Hari ini, banyak dari kita turun ke jalan. Menyuarakan apa yang memang harus kita suarakan. Ketika aksi usai dan kita tiba di rumah setelah seharian berpanas-panasan dan berteriak di jalan, kita lantas dilanda heroisme sesaat, dan tak ada yang salah dengan hal itu. Merasa heroik atas sikap yang didasari oleh pengetahuan dan hati nurani adalah heroisme yang layak diberi ruang.
Setelah ini, kita mungkin akan kembali beraktivitas seperti biasa. Kita kembali belajar di kampus, kembali bekerja di kantor, kembali rebahan di kasur, kembali mabar di bangku-bangku kedai kopi bersama kawan-kawan.
Saya pun demikian. Besok saya akan kembali menjual buku di Akal Buku, kembali membuat konten-konten random untuk mempromosikan film Seni Memahami Kekasih, kembali mengemas dan menjual Kecap Mbah Joyo, kembali menggendong dan bermain dengan Raras anak saya, kembali melahap masakan istri tercinta, dan kembali terpaksa menonton emyu yang susah menang itu.
Perasaan yang paling penting bagi saya sejatinya adalah kelegaan karena saya ternyata masih berani untuk tidak diam. Masih berani untuk melawan walau harus beramai-ramai. Masih berani untuk menentukan sikap dan menyuarakannya. Dan itu lebih dari cukup.
Hari ini, sore ini, revisi UU Pilkada batal disahkan. Tentu saya lega dan bahagia, walau mungkin itu hanya "kemenangan" sementara. Namun andai pun hal itu tidak terjadi, saya pun tetap lega. Sejak awal, saya dan mungkin ribuan orang lainnya turun ke jalan memang untuk menunjukkan sikap melawan kami. Ada pun hasilnya, itu urusan Tuhan. Bahwa ternyata hasilnya sesuai dengan apa yang kami harapkan, itu adalah bonus.
Minggu depan, atau mungkin bulan depan, atau mungkin tahun depan, kita bisa saja harus turun lagi ke jalan. Dan tuntutan yang kita suarakan bisa saja tidak digubris dan menguap begitu saja. Dan itu biasa. Yang terpenting bagi kita adalah keberanian untuk tidak diam. Keberanian untuk melawan, dengan cara apa saja yang kita bisa.
Apakah kita sudah suci? Tentu saja tidak. Tapi bahwa kita bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang adil dan mana yang tidak, saya pikir kita mampu. Toh kita tidak goblok-goblok amat bukan?
Dan saya pikir kita harus sepakat, bahwa terhadap ketidakadilan, diam tentu saja bukanlah pilihan. Tetaplah melawan, tetaplah bersuara, bahkan walau hanya dari dalam hati yang paling redup.
Selemah-lemahnya iman.
0 komentar :
Post a Comment