Sebelum menjadi seorang blogger yang rutin menulis di blog, saya hampir tak pernah bepergian jauh, kalaupun pernah, itu mentok untuk menghadiri acara hajatan nikahan sodara atau urusan pekerjaan. Namun, begitu menjadi blogger yang, ehem, lumayan tenar, saya jadi lebih sering bepergian ke luar kota. Entah diundang sebagai pembicara, menghadiri acara launching produk, ataupun bervakansi sendiri sebagai bagian dari gaya hidup. Bwahaha.
Sejak jadi blogger, jangkauan langkah kaki saya jadi lebih lebar. Mulai dari Palembang, Jawa, Bali, sampai Nusa Tenggara pernah saya sambangi sebagai bagian dari aktivitas saya sebagai blogger.
Walau saya bukan seorang travel blogger, namun dari berbagai pengalaman perjalanan tadi yang pernah saya lakukan, saya sedikit banyak jadi tahu, bagaimana mempersiapkan sebuah perjalanan agar menjadi perjalanan yang baik dan benar.
Nah, oleh sebab itu, bukannya saya bermaksud menggurui, tapi sekali-kali, bolehlah saya menulis soal tips-tips seputar perjalanan di blog saya ini. Yah, kali aja ada agen travel yang nanti mau ngendorse. Boleh ya? Boleh ya? Boleh deh.
Oke, Sesuai judulnya, dalam tulisan kali ini, saya ingin berbagi soal beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum bepergian. Silakan dibaca pelan-pelan, kali saja berguna untuk sampeyan atau keluarga sampeyan yang mau bepergian.
Perlengkapan
Jangan pernah menyepelekan perlengkapan perjalanan jika anda bepergian jauh, baik bepergian untuk urusan bisnis, maupun bepergian untuk keperluan traveling. Ia mutlak menjadi prioritas. Mulai dari pakaian, gadget, dokumen penting, obat-obatan, sampai cemilan yang mungkin nantinya dibutuhkan selama di perjalanan.
Tak lupa juga keperluan tambahan yang sifatnya tidak pokok namun cukup penting untuk menunjang kenyamanan perjalanan, yang mana masing-masing orang punya keperluannya sendiri-sendiri. Misal, seseorang yang hobi mendengarkan musik, tentu jangan lupa membawa headset. Yang hobi nggambar jangan lupa bawa sketchbook, atau yang suka ngaji, jangan lupa bawa Quran atau iqro jilid 1-6. Pokoknya masing-masing orang punya kebutuhannya sendiri-sendiri, tergantung kepribadian atau tujuan perjalanannya.
Kalau saya sendiri, biasanya tak pernah lupa membawa kamera atau minimal ponsel sebagai penggantinya, sebab sebagai seorang blogger, banyak postingan-postingan blog saya yang saya dapat dari hasil foto selama bepergian ke luar kota. Postingan tentang Kereta Sancaka Malam ini, misalnya.
Postingan yang cukup banyak dibaca di blog saya ini saya tulis setelah saya memfoto seorang bapak dan istrinya yang rela berdiri sepanjang perjalanan kereta agar anaknya bisa tidur dengan nyenyak dengan posisi yang nyaman.
Uang saku yang cukup
Oke, ini mungkin agak materialistis, tapi pengalaman saya membuktikan, uang saku bukan hal yang sepele. Ia harus dipersiapkan dengan begitu rapi. Saya selalu punya prinsip, bawalah uang saku dengan jumlah yang cukup, sekali lagi, cukup, tak harus banyak, tapi cukup. Cukup dalam artian bisa buat jalan-jalan dengan aman dan nyaman tanpa harus merasa kelaparan, bisa buat pegangan selama perjalanan, dan yang pasti, bisa buat beli oleh-oleh walau tak banyak untuk keluarga dan orang-orang terkasih di rumah.
Tentu sayang rasanya jika bervakansi ke daerah yang sangat wisata-able, oleh-oleh-able, tapi duit yang dibawa ternyata tak cukup untuk memenuhi hasrat belanja yang tentu saja tak pernah bisa reda. Sejak dulu, begitulah manusia.
Saya jadi teringat pengalaman saya sewaktu piknik ke Bali, beberapa tahun yang lalu. Waktu itu, saya nekat ikut piknik sebab temen-teman sedang mengadakan acara piknik ke Bali, biaya dan akomodasinya cukup murah, sebab memang bareng-bareng, piknik tiga hari dua malam waktu itu habis ndak sampai satu juta.
Namanya juga nekat, uang saya yang saya punya pun juga uang saku cap nekat. Lha betapa tidak, selama piknik itu, saya cuma bawa uang saku dua ratus ribuan.
Dengan uang saku segitu, masih cukup kalau sekadar buat makan. Tapi kalau sudah urusan oleh-oleh, tentu yang ada cuma makan hati melulu. Lha bayangkan, dengan uang saku segitu, ealah, teman-teman saya kok ya tega buat berkunjung ke Joger, tempat oleh-oleh Bali yang begitu kondang kaloka itu.
Lha di Joger itu, harga satu kaos itu bisa lebih dari seratus ribu je. Maka, dengan uang saku yang hanya dua ratus ribuan itu (itupun sudah berkurang buat beli makan dan minum), saya cuma bisa nglangut dan ndomblong melihat kawan-kawan saya asyik memilih oleh-oleh.
Pada akhirnya, di Joger, saya cuma beli centong nasi. Ya, centong nasi. Ini bukannya mau sok artsy atau gimana, tapi memang uang saku saya yang cuma segitu hanya memungkinkan buat beli centong nasi. Ndak cukup buat beli kaos yang harganya ngaudubillah setan itu.
Duh Gusti, jauh-jauh ke Bali, lha kok cuma buat beli centong nasi. Entah, ini mengagumkan atau malah menyedihkan.
Akomodasi (transportasi dan penginapan).
Ini salah satu hal yang paling penting jika anda bepergian. Akomodasi. Saya berani menulis bab ini sebab saya pernah punya pengalaman yang buruk yang disebabkan karena tidak mempersiapkan akomodasi saat bepergian ini.
Pengalaman buruk ini saya alami beberapa waktu yang lalu. Kala itu, saya sempat menang lomba blog yang diadakan oleh salah satu perusahaan BUMN di Jakarta dan berhak atas hadiah uang tunai beberapa juta rupiah (uhuk, sengaja nggak saya tulis nominalnya, takut sampeyan keselek atau syok).
Usut punya usut, pengambilan hadiahnya ternyata tidak bisa ditransfer atau diwakilkan, saya harus datang langsung ke Jakarta. Akhirnya, demi mendapatkan uang yang jutaan rupiah itu, saya pun bertolak ke Jakarta. Saya blas tidak mempersiapkan akomodasi, sebab yang ada di kepala saya cuma gimana caranya datang ke Jakarta, dapat duit, trus pulang. Urusan mau tidur di mana, saya tidak terlalu mikir, sebab, sebagai cah Jogja yang kaffah, saya sudah terbiasa untuk tidur darurat di warnet.
Ealah, ternyata skenario tak sesuai yang saya harapkan. Venue acara penyerahan hadiahnya di Hotel Le Meridien di bilangan jalan Sudirman, dan di sekitaran sana, ternyata blas saya ndak nemu warnet. Modiaaaar. Mau menginap di Hotel, tapi hotel di sekitaran sana mahal semua, rata-rata hotel mewah.
Bingung, saya lalu menuju ke stasiun gambir dan tidur di musholanya. Pukul sembilan malam, saya dibangunkan, sebab katanya, musholanya tidak boleh buat tidur.
Pada akhirnya, saya tidur di bangku taman di pelataran monas. Berbantal tas berselimut sarung yang sengaja saya buat sholat. Benar-benar seperti gelandangan. Padahal saya ke Jakarta untuk mengambil duit yang nilainya jutaan rupiah. Bedebah betul.
Nah, pengalaman pahit inilah yang kemudian membuat saya kemudian selalu mempersiapkan akomodasi setiap kali saya bepergian jauh. Ya mempersiapkan pemesanan tiket kereta atau pesawat, sampai mempersiapkan hotel tempat saya harus menginap. Sebab dengan mempersiapkan akomodasi transportasi dan penginapan sebelum berangkat, perjalanan akan menjadi lebih tenang dan tidak grusa-grusu.
Mempersiapkan akomodasi toh sekarang juga bukan hal yang susah, apalagi di jaman yang sudah canggih seperti sekarang ini, banyak penyedia-penyedia layanan travel agen atau situs booking tiket yang memungkinkan kita untuk memesan tiket pesawat dan booking hotel. Tak jarang malah ada yang menyediakan paket tiket pesawat dan hotel sekaligus.
Kalau di Traveloka (karena kebetulan saya pakai traveloka), ada yang namanya Paket Hotel dan Tiket Pesawat. Paket ini memungkinkan sampeyan untuk memesan tiket pesawat pulang pergi beserta hotelnya dalam satu paket. Dengan paket ini, pemesanan hotel dan tiket pesawat bisa dilakukan dengan lebih simpel dan praktis, sebab tidak perlu melakukan pemesanan terpisah hotel sendiri dan pesawat sendiri.
Paket Hotel dan Peswat ini selain lebih simpel dan praktis, juga lebih murah dan hemat. Sebab harganya lebih murah 30-40 persen ketimbang pemesanan secara reguler.
Kalau ndilalah sampeyan pakai Traveloka, sampeyan bisa coba sesekali pakai paket ini saat traveling atau saat bepergian ke luar kota.
Kebugaran Fisik.
Ini mungkin sangat klise, tapi begitulanya nyatanya. Walau saya tempatkan di poin akhir, namun sejatinya justru fisik inilah hal yang paling penting.
Mau bawa cemilan serenyah dan sebanyak apapun, ditemani oleh pacar yang cantiknya ngedap-edapi, dan dengan pesawat kelas paling bagus sekalipun, jika tubuh kita tidak sehat, masuk angin, pilek, atau nggregesi, maka perjalanan sampeyan bakal terasa tidak menyenangkan.
Karenanya, penting untuk senantiasa menjaga kesehatan tubuh agar tetap fit sebelum bepergian, terutama traveling. Jangan lupa untuk istirahat teratur, perbanyak minum air putih, dan jangan melakukan aktivitas-aktivitas yang terlalu menguras fisik. Pastikan tubuh dalam kondisi sehat dan bugar saat dan selama perjalanan.
Hal ini terlihat begitu sepele, namun jika tidak diperhatikan dengan serius, ia bisa menjadi penghambat kesenangan bepergian atau traveling kita.
Pernah dulu saya saat traveling ke Bali, sehari sebelum keberangkatan, saya nekat bermain sepak-bola sambil hujan-hujanan. Dan petaka itu toh datang juga. Malamnya saya demam dan pilek. Padahal paginya sudah harus berangkat.
Jadilah selama perjalanan, saya hanya bisa duduk krukupan dan tertidur pulas. Padahal, pemandangan sepanjang perjalanan aduhai indahnya dan sangat sayang jika dilewatkan. Sebagai penganut mahdzab “journey is better than destination”, sungguh saya merasa murtad karena gagal menghayati perjalanan.
Beberapa Hal yang Sebaiknya Anda Perhatikan Sebelum Bepergian
Yang Mahasiswa Belum Tentu Lebih Mampu dari Anak SMA
Afi Nihaya Faradisa, siswi SMA asal Banyuwangi yang sering menulis soal toleransi dan keberagaman boleh jadi sekarang adalah salah satu siswi SMA paling terpopuler di Indonesia. Siapa yang tak kenal dia sekarang? Tulisannya yang berjudul Warisan, yang membuat banyak orang memuji sekaligus mencaci itu, sukses menjadi “roket” paling ampuh untuk mengerek namanya.
Pagi ini, Afi diundang menjadi pembicara di acara bertajuk Talkshow Kebangsaan yang digelar oleh FISIPOL UGM.
Dan sama seperti tulisannya yang mengundang perdebatan, acara talkshow-nya di UGM ini pun tak kalah mengundang perdebatan. Talkshow-nya dikritik oleh banyak orang, dan sebagian kritikannya sempat mampir juga di temlen sehingga saya bisa ikutan baca.
Katanya, Afi belum pantas mengisi forum di perguruan tinggi apalagi sekelas UGM. Katanya, keilmuan Afi belum matang. Katanya, dunia sudah terbalik karena harusnya mahasiswa-mahasiswa UGM yang justru jadi pembicara di SMA. Katanya, ini bukan Talkshow Kebangsaan, tapi Talkshow Kebangsa(t)an, katanya, katanya, dan masih banyak lagi katanya.
Jujur, saya hampir tidak pernah peduli dengan tulisan-tulisan Afi, sebab saya memang hampir tak pernah membaca tulisan-tulisan Afi. Tapi saat membaca komentar-komentar bernada merendahkan Afi yang berbicara di UGM, hanya karena dia anak SMA (eh, sudah lulus ding), rasanya saya kok ya kesel juga. Soalnya, saya jadi merasa seperti ada ruang-ruang keilmuan yang dibatasi oleh jenjang-jenjang pendidikan. Bahwa yang boleh memberi materi untuk mahasiswa harus yang lebih tinggi dari mahasiswa.
Lha kan bedebah.
Saya beberapa kali menjadi pemateri di UGM, baik secara personal maupun sebagai perwakilan dari Mojok. Dan saya selalu merasa mampu, walaupun saya hanya lulusan SMA. Saya tidak segan menonjok atau bahkan menggigit mereka yang sampai berani bilang kalau saya tidak layak dan tidak pantas bicara di depan mahasiswa hanya karena saya cuma lulusan SMA.
Enak saja. Memangnya yang mahasiswa selalu lebih pintar dan lebih mampu dari yang SMA, apa? Hambok plis…
Wong ya banyak kok mahasiswa yang kalau turun KKN di desa itu blas tidak bisa apa-apa. Jangankan memberdayakan masyarakat, atau membikin program-program pembangunan desa, mereka mentok cuma bisa bikin plang dan papan penunjuk balai desa atau papan 10 program pokok PKK. Itupun kadang masih sering bayar orang.
Eh, btw, Menteri Kelautan dan Perikanan kita itu lulusan SMP lho. Dan kelihatannya belum pernah ikut KKN.
Yang Lebih Buruk Ketimbang Diajari Tahayul
Sewaktu kecil, setiap kali saya jatuh, entah jatuh saat berlari atau jatuh dari sepeda, bapak saya selalu mengajari saya sebuah mantra penyembuhan yang kata bapak saya, kalau telapak tangan saya dibacakan mantra tersebut dan kemudian ditempelkan ke bagian tubuh yang luka karena jatuh, niscaya luka tersebut akan sembuh.
Begini mantranya "Pu jopa japu, tai asu abang biru, ndang mario,"
Mantra tahayul itu memang kemudian tidak menyembuhkan luka saya seketika, tapi waktu itu, entah kenapa, setelah dibacakan mantra tersebut, saya merasa ia punya efek yang bagus. Padahal mah, dibacakan mantra atau tidak, luka lecet karena jatuh lama-lama bakal sembuh dan kering juga.
Hal bodoh yang tujuannya untuk menenangkan anak yang menangis karena kesakitan sebab terjatuh. Ini tak jauh beda dengan orang tua yang pura-pura memukul meja karena anaknya jatuh tersandung kaki meja. "Mejanya nakal ya, nak, biar emak pukul ya,"
Setelah dewasa, baru saya sadar, bahwa melalui mantra tersebut, saya ternyata sudah diajari tahayul sejak kecil, oleh bapak saya sendiri pula.
Setelah tahu apa ancaman dosa tahayul, tentu saja saya kemudian menyayangkan apa yang sudah dilakukan oleh bapak saya dahulu.
Kemarin, saya menonton video tentang anak-anak yang dengan entengnya meneriakkan "bunuh, bunuh, bunuh si ahok, bunuh si Ahok sekarang juga" saat berpawai obor. Entah kenapa, setelah menonton video tersebut, saya jadi merasa, apa yang dilakukan oleh bapak saya dulu ternyata tidak ada apa-apanya. Sebab, banyak orang tua yang mengajari anak-anak lebih buruk dari pada apa yang diajarkan oleh bapak saya kepada saya
Mengajari untuk membunuh.
Pelet dan Kacamata
“Mas, Kamu ini pakai pelet, ya?” tanya Kalis mendadak saat kami menunggu pesanan makanan di warung penyetan langganan kami.
Entah kenapa, ditanya begitu, saya rasanya kok ya seneng tapi juga jengkel. Seneng karena itu sebagai bentuk pengakuan kalau dia memang suka sama saya. Jengkel sebab itu sekaligus juga bentuk keraguan atas “kelelakian” saya.
Sebagai mantan redaktur yang selalu dilatih untuk lebih banyak menyerang ketimbang bertahan, saya reflek menangkis dan membalikkan pertanyaan dia.
“Jangan-jangan malah kamu yang pakai pelet?”
Dia tergeragap. “Eh, enggak yo, pasti kamu yang pakai pelet, nyatanya, di matamu, aku tetap terlihat sebagai wanita yang jelek tho? Sebaliknya, di mataku, kamu itu cakep, mas”
“Kalau begitu, berarti bukan perkara pakai pelet atau tidak, tapi memang matamu yang bermasalah,”
“Ehmm, iya kali ya, soalnya sudah hampir dua tahun aku nggak ganti kacamata, mas.”
Modiaaaar. Saya jadi bingung, harus mbelikan Kalis kacamata atau tidak.
Sekadar Menginap di Hotel
Sejak jadi penulis dan blogger yang lumayan tenar (uhuk), boleh dibilang kehidupan saya mengalami banyak perubahan. Mulai dari pendapatan (yang mana dulu murni dari gaji jaga warnet, sedangkan sekarang dari honor nulis dan royalti buku), gaya nongkrong (sejak jadi penulis, saya sekarang sudah mulai berani dan nggak malu lagi masuk ke Dunkin Donuts), pergaulan (alhamdulillah, sejak jadi penulis, saya mulai kenal banyak tokoh-tokoh beken, dan sudah berani mensen-mensenan segala), sampai gaya hidup (dulu hape cukup bisa buat sms sama buat mp3, sekarang minimal harus yang bisa buat video call, kan sudah punya pacar, bwahaha)
*Duh Gusti… sejak jadi penulis kok saya jadi kemaki begini ya?*
Nah, dari sekian banyak perubahan yang terjadi pada saya (terutama gaya hidup) sejak jadi penulis, satu yang sering jarang saya sadari tetapi punya kesan perubahan yang sangat mendalam bagi saya adalah perkara hotel. Sumpah, saya kok ya baru ngeh soal hal ini.
Jadi begini, sejak dahulu, saya itu selalu menganggap hotel sebagai tempat yang teramat keramat. Keramat bukan karena ia seram, tapi karena ia hampir tak pernah tersentuh oleh akal dan kocek saya. Lha betapa tidak, lha wong harga sewa hotel satu malam itu bisa setara dengan ongkos ngekos saya satu bulan lamanya. Mangkanya, saya selalu tak pernah terpikir buat nginep barang semalam saja di tempat yang namanya hotel. Yah, lagipula, wajah saya ini kelihatannya kok ya sangat tidak hotel-able.
Ealah, ndilalah kok ya nasib baik memayungi saya. Kelak, saya ternyata punya banyak kesempatan, dan bahkan boleh dibilang malah hobi nginep di hotel.
Dulu, sejarahnya saya nginep di hotel itu ya cuma pas piknik jaman SMP atau SMA (yang mana bukan merupakan piknik untuk senang-senang, melainkan untuk syarat mengikuti ujian nasional. Bedebah sekali, bahkan saat piknik pun saya masih harus mikir pendidikan), itupun hotelnya satu kamar ditempatin lima orang (yakali piknik sekolah satu kamar satu orang).
Praktis, sebelum saya jadi penulis, saya cuma pernah nginep di hotel dua kali. Pertama ya pas piknik SMP, yang kedua pas piknik SMA.
Sejak jadi penulis, saya jadi sering diundang jadi pembicara atau pengisi acara diskusi di berbagai daerah. Nah, hal inilah yang kemudian menjadikan saya mulai banyak menginap di hotel. Biasanya sama panitia sudah dicarikan hotel, namun tak jarang, saya yang meminta panitia agar saya diperbolehkan mencari hotel sendiri.
Pengetahuan saya soal perhotelan pun maju pesat. Dulu saya blas nggak paham kalau angka pertama pada nomor kamar itu sekaligus merupakan nomor lantai, Alhamdulillah sekarang sudah ngeh. Dulu saya blas nggak berani naik lift hotel dan lebih memilih naik tangga, sehingga kalau nginep di hotel, saya selalu memilih hotel yang nggak ada lift-nya, Alhamdulillah, sekarang, nginep di hotel berbintang dan mau kekaring di rooftop pun, ayo, saya jabanin. Dulu saya blas nggak ngerti kalau ternyata biar lampu hidup, kunci kartu harus dimasukin ke cardholder yang biasanya ada di bagian dekat pintu, Alhamdulillah, sekarang sudah paham nglothok dan nggak ngisin-isini.
Perbedaan lain yang cukup mencolok bagi saya perihal perhotelan ini salah satunya adalah, dulu saya ngerasain nginep hotel mentok karena memang sudah dipesenin, maka sekarang saya sudah berani booking hotel sendiri. Ha sudah jadi penulis dan blogger yang lumayan tenar je. Bwahaha
*Duh Gusti, hamba kemaki lagi*
Saya jadi ingat pertama kali mesen hotel secara langsung, saya lupa kapan, tapi yang jelas, waktu itu hotelnya di Jogja. Kala itu saya habis pulang dari acara di Palembang untuk meliput event di sana. Kala itu ceritanya saya sampai di Jogja sudah hampir tengah malam dan terpaksa harus nginep di Hotel karena bus Damri terakhir hari itu sudah berangkat dua jam sebelumnya, sehingga mau tak mau, saya tak bisa pulang ke Magelang dan harus nginep satu malam di Jogja.
Namanya juga pertama kali pesen hotel, sudah pasti saya agak kikuk dan wagu. Walau begitu, saya tentu bersikap sok cool, macak selow, sambil sesekali sok-sokan nanya tempat wisata biar dikira turis, biar mbak resepsionisnya juga mengira kalau saya sudah terbiasa mesen hotel. Padahal itu pertama kalinya saya pesen hotel secara langsung. Sungguh, itu momen di mana saya merasa sangat trenyuh, saya merasa keberanian saya pesen hotel kala itu sebagai sebuah prestasi tersendiri. Debut inilah yang kemudian membuat saya jadi tidak kikuk lagi kalau mau pesen hotel.
Kelak, ketika saya semakin sering diundang menjadi pembicara (uhuk), saya pun semakin sering memesan hotel. Pemesanannya pun tidak secara langsung lagi, sebab kemudian saya mulai berani mencoba pesan hotel lewat aplikasi online.
Sepanjang pengalaman saya, ada tiga aplikasi booking hotel yang pernah saya gunakan. Traveloka, Booking, dan Agoda. Namun sejauh ini, yang paling sreg, serta masih sering saya gunakan sampai sekarang adalah yang Traveloka.
Nggak tahu kenapa, di antara sekian banyak aplikasi booking hotel online yang ada, saya selalu merasa lebih nyaman kalau pakai Traveloka. Ya sesekali saya juga masih pakai aplikasi lain, tapi yang paling sering kelihatannya ya Traveloka.
Ada beberapa alasan kenapa saya lebih suka pakai Traveloka. Pertama, karena ia produk Indonesia dan pakai mata uang rupiah (Saya malas kalau harus ngitung konversi dolar ke rupiah soalnya). Kedua, harganya sudah pas alias sudah final, nggak ada harga atau biaya tambahan dan tetek bengek lainnya. Dan ketiga, alias alasan yang paling besar, proses bookingnya bagi saya (yang nggak tekno-tekno amat) cukup simpel dan bisa dibayar via transfer biasa tanpa harus pakai kartu kredit. Bagi saya ini cukup prioritas, sebab saya tak punya kartu kredit. Dulu sempat coba aplikasi Booking.com yang sebenarnya punya harga tak jauh beda sama harga Traveloka, prosesnya juga nggak kalah mudah sama Traveloka, hanya saja, untuk hotel-hotel tertentu, proses bookingnya harus pakai kartu kredit, mangkanya saya jarang pakai Booking.com.
Pesan hotel lewat aplikasi booking online ini kelak memberikan pengalaman baru yang membikin saya ketagihan. Sebab ternyata, kalau pesen alias booking hotel pakai aplikasi semisal Traveloka, begitu, ternyata harganya jauh lebih murah ketimbang pesen langsung di hotel. Dan bedanya lumayan kerasa lho, bahkan bisa sampai 40%-nya. Misal sampeyan pesen langsung di hotel 400 ribuan, kalau pesen lewat aplikasi bisa dapat 300 ribuan. Kan lumayan untung 100 ribu, bisa buat beli Rinso bubuk 53 gram 20 renteng.
Selain lebih murah, beberapa aplikasi booking online juga gencar memberikan promo diskon yang bisa digunakan oleh para pengguna. Kalau di Traveloka (saya nggak tahu, sampeyan pakai Traveloka, Agoda, Booking, pegi-pegi, atau apa), ada yang namanya fitur “Hotel Last Minutes”, yaitu fitur yang memungkinkan kita untuk memilih hotel yang memberikan promo potongan harga untuk satu malam khusus di hari tersebut. Beberapa kali saya dapat promo harga murah lewat fitur ini, dan bisa menginap di hotel yang lumayan berbintang dengan harga yang lumayan nggak berbintang. Saya nggak tahu, kalau di aplikasi booking lain fitur seperti ini ada atau tidak dan namanya apa, tapi yang jelas, fitur semacam ini menurut saya cukup menarik, terlebih bagi calon penginap miskin atau yang doyan cari diskonan.
berkali-kali menginap di hotel membuat saya cukup punya banyak pengalaman perihal dunia hotel. Satu yang cukup saya ingat tentu saja sewaktu menginap di salah satu hotel budget di bilangan Tugu Muda di Semarang. Kala itu, begitu selesai check in, saya langsung menuju kamar dan langsung ke kamar mandi sebab air kemih sudah memberontak pengin keluar.
Di dalam kamar mandi, saya kaget bukan kepalang, sebab di sana hanya ada closet, tanpa ada shower yang buat mandi. “Hotel macam apa ini, kok cuma closet thok, nggak ada showernya, dikiranya mandi bisa dirapel sama cebok apa?”
Barulah kemudian prasangka buruk saya tertutup. Sebab ternyata toilet sama yang buat mandi berada di ruangan yang terpisah. Fakta yang kemudian tetap membikin saya bergumam “Hotel macam apa ini? Mosok shower sama toilet ruangannya dipisah, inovasi kok nanggung banget, ha mbok sekalian ranjangnya yang dipisah”
Kali lain, saya juga pernah menginap di hotel yang siaran tivinya tidak jelas. Satu-satunya channel yang tampilannya paling bagus dan jelas hanya TVRI Jogja. Hal yang kemudian memaksa saya untuk mengambil dua pilihan kesimpulan: 1. Hotelnya terlalu miskin untuk ganti tivi, atau 2. Hotelnya memang punya semangat yang besar untuk menampilkan kearifan lokal kepada tamu. Dan sebagai pribadi yang khusnudzon, Tentu saja saya pilih kesimpulan yang nomor 2.
Di kesempatan yang lain, saya pernah juga dapet hotel yang cukup wah. Kasurnya lebar, desainnya klasik, dan kamar mandinya ada bathtub-nya. Tadinya saya senang bukan kepalang, lha kapan lagi bisa mandi pakai bathtub kaya mandinya squidword? tapi kemudian kesenangan itu mendadak sirna, karena saya kemudian malah takut sendiri kalau mandi di bathtub sebab teringat adegan-adegan yang ada di film-film horor. Jadilah seharian itu saya nginep di hotel tersebut dan blas nggak mandi.
Nah, tapi dari segala pengalaman dan kesan menginap di banyak hotel yang pernah saya lalui, Ada satu kebiasaan yang sampai sekarang hampir selalu sulit saya hilangkan, yaitu kebiasaan untuk selalu membawa pulang kopi, teh, dan gula gratis yang disediakan oleh hotel. Entah mengapa, walaupun saya sudah jadi penulis dan blogger yang lumayan tenar (*Ya ampuuun, semoga ini terakhir kali saya kemaki*), tapi ternyata tetep saja jiwa ngirit dan nggragas saya tak bisa disembunyikan.
Ini tentu kebiasaan yang sebenarnya buruk, sebab ini bukan melulu soal pengiritan dan ke-nggragas-an, karena saya sering menggunakan kopi, teh, dan gula hotel ini sebagai bahan pamer dan bukti ke teman-teman saya kalau saya sering menginap di hotel.
Kebiasan buruk ini agaknya menurun dari bapak saya, sebab bapak saya juga punya kebiasaan yang walaupun berbeda namun hampir sama konteksnya. Belio kalau naik pesawat, tiketnya selalu disimpan, katanya bisar bisa buat pamer kalau ia pernah naik pesawat.
Mengantri Karcis Bioskop
Yang menyebalkan dari mengantri karcis bioskop di jam-jam film sudah mau mulai adalah menahan emosi terhadap para pengantri di depan kita.
Sudah tahu antrian panjang, film sudah hampir dimulai, para pengantri di belakangnya sudah tidak keburu waktu, tapi ia masih saja tidak mempersiapkan uang dalam genggaman, sehingga begitu sampai di depan petugas karcis, ia masih harus sibuk mengeluarkan dompet dari dalam tas, lalu kemudian mengeluarkan uang dari dalam dompet.
Lebih menyebalkan lagi kalau ternyata begitu dompet didapat, ia bukannya ambil duit, tapi malah kartu debit, yang mana akan membutuhkan waktu buat input pin dan tetek bengek lainnya.
Tambah bajingan lagi kalau ternyata sudah tahu kalau antri banyak, tapi loket karcis yang buka cuma satu.
Dan yang paling bajingan adalah, begitu tiba waktu antrian kita, ternyata film sudah dimulai atau kita cuma kebagian bangku bagian depan.
Kepada kalian para pencinta film yang senantiasa menyiapkan uang pas di tangan sewaktu mengantri karcis, semoga Gusti Alloh senantiasa memberkahi hidup kalian.