu njebluk, Mas. Ini bukan soal channelnya, Mas. Tapi ini soal hak publik yang dirampas karena siaran persalinan yang sangat tidak bermutu itu, Mas. Memangnya Mas Anang mau, kalau Ashanty saya ganggu, terus saya colak-colek dan saya cuma perlu bilang: “Nang, kalau sampeyan merasa terganggu karena istri sampeyan saya colek, cari istri lain saja!” Jelas tidak mau kan, Mas?

Ingat, Mas. Publik sebagai pemilik frekuensi harusnya berhak mendapatkan siaran bermutu, atau minimal siaran yang etis dan normatif lah.

Ya silakan saja kalau memang berniat untuk mengedukasi mengenai bagaimana seorang istri (dalam hal ini, Ashanty) memperjuangkan kandungannya…

Tapi tak beeeginiiiiiiii

-----
Terbit pertama kali di Mojok.co edisi 15 Desember 2015. Juga dimuat di Merdeka.com, Metrotvnews.com, Kapanlagi.com, dan portal berita lainnya.

Murni Curhatan

| Thursday, 11 December 2014 |

Namanya NZ, usianya dua puluh satu tahun, alias dua tahun lebih muda dari saya, asalnya dari salah satu kota pesisir di Jawa tengah. Parasnya menarik, Tubuhnya mungil, senyumnya begitu ceria, dengan sedikit dekik di kedua pipinya, tingkah-polahnya sungguh teramat menyenangkan.

Sudah dua setengah tahun terakhir ini saya menyukainya. Dan kemarin, saya benar-benar tak sanggup menyembunyikan perasaan saya.

Kemarin saya bertemu dengan NZ, Kami bertemu dalam sebuah acara resepsi kawinan kawan saya. Kebetulan kawan saya yang nikah itu ternyata temannya kakaknya NZ. Jadinya Saya dan NZ sama-sama dapat undangan.

Saya dan NZ lantas berbincang ringan, yah, sekadar bincang formalitas, intermezzo murahan. Kami berbincang banyak hal, mulai soal kesibukan masing-masing, hingga soal perkembangan dunia tulis-menulis, kebetulan ia cukup punya minat di bidang itu.

Setelah sekitar sepeminuman kopi kami mengobrol, saya dengan polosnya memberanikan diri untuk mengajaknya maju ke panggung.

“Nyumbang lagu yo, kita duet,” ajak saya. Padahal niat saya sih cuma untuk guyon, eh ndilalah, dia-nya mau saja saya ajak naik ke panggung.

“Hambok ayo!” jawab NZ mantap.

Karena sudah kadung kemakan omongan, maka sebagai laki-laki, saya tak bisa mengelak atau meralat ajakan saya. Mau tak mau saya harus berani maju.

Saya lalu melangkah pelan, naik ke panggung bersama NZ. Saya ambil gitar yang tergeletak di tepi panggung, kebetulan band pengisi sedang break. Saya lalu menyanyikan lagu “Fly Me to The Moon”-nya Frank Sinatra. Lagu yang sering saya dengarkan lewat youtube. Saya menyanyi dengan suara yang sumbang, amat amat sumbang. NZ hanya meringis, saya lirik, raut mukanya agak jengkel, mungkin karena ia tak tahu lagu ini, sehingga ia tak bisa ikut menyanyi dan hanya nyengir nganggur di atas panggung. Saya cuek saja dan terus melanjutkan lagu saya.

“Fly me to the moon, let me play among the stars...”
“Let me see what spring is like on Jupiter and Mars...”
“In other words, hold my hand...”
“In other words, darling kiss me...”


Hadirin nampak acuh, mereka tetap fokus pada hidangan prasmanan mereka. Hanya ada beberapa yang melirik saya. Mungkin karena suara saya yang sangat tak merdu.

Lagu romantis itu pun selesai saya nyanyikan, saya merasa terbawa suasana. Dan entah bagaimana ceritanya, saya mendadak nekat mengatakan “Z, I Love you” kepada NZ yang berdiri tepat di samping saya. Saya bingung, Saya kok bisa jadi goblok begini ya. Saya benar-benar malu setengah mati. Beruntung hadirin yang lain tidak mendengar kata 'Z, I Love You' yang saya ucapkan, karena memang saya mengucapkannya tanpa mic.

NZ hanya diam. Dan itu semakin menambah malu saya. Karena penembakan spontan dan bodoh barusan ternyata hanya menghasilkan jawaban bisu. Sejenak kami berdua diam, dia belum juga memberi jawaban. Raut wajahnya mulai terlihat murka, sedangkan saya begitu gugup dan takut. Akhirnya saya putuskan untuk mengajaknya turun, saya tak ingin berlama-lama menanggung malu dan beban mental yang teramat berat ini.

Hahaha. Tentu saja adegan di atas hanyalah adegan fiktif, hanya ada dalam bayangan saya saja. Karena ada berbagai sebab yang membuat adegan di atas tak mungkin terjadi di dunia nyata. Pertama, saya tak bisa memainkan gitar. Kedua, saya tak hafal penuh lirik lagu “Fly Me to The Moon”-nya Frank Sinatra. Ketiga, seandainyapun saya bisa main gitar dan hafal lagu Fly Me to The Moon-nya Frank Sinatra, saya belum tentu punya mental untuk memetik gitar dan menyanyi di hadapan NZ. Dan yang keempat, saya masih cukup waras untuk tidak bilang I Love You kepada dia, maklum lah, pipi kiri saya ini kelihatannya belum cukup kokoh untuk menerima tamparan tangannya.

Lalu untuk apa saya menulis curhatan yang ndak jelas ini?

Yah, siapa tahu si NZ baca curhatan ini, sehingga ia sadar, bahwa saya begitu menyukainya. Sengaja saya tulis di blog agar ketika yang bersangkutan sadar kalau saya menyukainya, maka yang ia tampar bukanlah pipi saya, melainkan layar monitor atau gadget yang ia gunakan untuk membaca postingan ini.

Dan entah mengapa, setelah menulis curhatan ini, pipi saya kok rasanya seperti ada yang menampar. Dan sedari tadi, berkali-kali saja mendengar bisikan gaib: “Dasar blogger nggak tahu diri!”.

Plakkk!!!

Tuh... Pipi saya ditampar lagi.

Pesugihan Terlarang

| Wednesday, 3 December 2014 |

Semalam, Saya, dua kawan saya: Niko dan Kebo, serta Bapak Saya melek sampai pagi. Entah karena pengaruh kopi yang malam itu sama sekali tidak mêjên, atau memang karena obrolan kami berempat yang begitu menggebu, hingga tak terasa kami bisa larut dalam perbincangan seru dari jam dua belas malam hingga menjelang subuh.

Kamar Loteng Agus mulyadi

Entah berawal dari bahasan apa, mendadak bahan perbincangan kami menjurus ke arah dunia mistis. Mulai dari penampakan, kesurupan, sampai dunia pesugihan. Bahasan yang sebenarnya agak ironi, mengingat diantara kami berempat, tak ada satupun yang pemberani, baik saya, Niko, Kebo, maupun bapak saya, semuanya adalah makhluk pengecut kalau sudah berhubungan dengan dunia supranatural.

Dari sekian obrolan yang meluncur deras dari mulut kami berempat, satu yang jelas saya ingat adalah kisah bapak saya.

Saya tak menyangka, bapak saya yang kelihatannya woles dan unyu itu ternyata menyimpan kisah masa lalu yang begitu mistis dan pekat.

Bapak dulu rupanya pernah mendatangi situs makam kuno untuk mengikuti program pesugihan

Alkisah, sewaktu saya masih berusia satu tahun, ekonomi keluarga saya begitu buruk. Bapak saya budrêk. Penghasilan dari menjadi kernet angkot sama sekali tak bisa diandalkan. Ubêtan sana-sini belum jua mencukupi kebutuhan hidup, sungguhpun waktu itu, anak yang menjadi tanggungan baru saya seorang, kedua adik saya belum lahir.

Himpitan ekonomi semakin merapat, nalar pun teracuni. Bapak pun kemudian mencari jalan pintas: Pesugihan.

Berbekal rekomendasi tokcer dari beberapa kawan. Bapak akhirnya mendatangi salah satu situs makam kramat di daerah Muntilan (maaf, demi kenyamanan bersama, nama daerah persisnya tidak saya sebutkan).

Bapak berangkat dari rumah ke lokasi makam keramat dengan penuh kemantapan. Sepanjang perjalanan, bapak terus saja dibayangi angan-angan hidup mapan yang mungkin akan segera bapak dapatkan.

Tak butuh waktu lama untuk sampai di lokasi makam. Di lokasi makam tersebut, ada beberapa orang yang nampaknya juga mempunyai maksud dan tujuan yang tek berbeda jauh dengan bapak. Setelah nyekar, Bapak kemudian dipertemukan dengan sang juru kunci yang kono juga merangkap sebagai perantara pesugihan.

“yang jadi Juru kuncinya itu sama sekali ndak sêtil, ora sangar, ndak ada potongan juru kunci, lempeng. Tapi ilmunya katanya begini!”, kata bapak sambil mengacungkan jempolnya. “Banyak yang berhasil di situ, yang tadinya mlarat kéré, habis dari situ, beberapa bulan kemudian langsung jadi juragan,” lanjut bapak.

“Yang mau ikut pesugihan akèh po pak mo?” tanya Kebo (nama bapak saya Trimo)

Yo akèh tho, lha wong tempatnya sudah terkenal kok!”

Kata bapak, pesugihan di sana memang terkenal karena gêthuk tular, dari mulut ke mulut. Sudah banyak yang membuktikan.

Saya dan Niko menyimak seksama, Kebo sesekali mengajukan pertanyaan. Agaknya Kebo begitu antusias dengan kisah pesugihan bapak saya ini.

“Pesugihan disini tidak banyak syarat yang aneh-aneh, mas. Sampéyan cuma wajib menyelipkan uang sepersepuluh dari jumlah penghasilan Sampéyan di tikar yang menjadi alas tidur Sampéyan, uang itu nantinya akan hilang sendirinya diambil sama préwangan” Kata bapak mencoba menirukan petunjuk si juru kunci waktu itu.

Bapak pun kemudian bertanya kepada sang juru Kunci perihal kapan saja uang itu harus diselipkan.

“Seminggu sekali, tidak boleh terlupa, karena kalau terlupa sekali saja, Sampéyan sendiri yang akan jadi tumbalnya!” begitu kata juru kuncinya.

Bapak saya pucat seketika.

“Piyé mas? wani?”

Waduh, kosék mbah, saya tak mikir-mikir dulu!” jawab bapak gamang.

Sampai di titik ini, Bapak benar-benar dibuat bingung. Betapa tidak, ini pilihan yang sulit. Bapak sempat senang karena tahu kalau syarat pesugihan di tempat itu tidak aneh-aneh. Tapi begitu tahu tentang mekanisme pertumbalanya, bapak saya langsung mak jêgagik mlintir. Mental bapak yang dari rumah sudah keras seperti batu karang sekarang langsung lembek bak marshmallow.

Sidone Sampéyan wani pak mo?” tanya Kebo

“Aku mikir bo, sebenarnya syarat sih ndak susah-susah banget, Cuma nyêlipke duit seminggu sekali di bawah tikar. Tapi yo itu, kalau terlupa sekali saja, aku yang jadi tumbalnya. Yang namanya manusia itu, setajam-tajamnya ingatan, pasti bakal dikasih lupa juga. Lha kalau ndilalah suatu waktu aku lupa nyêlipke duit di bawah tikar, lak yo modar tho aku bo!

Njuk akhirnya sampéyan jadi ambil ndak pak mo? penasaran ini” kali ini Niko yang bertanya.

Saya hanya menyimak serius sambil sesekali menulis catatan penting tentang kisah bapak ini di kertas . Yah siapa tahu bisa saya tulis di blog (dan nyatanya memang saya tulis di blog toh, lha yo postingan ini tulisannya).

“Akhirnya, aku ndak berani ko, daripada kena mêmolo, lebih baik mundur!”

“Ah, pa’e kicir, mosok gitu aja ndak berani!” ejek saya. Kali ini saya ikut dalam pergumulan.

Kicir ndasmu, lha yang jadi jaminan tumbal ki bapakmu sendiri je, lha kalau yang jadi tumbal anak pertama, mesti bakal langsung tak lakoni!”, balas bapak menohok saya.

Kami berempat langsung tertawa terbahak.

Modiar ra kowé gussss!”, kata Kebo di tengah tawanya yang menggelegar.

Asuuuuuu

______
Ingatlah, bahwasanya Dalam berbagai ritual pesugihan terdapat bentuk kesyirikan, yaitu memalingkan salah satu ibadah kepada selain Allah. Dan itu adalah seburuk-buruknya.

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun” (QS. An Nisa’: 36)

“Janganlah kamu adakan Rabb yang lain di samping Allah, agar kamu tidak menjadi tercela dan tidak ditinggalkan (Allah).” (QS. Al Isra’: 22)


Semoga kita terhindar dari hal yang sedemikian dan senantiasa sabar. Aamiin

Tentang Saya

Saya Agus Mulyadi, biasa dipanggil Gus Mul (bukan lulusan pesantren seperti Gus Dur, Gus Muh, maupun Gus Mus. Gus Mul hanya akronim dari nama saya). Blogger dan Freelance Layouter. Kini berusia 24 tahun. Aktif di Karang Taruna dan Komunitas Blogger Magelang Pendekar Tidar. Profil lebih lengkap, Lihat Disini
 
Copyright © 2010 Blog Agus Mulyadi , All rights reserved
Design by DZignine . Powered by Blogger