Lebaran tahun ini menjadi mudik pertama setelah pandemi sekaligus menjadi mudik pertama ke rumah mertua setelah saya menikah. Sebagai sebuah pengalaman pertama, tentu saja ada banyak kegagapan yang saya rasakan. Salah satu yang mungkin cukup mengagetkan adalah betapa banyaknya rombongan ujung (berkunjung) yang datang silih berganti ke rumah mertua saya, nyaris dari pagi sampai malam pada lebaran pertama dan kedua. Tak habis-habis.
Ada tiga alasan kenapa hal itu terjadi. Pertama, bapak mertua saya memang seorang modin kampung, sehingga banyak tetangga dan tokoh masyarakat yang sowan ke rumahnya. Kedua, nenek istri saya adalah orang tertua di kampungnya, usianya kini sudah 104 tahun, usia yang menjadikan dirinya jujugan bagi para warga untuk sowan dan meminta doa. Dan yang ketiga, Bapak dan ibu mertua saya punya saudara yang memang kelewat banyak jumlahnya. Kata Kalis, istri saya, hubungan saudara tersebut membengkak karena bapak dan ibunya doyan mengangkat orang lain yang bukan sedarah sebagai saudara.
“Dulu pernah ada pedagang mau pulang ke rumahnya, dia nunggu angkot tapi nggak dapat dan akhirnya kemalaman, ibu menawarinya menginap di rumahnya. Sejak saat itulah, mereka kemudian jadi saudara sampai sekarang,” terang Kalis.
Saya menyimak penjelasan itu dengan seksama.
“Ada juga tukang sapu yang bekerja di depan kantor PLN, kebetulan sering mampir ke warungnya ibu yang saat itu buka warung kelontong, eh diangkat saudara juga. Sampai sekarang masih sering ke sini tiap lebaran bawa hasil bumi dari kampungnya.”
Setidaknya ada beberapa nama saudara yang ketika saya tanyakan jalur kekeluargaannya kepada Kalis, ia cuma menjawab “Ya pokoknya sedulur.”
Namun, hal yang paling membuat saya benar-benar kaget tentu saja adalah nuansa emosional yang terasa sangat kental dalam momen saling bermaaf-maafan di lingkungan keluarga Kalis.
Saat istri saya sungkem kepada bapak dan ibunya meminta maaf, bapak dan ibu mertua saya menangis. Istri saya pun demikian. Hal yang sama terjadi saat saya meminta maaf, bapak dan ibu mertua saya menangis sesenggukan, padahal saya lempeng-lempeng saja.
Awalnya saya mengira, itu hanya terjadi karena Kalis dan saya adalah anak dan mantu. Namun dugaan saya salah. Hal tersebut kembali berulang saat bapak dan ibu mertua saya saling bermaaf-maafan dengan tetangga depan rumah. Tangis tetap pecah.
Momen itu kembali terulang saat bapak mertua saya berpelukan dengan saudara-saudara lelakinya. Bapak mertua saya menangis. Air mata tumpah begitu rupa. Singkatnya, bagi keluarga istri saya, momen lebaran adalah momen yang emosional dan sentimentil.
Melihat pemandangan itu, saya jadi merasa amat tidak berperasaan. Lha gimana, sepanjang saya hidup, saya nyaris tidak pernah sampai menangis saat meminta maaf kepada bapak dan ibu saya saat lebaran. Bapak dan ibu saya juga tak pernah menangis saat saya meminta maaf.
Saat mencium tangan bapak saya untuk meminta maaf pada momen lebaran tahun 2018 lalu, saya bahkan melakukannya dengan agak cengengesan. Dan gathelnya, bapak saya pun memberi saya maaf dengan cengengesan pula.
Saya pikir, saya dan bapak saya memang tidak didesain untuk mudah menangis dalam suasana haru, baik secara perasaan maupun secara penampilan. Saya merasa kami berdua jauh lebih mudah tertawa dan prengas-prenges alih-alih menumpahkan air mata.
Maka, tak berlebihan jika begitu melihat banyak sekali adegan sentimentil dalam momen saling meminta maaf di hari lebaran di rumah mertua saya itu, ada semacam gegar budaya yang timbul dalam diri saya. Nurani kemanusiaan saya seperti tertampar. Kok bisa ada orang yang tidak terharu dan tidak menangis dalam situasi yang sesentimentil itu?
“Ancen keluargamu ki unik og, Mas,” kata Kalis.
Saya sebenarnya bisa saja memberi pembelaan tentang hal itu dengan kutipan Pak Idrus Madani, Si Ketua RW Kampung Kincir di sinetron Para Pancari Tuhan itu: “Hidup itu saling memaafkan, bukan saling minta maaf.” Namun setelah saya pikir-pikir, saya memilih untuk tidak berkilah dan merenungi saja kejadian ini.
Lagipula, kalau dipikir-pikir, kelihatannya benar belaka apa yang dikatakan Kalis. Keluarga saya, utamanya saya dan bapak saya, memang unik. Urusan sensitivitas dalam keharuan di momen lebaran, harus diakui bahwa skor kami sangat buruk.
Dan setelah saya renungi jauh lebih dalam lagi, saya pikir hal itu memang harus terjadi. Itu semata demi kebaikan yang lebih tinggi.
Bapaknya Kalis yang mudah menangis dan terharu itu memang harus punya besan yang cengengesan seperti bapak saya. Bapaknya Kalis yang imam masjid dan seorang modin itu memang harus berbesan bapak saya yang langganan masbuk seperti muslim pada umumnya.
Juga Kalis yang sering menulis tema-tema berat (feminisme, gender, dan pemberdayaan perempuan) itu yang memang harus punya suami seperti saya, yang gemar menulis tema-tema receh yang tidak mencerdaskan kehidupan bangsa. Kalis yang berbakat mencari uang itu juga cocok sekali menikah dengan saya yang berbakat menghambur-hamburkan uang.
Singkat kata, kami keluarga yang saling melengkapi. Inilah pernikahan yang ideal, pernikahan yang bisa menciptakan keseimbangan kosmis.
Bayangkan jika bapaknya Kalis itu adalah sosok yang cengengesan dan selengekan seperti bapak saya, betapa akan kacaunya tatanan kehidupan ini.
Komunikasi antar mereka pastilah runyam dan susah untuk mufakat.
Saya membayangkan, ketika bapak saya memanggil bapaknya Kalis, “Pak Samuri,” niscaya bukan jawaban “Nggih” atau “Dalem” yang bakal didapat oleh bapak saya, melainkan “Cakeeeep.” Sebab apa pun yang keluar dari mulut bapak saya bakal terdengar sebagai pantun di telinga Pak Samuri.
Atau ketika bapaknya Kalis menanyakan kepada bapak saya, apakah anaknya benar-benar serius ingin menikahi Kalis, mungkin bapak saya akan menjawab, “Wah, Prei sik, Pak. Iki anakku wis kadung tak jodokke karo jaran kepang.”
Hae modyar akuuuu… Hae modyar akuuuu…
Menarik soal sedulur angkat ini 👍🍎
ReplyDeletePodo mas Agus, aku yo ra iso nangis pas lebaran
ReplyDeleteselamat hari raya idul fitri untuk mas Agus dan keluarga ya
ReplyDeleteNgakak pas baca, saya dan bapak saya didesain cengegesan wkwkwkkww
ReplyDeleteEnak ya hidup tanpa ada beban, isinya happy trus wkwkwkw
Keluarganya Mbak Kalis cukup berpengaruh ya mas di kampungnya. Banyak-banyak bersyukur mas agus xixi
ReplyDeletemohon maaf lahir dan batin..
ReplyDeletesuasana idul fitri sangat terasa sekali di keluarga kakak, jadi pengen kumpul dan bertemu sama ortu
ReplyDeletehahahaha gapernah ngga ketawa deh kalo denger ceritanya mas agus ini, pasti di rumah mertua juga banyak makanan khas lebaran ya mas yang bikin mas agus betahh
ReplyDelete