Perdebatan yang riuh dalam beberapa hari terakhir terkait honor narasumber yang dipicu oleh postingan Pak Junayd ini tadinya saya pikir bakal mereda dalam beberapa hari saja, seperti yang sudah-sudah. Namun ternyata, kali ini saya salah. Hingga sore tadi, saya masih menemukan banyak akun yang mendebatkan soal honor narsum ini.
Sejujurnya, saya sangat paham gejolak yang terjadi pada diri Pak Junayd. Saya yakin, mengingat kapasitas akademiknya, ia mengira bakal mendapatkan honorarium yang jauh lebih besar dari 300 ribu. Sebaliknya, panitia pun mengira, 300 ribu adalah nominal yang pantas dan tidak akan dipermasalahkan oleh Pak Junayd. Sayang, perkiraan dua pihak ini sama-sama meleset alias njepat.
Saya menyimak perdebatan-perdebatan tentang honorarium Pak Junayd itu. Tak sedikit yang ngecengin Pak Junayd karena sejak awal terkesan tidak mau mematok tarif, tetapi di sisi lain, makin banyak orang yang paham bahwa menghonori seorang narasumber selevel Pak Junayd untuk mengisi acara dengan nominal “hanya” 300 ribu adalah hal yang kurang pantas.
Sebagai orang yang sering punya kepentingan dengan urusan honor narasumber, saya jelas senang dengan diskursus ini. Saya bahkan merasa, momentum ini seharusnya menjadi kesempatan yang pas bagi siapa saja untuk mulai menormalisasi dan mewajarkan seorang narasumber acara (di bidang keilmuan apa pun) untuk mematok tarif di awal. Tak bisa tidak, itu cara paling dasar untuk menghargai keilmuan.
Ini penting, sebab entah kenapa, selama ini, banyak yang menganggap bahwa mematok tarif itu seakan-akan adalah hal yang sangat terlarang dalam dunia keilmuan. Pemateri, narasumber, pembicara publik, bakul abab, atau apalah itu istilahnya, hanya dihormati secara keilmuan, tetapi tidak secara honorarium. Mereka seperti tidak pantas kalau memasang rate seperti seorang selebgram. Kalaupun punya rate, ratenya seolah tidak boleh tinggi, seolah-olah mereka harus terikat aturan “Kalau punya ilmu itu harus dibagi-bagi.”
Mangkanya, saya selalu senang kalau ada pemateri atau pembicara publik dengan bidang keilmuan tertentu berani dan percaya diri untuk mematok tarif yang layak untuk keilmuannya. Seharusnya memang begitu. Ini hal yang sudah dilakukan olah para stand up comedian yang berani mematok harga tinggi, sebab mereka paham value materi yang mereka tulis, bahkan walau mereka hanya tampil di atas panggung selama beberapa menit.
Saya jadi ingat dengan nasihat almarhum Cak Rusdi Mathari dulu, “Gus, kalau kamu diundang jadi pembicara, tidak usah takut buat pasang tarif, jangan bilang seikhlasnya, ilmu dan pengalamanmu itu mahal.” Saat itu, saya memang tidak punya rate khusus kalau diundang menjadi pemateri. Berapa saja yang diberikan oleh panitia, saya terima.
“Remy Sylado itu kalau mengisi kelas di perusahaan honornya bisa segini,” terang Cak Rusdi menyebut nominal honor Remy Sylado. Nominal yang tentu membuat saya terkagum-kagum. “Remy berani kasih harga segitu ya karena dia percaya diri dengan ilmu dan pengetahuan yang dia miliki.”
Nasihat itu baru saya amalkan sekitar setahun setelahnya. Saya mulai menyusun rate secara profesional, sedetail mungkin, saya bedakan berdasarkan siapa pengundangnya (Kampus atau perusahaan), waktu undangannya (weekend atau weekday), sampai tema materi yang harus saya sampaikan (menulis kreatif atau media sosial).
Mengundang narasumber untuk mengisi sebuah acara pada dasarnya adalah jual beli. Narasumber sah saja mematok tarif karena ia punya sesuatu yang memang bisa ia jual (popularitasnya, kapasitas keilmuannya, reputasinya, pengalamannya, jumlah followersnya, dll). Bahwa nanti rate-nya dianggap terlalu tinggi, ya itu urusan si pengundang. Kalau mau dan merasa worth it mengeluarkan uang sejumlah rate, monggo. Kalau tidak ya tidak mengapa. Mekanisme pasar saja. Yang penting kasih harga di awal.
Mungkin akan terjadi ketidaksepakatan, mungkin akan terjadi nyang-nyangan, tapi yang jelas, sama-sama enak dan tidak ada gerundelan di belakang.
Sejujurnya, keberanian untuk berani mematok tarif secara profesional bagi seorang narasumber ini memang makin terasa relevan. Alasannya menurut saya sederhana: makin banyak pembuat acara yang secara kemampuan finansial mampu membayar pemateri dengan honor yang sangat layak, tetapi makin banyak juga pengundang yang raja tega, terutama dari kelompok mahasiswa.
Saya pernah diundang untuk mengisi sesi sharing media sosial dengan honor tiga kali lipat dari rate normal saya. Namun, saya juga pernah mengisi talkshow dan mendapat honor 50 ribu. Literally 50 ribu. Nyel. Honor yang membuat saya tertawa setelah membuka amplopnya. Honor yang membuat saya sejenak mempertanyakan makna hidup sambil membatin “Iki tenanan???” Honor yang membuat saya merasa jauh lebih ikhlas seandainya tidak dibayar sekalian. Padahal, waktu itu, bukannya sombong (etapi ini memang sombong ding), saya sudah terkenal. Hahaha. Follower saya sudah banyak (Uhuk). Seingat saya, saya bahkan punya kolom sendiri di Kompas com dan Merdeka com saat itu.
Kali lain, saya pernah diminta untuk mengisi semacam pelatihan penulisan esai oleh salah satu UKM sebuah kampus di Jogja.
“Kalau boleh tahu, fee Mas Agus untuk bisa mengisi di acara kami di angka berapa ya?” tanya mahasiswa yang ditugasi untuk menghubungi saya.
“Kalian mahasiswa, pasti tidak punya banyak uang, kalian sebut saja, kalian maunya ngasih aku berapa?” saya bertanya balik.
“Kalau dari kami sih maunya gratis, Mas.”
Demi mendengar jawaban itu, dada saya serasa ada yang memukul sampai berbunyi “Duk!” Jawaban itu membuat saya hanya bisa membatin pelan: “Ancen mahasiswa gatheeel!”
Nah, selain pengundang yang rese, salah satu alasan lain perlunya mematok tarif honor sejelas mungkin di awal adalah kehadiran narasumber lain yang kadang lebih rese dari pengundangnya.
Ini saya alami sendiri. Dalam kasus saya, narasumber lain yang rese itu bernama Sirajudin Hasbi, kawan saya satu kantor.
Saat itu, saya diundang menjadi narasumber di acara kampus, berduet dengan Hasbi. Saya diminta mengisi kelas menulis esai populer, sementara Hasbi yang saat itu mengelola sebuah media sepakbola, diminta mengisi kelas menulis sepakbola.
“Mas Agus minta honor berapa?” tanya panitia.
Saya jawab pendek, “Samakan saja dengan honornya Hasbi.”
“Baik, Mas.”
Dan keparat, belakangan baru saya tahu, ternyata Hasbi tidak mau dibayar.
Sonteeee. Hae modyar aku… hae modyar aku…

0 komentar :
Post a Comment