Tentu saja saya tak pernah menyangka jika saya akhirnya akan ikut-ikutan berinvestasi saham. Maklum saja, saya tipikal orang yang agak takut dengan dunia investasi berbasis digital. Dulu ketika booming kripto-kriptoan, ketika semua orang ngomongin kripto, sampai-sampai tebak-tebakan yang cukup populer saat itu adalah “Bandara, bandara apa yang bayarnya pake bitcoin? Bandara Adi Sukripto”, saya bahkan blas nggak tertarik untuk sekadar mencoba kripto.
Tapi ya gimana, satu per satu, kawan-kawan pada nyebur, saya akhirnya penasaran juga.
Pada mulanya adalah Prima Sulistya. Perempuan bergestur serupa Yayuk Basuki itu, pada satu ketika, pernah sangat gencar mempromosikan aplikasi Bibit pada saya dan kawan-kawan di Mojok. Kegetolannya mempromosikan aplikasi reksadana itu bahkan sudah berada di level yang jauh lebih militan dari seorang penjual tahu bulat.
Entah karena kekuatan cocot kencono seorang Prima Sulistya atau faktor yang lain, yang jelas, banyak anak-anak yang akhirnya mencoba aplikasi Bibit. Saya salah satunya. Itulah pertama kalinya saya mencoba reksadana.
Waktu kemudian membawa saya untuk mengikuti semacam kelas financial planning dari ZAP Finance. Ini kelas yang membuka mata saya tentang betapa pentingnya merencanakan dana masa depan melalui instrumen investasi.
Tentu saja saham menjadi instrumen yang cukup sering dibahas, sebab dari sekian banyak instrumen investasi, saham-lah yang punya potensi imbal balik yang paling besar.
Minat untuk belajar saham pun mulai muncul, namun saya belum berani masuk ke dunia saham, padahal saat itu, saya sudah punya rekening saham di Mirae Asset Sekuritas. Saya merasa masih belum punya cukup keberanian untuk membeli saham.
Dasar mujur, nasib baik kemudian mempertemukan saya dengan Purnomo Sony. Ia orang yang sudah cukup lama berinvestasi saham dan punya semacam kelas edukasi saham.
Kebetulan, ia dulu sangat suka baca blog saya, dan itu menjadi jalan bagi kami untuk bisa bertemu muka. Ndilalah, anaknya ternyata mondok di Pesantren Bumi Cendekia, satu pondok dengan keponakannya Kalis. Mangkanya, ketika ia berkenan mampir ke rumah saya di sela-sela jadwal tilik anaknya, saya langsung daftar ikut kelasnya dan minta dicicil diajari saat itu juga. Dan itu salah satu keputusan paling strategis yang pernah saya buat.
Dari lelaki yang murah senyum, bahkan cenderung prengas-prenges itulah, saya mendapatkan banyak ilmu saham. Ada beberapa metode analisis yang ia ajarkan agar saya bisa membeli saham yang baik dan tepat. Salah dua yang paling saya ingat adalah, belilah saham perusahaan yang sudah terbukti kuat dan sehat. Itu analisis sederhana, utamanya buat pemula yang belum terlalu bisa menganalisis secara mendalam.
Perusahaan yang kuat itu indikasinya adalah sudah terbukti mampu bertahan melalui krisis. Mangkanya, paling enak itu beli saham perusahaan yang sudah berdiri sebelum tahun 1998 dan terbukti survive sampai sekarang.
Sedangkan perusahaan yang sehat itu bisa dilihat dari rekam jejak keuangannya. Keuntungan perusahaannya cenderung stabil dari tahun ke tahun, sukur-sukur bisa memberikan deviden secara rutin.
Akhir bulan lalu, saya akhirnya kesampaian membeli saham pertama saya. Sudah barang tentu saya belum mahir-mahir amat bermain saham. Namun yang pasti, saya sekarang jadi punya hobi baru: mantengin aplikasi Neo Hots (aplikasi sahamnya Mirae Asset) dan aplikasi RTI Business buat “sok-sokan” melihat saham-saham yang potensial.
Kalau istri saya nanya, “Lagi buka apa sih, Mas?” saya sekarang bisa jawab nggleleng “Lagi nganalisis saham. Ingat, suamimu ini sekarang anak saham.”
Ia mungkin tak sadar, bahwa suaminya sekarang adalah investor. Sama seperti Sandiaga Uno atau Erick Thohir. Cuma beda di jumlah modal saja.
Mencoba Terjun ke Dunia Saham
Kali Kedua di Acara Bawaslu
Ini kali kedua dalam satu bulan terakhir saya mengisi di acaranya Bawaslu. Sebelumnya saya mengisi untuk Bawaslu RI, sedangkan kemarin, saya mengisi untuk Bawaslu Jateng.
Tentu saja rangkaian itu menjadi hal yang menyenangkan bagi saya pribadi. Maklum saja, saya bukan sosok yang sangat pemilu. Kalaupun ada sedikit gurat pemilu dalam wajah saya, itu semata karena tampang saya sangat cocok menjadi tukang pasang spanduk caleg atau penyalur uang serangan fajar.
Memang bapak saya langganan hansip TPS dan saya pernah menjadi saksi untuk salah satu partai, namun saya pikir, itu belum cukup untuk melegitimasi karier kepemiluan saya.
Untung saja, Bawaslu adalah lembaga yang pengertian. Mereka paham betul bahwa saya bukan sosok yang punya kapasitas untuk berbagi materi tentang pemilu, mangkanya, mereka selalu meminta saya untuk berbagi tentang hal yang saya merasa punya kepercayaan diri untuk menyampaikannya: konten media sosial.
Dalam acara kemarin, saya menyampaikan materi tentang strategi konten media sosial kepada anak-anak muda alumni sekolah kader pengawas partisipasif yang berasal dari berbagai daerah di Jawa Tengah.
Kata Mas Tsani, staf Bawaslu Jateng yang menghubungi saya, para peserta pelatihan inilah yang nantinya bakal diproyeksikan untuk ikut membagikan konten-konten edukasi seputar pemilu dan turut aktif memberikan laporan kepada kanal Bawaslu jika menemukan konten-konten menyesatkan tentang pemilu.
Mendengar penjelasan itu, terharu juga perasaan saya. Ternyata saya bisa juga ikut andil dalam usaha mewujudkan pemilu yang baik. Jiwa kemaki saya langsung membuncah.
Selesai acara, saya langsung meninggalkan Hotel Atria, tempat dilangsungkannya acara, dengan dada yang tegap. Tidak sabar saya ingin segera pulang ke rumah, lalu bertemu istri saya dan menceritakan kegiatan yang baru saja saya lalui. Dia pasti bangga, punya suami yang menjalankan peran sebagai sekrup demokrasi dengan penuh passion dan dedikasi.
Btw, tentu saja akan sangat bijak jika setelah ini, DKPP dan KPU juga ikut mengundang saya, sebab itu bukan saja akan menjadi upaya untuk menjaga stabilitas pemilu, namun juga menjaga stabilitas ekonomi rumah tangga saya. Yang mana keduanya saya kira sama-sama penting.
Mencintai Kekonyolan melalui PPSM Magelang
Saya tumbuh menjadi pendukung PPSM Magelang seperti layaknya orang yang beragama Islam karena kebetulan lahir dari orangtua yang juga beragama Islam. Tak ada proses pencarian diri atau pergolakan batin seperti yang dialami oleh orang Islam dari jalur mualaf.
Mendukung PPSM, tim sepakbola biasa dengan prestasi yang amat terseok-seok itu, menjadi sebuah keputusan karena saya lahir di kampung yang para lelaki dewasanya banyak yang menjadi pendukung PPSM. Sesepele itu.
Saat remaja, bersama kawan-kawan, saya cukup rajin menonton PPSM bertanding di Abu Bakrin. Kadang membeli tiket, kadang “mbludus” begitu saja.
Kalau PPSM kalah, saya akan pulang dengan perasaan yang biasa saja. Tidak ada kesedihan. Di dalam angkot, sepanjang perjalanan pulang, saya akan lebih banyak membicarakan keseruan saat menonton pertandingan, bukan hasil pertandingannya. Peduli setan dengan klasemen.
Sebaliknya, kalau PPSM menang, saya dan kawan-kawan akan ikut berpawai berkeliling kota sejenak. Merayakan kemenangan seolah-olah PPSM adalah hidup mati kami.
PPSM bukan tim yang bagus-bagus amat, ia tidak terlalu akrab dengan kemenangan. Memang ia pernah berada di masa yang cukup gemilang, namun itu hanya sesekali. Ia lebih sering mengisi papan tengah atau bawah. Maka, mendukung tim ini bagi saya adalah sesuatu yang agak konyol.
Namun, begitulah hidup, kita kadang perlu menyukai kekonyolan, lalu perlahan mencintainya.
Mendukung PPSM, dengan segala hasil buruk yang mereka dapat, tampaknya menjadi kebahagiaan tersendiri bagi saya.
PPSM tidak seperti Persib, PSIS, Persebaya, atau tim-tim besar lainnya yang punya sponsor berderet sehingga membuat jersey mereka selayaknya seragam pembalap F1. Namun, PPSM-lah tim sepakbola yang mewarnai masa kecil saya yang miskin dan muram. Ia turut membersamai kecintaan saya pada sepakbola.
Saya tidak ingin menjadi lelaki tak tahu diuntung yang tak kenal rasa terima kasih. Saya selalu ingin bisa merawat apa saja yang sudah saya miliki sejak kecil. Dan PPSM adalah salah satunya.
Sekali lagi, ini masih tetap menjadi rangkaian kekonyolan. Hari ini, besok, dan entah sampai kapan, saya masih akan terus mendukung tim kebanggaan yang pas-pasan ini. Dengan senang hati.