Beberapa waktu yang lalu, saya diundang sebagai pembicara di acara talkshow yang diselenggarakan oleh forum diskusi kampus di salah satu Universitas di Yogyakarta. Saya diminta untuk membawakan materi tentang sesuatu yang sebenarnya saya kurang menguasai.
Saya sih maklum, soalnya saya sadar, saya memang biasa diundang bukan karena faktor derajat keilmuan, melainkan karena saya dianggap lucu.
Ini wajar, karena dalam sebuah talkshow, selama pembicaranya lucu, audien biasanya akan tetap khusyuk mengikuti talkshow, seburuk apapun materi yang disampaikan.
Mungkin saya memang sudah dikenal sebagai pembicara yang goblok, tapi rodo lucu (yang di jaman sekarang semakin susah dicari, hehehe).
Padahal saya sendiri sih sebenarnya merasa ndak lucu-lucu amat (kalau elegan sih iya). Kalaupun di blog saya ini ndilalah banyak postingan lucu, itu sebenarnya yang lucu temen-temen dan keluarga saya (yang kisahnya saya tulis di blog).
Tapi tak apa lah, sudah kadung ini.
Maka, sebagai pembicara yang diharapkan "kelucuannya" (bukan keilmuannya), pas talkshow, saya pun berusaha membawakan materi dengan se-jenaka mungkin dan penuh semangat (terlebih setelah tahu ternyata audien-nya cantik-cantik). Saya bahkan sengaja banyak menggunakan bahasa jawa untuk menambah nuansa kejenakaan lokal. Harapannya satu, agar audien setidaknya bisa mudeng sedikit materi yang saya sampaikan, dan tetap terhibur dengan guyon yang saya bawakan.
Beberapa kali saya menyisipkan cerita tentang kawan-kawan saya yang saya anggap lucu.
Namun ternyata, krik-krik. Banyak audien yang terdiam, tak banyak yang tertawa.
Saja jadi salah tingkah dan penuh tanya. "Perasaan, saya sudah mencoba membawakan materi dengan sense of humor yang cukup berkelas, tapi kok sedikit ya yang tertawa?"
Batin saya mulai berkecamuk. Apakah saya salah dalam membawakan materi? atau memang humor yang saya bawakan materinya cukup jayus? Ah, perasaan ndak deh. Soalnya beberapa materi humor yang saya bawakan, pernah saya bawakan juga acara talkshow saya yang lain, dan hasilnya audien tertawa tergelak.
Apa yang salah ya? Saya kok merasa jadi garing begini.
Kondisi yang penuh kegaringan ini pun kemudian membuat tenggorokan saya kering. Dan saya pun meminta air pada panitia.
"Mbak, aku njaluk wedange yo, ngelak je, cangkemku garing iki!"
Si mbak Panitia pun hanya mengerutkan dahinya dengan wajah penuh tanya. Saya mencoba menebak, apa yang terjadi, dan sekelebat, saya baru menyadari, si mbak panitia ternyata ndak mudeng bahasa Jawa.
Bagai disambar geledek, saya kemudian tersadar pada sesuatu yang lain.
"Disini siapa yang bisa bahasa Jawa?" tanya saya pada audien.
Dan dari sekitar 50 audien, Tak sampai 10 orang yang mengangkat tangan.
Semprul...
Kini terjawab sudah pertanyaan saya. Pantes saja ndak ada yang tertawa dengan materi saya, lha jebul banyak yang ndak bisa bahasa jawa.
Cuuuk, Tiwas cangkemku ngasi mumpluk le ngomong je. Trembelane...
Agaknya Sun Tzu memang benar, bahwa senjata terbaik dalam sebuah perang adalah "pemahaman yang mendalam tentang musuh"
Numpang ngguyu oleh toh, Gus?
ReplyDeletelha gek numpang ngising we oleh kok... hahaha
DeleteMoh, ndak akeh seng nonton haaaa
Deletengguyu karo ngising kuwi butuh diguyang,,,,,
Deletelahdalah....jorok amat. cebok kagak tu ?????
Deletecoba pakai bahasa tubuh gus
ReplyDeletewah, ojo, engko malah menggeliat koyo cacing
Deletesetubuh atau bahasa tubuh ???
Deletehehehehe keluar bahasanya cuk..... semangat Gus Mul !!!!
ReplyDeletehahahaha.... pokoke matoh mas...
DeleteKalo saya yang jadi audien, Mas Agus baru satu langkah menginjak panggung saja saya udah ketawa....
ReplyDelete#iki dudu nglegani lho, serius...hahaha
* salam kenal Mas Agus
Hehe, sayangnya tidak semua audien saya seperti mbak, hehehe
DeleteWahahahaha. Sampeyan polos.
ReplyDeleteHahahaha, polos, padakke CIU wae...
DeleteSaya termasuk yang ga bisa bahasa jawa nih. Padahal muka saya udah kejawa-jawaan. :-/
ReplyDeletewelha, lha sampeyan ini orang mana tho aslinya mbakyu?
DeleteHahahaha ngelek aku kang...ra ono sing nandingi
ReplyDeletehahahaha... mosok?
DeleteJhahaha..., jebul banyak yang nggak bisa bahasa Jawa. Jadi garing, tapi ceritanya nggak garing kok.
ReplyDeleteHahahaha, ndilalah.. makanya sekarang kalau ada event, saya pilih-pilih dulu audiennya... hehehe
DeleteRa popo mas artis meniti karir yo ngunu kui
ReplyDeleteSing penting wes ono usaha mas, meskipun audien mu ora paham opo sing kok omongne. Sek, tak ngekek dilut ae. Hahahaha...
ReplyDeleteHahahaha ngelek aku kang...ra ono sing nandingi
ReplyDeleteAku melas
ReplyDeleteBagiku, lucunya Mas Agus ini ndak biasa, postingannya selalu mengikuti perkembangan berita dengan bahasa sendiri
DeleteOwalah pancen koe gue, jawane kentel koyo anunr. Hee
ReplyDeletepodo karo "wes macak gak sido berangkat karnaval" cek melas men awakmu gus
ReplyDeletewkwkwkwkwkwk. ora popo mas. sing uwis yo uwis
ReplyDeletebuat pelajaran nanti jika diundang lagi.
DeleteDi jogja tidak bisa bahasa jawa , ini yang sekolah orang jogja atau orang luar jawa ???
ReplyDeletedi kalimantan juga banyak org jawa yg gak bisa bahasa dayak atau banjar.. pdhal sdh bertahun2 hidup disana... jadi biasa aja toh... : )
Deletelebih aneh lagi justru orang lokal yang tidak mau kuliah di kotanya, hayo gimana ini ? :)
DeleteApa sampeyan gak tanya dulu ke panitia audiensnya berapa prosen wong jawa? Jadi sebelum tampil kan udah tau komposisi materinya apa harus banyak bahasa jawa apa gak. Yo wis kejadian gimana lagi tho... Lain kali kudu pelajari audien mas yo.
ReplyDeleteNdilalah ndak mas, lha saya kira banyak yg bisa bahasa jawa je...
DeleteAtau bintang tamunya pendidikannya lebih tinggi sehingga tidak bisa bahasa nasional :)
ReplyDeletehahahah koplak sampean gus
ReplyDelete"Cuuuk, Tiwas cangkemku ngasi mumpluk le ngomong je. Trembelane..."
ReplyDeleteDyar cocote! Hahaahaha... (guyon kang)