Saya punya banyak sekali kawan dengan berbagai sifat, dari yang paling kikir dan pelit sampai yang paling murah hati dan ringan tangan. Dari yang paling kalem, sampai yang paling nyolot. Dari yang paling lucu sampai yang paling garing dan kering bak kanebo yang sudah mengeras.
Dari sekian banyak kawan yang saya punya, saya selalu terkagum-kagum dengan kawan yang selalu bisa melihat perkara dengan begitu sederhana. Memandang sesuatu dengan sangat simpel, nikmat, dan kadang masuk akal.
Gembus, adalah kawan saya yang masuk dalam jenis ini.
Ia adalah tipikal manusia yang, bagi saya, selalu saja punya cara yang elegan dalam menghadapi persoalan hidup. Selalu bisa menghadapi hidup dengan cara-cara yang santai dan entah kenapa, selalu berhasil membuat saya terkagum-kagum.
Gembus, yang bekerja sebagai juru las di salah satu usaha pembuatan pager tralis dan kanopi ini di antara kawan-kawan sepermainan saya bukanlah sosok yang punya penghasilan besar, namun dialah yang hampir selalu menjadi penyumbang bantingan terbesar kalau ada acara serkileran atau sekadar kumpul-kumpul mabuk saat malam mingguan.
Rasanya hampir berkali-kali, ia menghabiskan hampir seluruh gaji mingguannya yang ia terima setiap sabtu untuk mentraktir kawan-kawannya mabuk saat malam minggu. Gembus begitu royal.
Saya yang, merasa sedikit punya pengetahuan manajemen duit, sering menanyakan hal ini pada Gembus.
“Mbus, nek bayaranmu mbok entekke ngge urusan mabuk ngene iki, njuk sesuk seminggu kowe le mangkat kerja piye?” Tanya saya.
Dan entah kenapa, jawaban Gembus selalu saja membuat saya terkekeh antara kagum dan jengkel.
“Halah, Gus, mabuk ki urusan dino iki, lha nek urusan kerjo ki urusan sesuk senin. Saiki yo mikir urusan saiki. Urusan senin dipikir sesuk senin. Teko santai tho, buos.”
Kenyataannya, gembus memang selalu punya cara yang tak diduga-duga untuk menyambung hidup selama seminggu ke depan sampai masa gajian berikutnya tiba. Kadang untuk jajan seminggu, ia bisa saja menjual salah satu burung peliharannya. Untuk berangkat kerja, ia bisa saja menebeng angkot yang ditarik oleh Bayan, tetangga kami. Untuk urusan rokok, ia bisa saja ngebon dulu di warung langganan milik tetangganya.
“Urip ki kan pancen mung nunut utang ro nyarutang tho, Gus?” ujar Gambus sambil prengas-prenges. “Nek utang ki sing kendel sisan, rasah ragu-ragu, mumpung cocote isih dipercoyo!”
Kadang saya bingung, apa yang ia lakukan ini masuk dalam kategori goblok, atau masuk dalam kategori pasrah dan tawakal.
Gembus selalu punya cara yang brilian untuk menghadapi hidup. Termasuk dengan menipu saya.
Pernah suatu ketika, tengah malam, dia datang mengetuk pintu kamar saya (kamar saya punya dua pintu, salah satunya terpisah dari ruang tamu), dia bilang ingin meminjam uang. Lima puluh ribu, katanya.
“Ngge tuku poltri (pakan ayam), Gus. Pitik-pitikku do protes, pakanane entek, nek ra dipakani saiki, sesuk esuk bakal podo ngambek,” kata Gembus.
Gembus yang saya tahu memang memelihara beberapa ayam pasang tampang yang meyakinkan.
Saya tentu saja percaya. Maka, tanpa banyak pikir, saya langsung pinjami dia lima puluh ribu.
Pagi harinya, saat kumpul di warung Mbak Ninik, tempat kami biasa nongkrong, saya ditertawakan oleh Marcopolo, salah seorang kawan saya satu permainan.
“Gembus mambengi jarene nyilih duit ning kowe po, Gus?” Katanya sambil merenges.
“Hoo, piye tho?”
“Kowe gelem nyilehi?”
“Yo gelem, meh ngge tuku poltri, mesakke, jarene piteke gembus ora iso disemayani, nek ra dipakani, esuke bakal do ngambek pitike…”
Marcopolo tertawa terbahak. “Tak kandhani, Gus. Seko jaman nabi Adam ngasi tekan seprene, hurung ono sejarahe pitik ki iso ngambek”
Saya terhenyak. Bedebah, ternyata saya ditipu gembus mentah-mentah. Gembus yang sesaat kemudian ikut bergabung dengan kami pun kemudian juga ikut tertawa dan menggoblok-goblokkan saya.
“Kowe ki, kerjone nulis, tapi kok goblok, Ha mbok mikir, rumangsane toko pakan pitik po yo ono sing bukak jam siji bengi?” ejek Gembus tanpa merasa bersalah pada saya.
“Asuuuuu…”
Belakangan baru saya ketahui, kalau uang yang Gembus pinjam tengah malam itu ternyata ia gunakan untuk modal judi. Ia menggunakan alasan untuk beli pakan ayam karena ia yakin, saya tak akan meminjaminya kalau ia bilang uangnya akan digunakan untuk judi.
Saya semakin yakin, bahwa Gembus adalah senyata-nyatanya manusia Jawa yang hidup dengan tiga falsafah pamungkas: “Dipikir karo mlaku”, “Sing penting yakin”, dan “Mbuh piye carane”.
Selalu ada solusi mudah dan ringan atas masalah yang ia hadapi. Gembus selalu mengingatkan saya atas anekdot lawas tentang pria tua yang ngebet pengin ngewek dengan mahasiswi.
“Aku ini sudah bangkotan, istri sudah kendor, anak sudah dua, tapi aku pengin banget sekali saja bisa ngewek dengan mahasiswi, kamu punya cara?” tanya pria tua pada temannya.
“Ada…” jawab temannya.
“Apa?”
“Suruh istrimu kuliah lagi!”
Menghadapi Hidup Dengan Jurus Dipikir Karo Mlaku, Sing Penting Yakin, dan Mbuh Piye Carane
Masuk Rumah Sakit Gara-Gara Jengkol
Hari itu boleh jadi merupakan hari yang sangat menyenangkan. Saya pulang dari Semarang setelah mengisi semacam seminar kemahasiswaan yang diselenggarakan oleh Undip.
Dalam perjalanan balik ke Jogja, saya mampir sebentar ke Magelang, melepas kangen sama keluarga, dan mengambil pesanan saya: sayur jengkol.
Dari Magelang, saya membawa tiga plastik penuh sayur khuldi Jawa itu. Saya tak menyangka, jika sayur tersebut bakal menjadi awal rasa sakit yang teramat sangat.
Sampai Jogja, sayur itu langsung saya lahap dengan sangat dramatis. Nasinya setengah, dan jengkolnya full. Sangat kolosal. Lebih layak disebut jengkol lauk nasi, ketimbang sebaliknya.
Dan itu saya lakukan berkali-kali. Saya bahkan menyantapnya tanpa nasi, saya gado, saya titil-titil, sampai saya tak sadar sudah berapa jengkol yang saya santap.
Rasa sakit itu kemudian muncul sekitar pukul setengah tujuh malam saat saya akan menemui kawan lama saya di salah satu cafe. Saya mampir ke Alfamart sebentar untuk membeli permen relaxa. Maklum, bagi pemangsa jengkol, permen relaxa adalah salah satu obat utama untuk mengurangi “bau naga” yang timbul dari mulut.
Saat berdiri untuk antri di kasir, perut saya melilit luar biasa. Sakitnya setengah mati.
Saya mencoba untuk menahan rasa sakit tersebut, setidaknya selama saya harus ngobrol dengan kawan lama saya. Saya tak ingin menyambutnya dengan kondisi saya yang tampak sakit.
Saya dan kawan saya ngobrol sampai sekitar pukul setengah sepuluh.
Setelah kawan saya pulang, rasa sakit di perut semakin menjadi-jadi. Perut saya seperti diremas-remas. Saya berusaha untuk tidur agar sakitnya tak terasa, tapi saya gagal saking sakitnya.
Tengah malam, rasa sakit tersebut semakin menjadi-jadi. Ia seperti sedang mengejek saya. Saya pasrah. Saya menyerah. Saya kemudian menghubungi Kalis untuk mengantarkan saya ke rumah sakit.
Tengah malam, menggunakan Go-car, kami bertolak ke Sarjito.
“Sakit apa, Mas?” Tanya Driver Go-car
“Saya nggak tahu, Mas. Saya takutnya ini kena usus buntu…” jawab saya sambil terus menahan sakit.
Mobil kemudian melaju dengan kecepatan yang sangat Pantura. Si Driver mungkin sadar diri, bahwa ia sedang mengangkut makhluk lemah yang butuh mendapatkan penanganan dengan segera.
Rasa sakit mulai mengacaukan pikiran saya dan membuat saya melantur tak keruan.
“Lis, apa jangan-jangan aku mens, ya? Apa aku minum Kiranti saja?” Kata saya pada Kalis.
“Rasah aneh-aneh,” jawab Kalis.
Sekitar lima belas menit perjalanan, kami akhirnya sampai di Sarjito. Catatan cleansheet saya yang sejak kelas 2 SMP untuk tidak pernah masuk rumah sakit sebagai pasien akhirnya ternodai.
Di Sarjito, saya langsung diperiksa oleh dokter jaga, dugaan sementara, asam lambung saya naik. Ini lumayan aneh, sebab selama ini, saya memang tidak pernah punya riwayat buruk dengan lambung.
Saya kemudian diberi resep oleh dokter.
Seorang kawan SMA, sebut saja Kutul yang kebetulan jadi perawat jaga di Sarjito kemudian menghampiri saya.
“Kowe ki asline mung kurang mangan, Gus…” ujarnya sambil tertawa dan mengambil foto saya yang sedang tergolek lemah untuk kemudian ia posting di grup wasap SMA.
“Lambemu…” jawab saya sambil meringis.
Belakangan, baru diketahui bahwa ternyata sakit yang saya rasakan bukan karena usus buntu, asam lambung, atau kurang makan. Melainkan karena sebuah penyakit unik yang disebabkan oleh terlalu banyak makan jengkol: jengkolit, alias jengkolen.
Hal ini ketahuan setelah semua gejala yang saya rasakan cocok dengan gejala jengkolit: nyeri perut, muntah, pengeluaran urin sedikit dan terdapat titik-titik putih seperti tepung di ujung penis.
Ah, hidup memang “wolak-walik”. Rasanya baru kemarin saya dan kawan-kawan di komunitas KBEA menertawakan Kikik karena masuk klinik sebab babak bundas setelah menabrak motor orang yang parkir beli martabak, ealah, sekarang saya yang jadi bulan-bulanan karena masuk rumah sakit sebab overdosis jengkol.
Kecelakaan Memalukan
“Kikik Kecelakaan cedak Yonif 403. Barusan aku ditelpon”
Begitu pesan yang masuk di grup wasap KBEA menjelang jam 1 malam. Saya yang sudah bersiap-siap mancal kemul langsung gage mengambil motor dan menuju lokasi.
Sampai di lokasi kecelakaan, sudah ada beberapa orang yang berkerumun. Ada juga beberapa kawan seperti Nody, Mujib, juga Saddam. Kikik tergeletak pasrah. Ada darah tercecer lumayan banyak di dekat mulutnya. Wajah dan kakinya babak bundas.
Kami kemudian membagi tugas. Nody dan Mujib mengurus motor, sedangkan saya dan Saddam, dengan menumpang mobil milik salah satu orang yang kebetulan ada di situ, langsung membawa Kikik ke klinik.
Di Klinik, Kikik langsung ditangani oleh seorang dokter perempuan yang masih lumayan muda. Ia merawat Kikik selayaknya seorang dokter yang mengingat dengan baik sumpah dokternya.
Di ruangan perawatan, barulah saya dan Saddam tahu bahwa Kikik mengalami sobek bibir yang lumayan parah dan harus dijahit.
Namun, dasar Kikik bajingan. Ia tak mau dijahit.
“Nggak usah, Dok, ini nanti sembuh sendiri...” kata Kikik dengan nada suara yang memprihatinkan karena luka sobek di bibirnya.
Lebih bajingan lagi, sudah tahu sakit, ia masih saja kemaki. Ia memprotes si dokter saat mengoleskan semacam salep di sekitar lukanya.
“Kok pakai... (menyebut nama obat), Dok?” Kata Kikik nyolot.
“Ini sebagai antibiotik buat lukanya,” jawab si Dokter.
“Saya ini anak farmasi, Dok. Saya tahu obat mana yang seharusnya diberikan pada luka saya ini!”
Saya yang mengantarkan Kikik ke klinik jadi tak enak hati pada dokter yang merawat Kikik. Ingin sekali saya gampar bibir si Kikik sambil bilang “Kowe ki pancen cah farmasi, tapi Bu dokter’e iki cah kedokteran, Su!”
Adegan berikutnya, jauh lebih bajingan lagi. Si dokter kena damprat Kikik. Bahhkan sempat mendapat makian kasar dari Kikik.
Saya dan Saddam jadi tambah tidak enak hati.
“Mas, saya berkali-kali mendapat pasien anak muda, tapi kalau pasien yang satu ini, mulutnya kasar sekali. Saya nggak yakin ada dokter lain yang mau merawat pasien seperti ini...” ucap si Dokter pada saya dan Saddam.
Kami lantas tak henti-hentinya meminta maaf yang sebesar-besarnya atas ulah si Kikik.
“Kikik ki asu kok, lambene rusak, yo rusak dalam arti harfiah, maupun tidak...” kata saya sedikit berbisik pada Saddam.
Di ruangan lain, sembari menunggu obat disiapkan, saya kemudian tanya-tanya sama Saddam tentang kronologi kecelakaan yang baru saja menimpa Kikik. Dan penjelasan Saddam membuat saya ingin secepatnya menggampar Kikik.
Usut punya usut, ternyata Kikik pulang dalam keadaan agak mabuk. Dan ia menabrak motor yang sedang diparkir di pinggir jalan oleh pemiliknya yang sedang membeli martabak manis.
“Oalah, bajingan. Cah enom liyane berusaha menabrak penindasan dan kesewenang-wenangan, atau minimal nabrak aturan. Lha cah iki isone mung nabrak motor mandek.” maki saya.
Saddam merenges. Dari wajahnya, Tampak bahwa ia menyimpan rasa mangkel yang sama seperti saya pada Kikik.
“Lha nek sing ditabrak motor tentara Yonif, kuwi mending, Isih ketok nuansa wanine. Lha iki, sing ditabrak, motor’e uwong sing gek tuku martabak. Lak yo asu, tho?”