Agus Mulyadi Njaluk Rabi

Enam Tahun Pernikahan

| Thursday, 11 December 2025 |

Hari ini, tepat enam tahun saya menjadi suami Kalis Mardiasih. Tak menyangka juga, sudah enam tahun lamanya kami menjalani rumah tangga yang penuh dengan akrobat dan atraksi ini. Konon katanya, ujian pernikahan paling dasar adalah lima tahun pertama, dan ternyata kami sudah melalui tahun ke enam dengan selamat, tanpa saling bunuh, tanpa luka fisik yang berarti, dan saya pikir, itu hal yang layak dirayakan.

agus mulyadi kalis mardiasih

Kalis datang sebagai perempuan yang menambal hidup saya yang penuh dengan lubang-lubang kekalahan. Ia membawa apa saja yang membuat saya optimis sebagai seorang lelaki. Kalis perempuan tangguh, nekat, cerdas, penuh perhatian, dan tentu saja, tabah. Berhasil menjadi suaminya adalah salah satu kebanggaan hidup saya. Dan karena alasan itu, dan juga alasan-alasan yang lain, saya selalu ingin merayakan ulang tahun pernikahan kami.

Namun, tahun ini, saya merasa agak sentimentil untuk merayakan anniversary pernikahan saya. Hari ini, persis di tanggal yang sama dengan tanggal pernikahan kami, dua kawan kami, Dera dan Munif akhirnya menikah. Tentu saja itu bukan pernikahan yang mudah, sebab keduanya, sekitar dua minggu lalu, ditangkap polisi karena dituding melakukan penghasutan dalam rangkaian demonstrasi akhir Agustus 2025.

Dera adalah staf advokasi Walhi Jawa Tengah, sementara Munif adalah aktivis Aksi Kamisan Semarang. Seminggu sebelum ditangkap, mereka berdua mampir ke rumah kami. Mereka bercerita tentang rencana bahagia mereka untuk menikah. Mereka jelas tak menyangka, bahwa rencana indah yang mereka ceritakan kepada kami itu ternyata berjalan tak sesuai yang diharapkan. Rencana itu buyar oleh penangkapan.

“Dera dan Munif ditangkap,” kata Kalis melalui pesan WA. Saya ikut getun dengan penangkapan itu, terutama karena saya tahu, mereka akan menikah dalam waktu dekat.

Pasca penangkapan, banyak yang membela Dera dan Munif, sebab mereka memang ditetapkan sebagai tersangka tanpa proses pemeriksaan yang memadahi. Aksi solidaritas untuk menuntut pembebasan mereka bergema di mana-mana.

Maka, ketika saya mendapat kabar bahwa tanggal 10 kemarin permintaan penangguhan penahanan yang untuk mereka dikabulkan dan paginya mereka langsung melaksanakan akad pernikahan secara sederhana di Madiun, ada semacam rasa haru dan bahagia yang merayap di dalam dada saya.

Saya membayangkan Dera dan Munif duduk bersama di pelaminan kecil, mungkin masih ada bekas gatal gigitan nyamuk sel di lengan mereka, tapi senyum tetap mengembang di bibir mereka, bukan senyum biasa, melainkan senyum kemenangan. Bahwa negara bisa memenjarakan tubuh, tapi tidak bisa menunda jatuh cinta.

Sebelum Dera dan Munif, kawan saya yang lain, Paul, diciduk lebih dahulu. Sama seperti Dera dan Munif, Paul rencananya akan menikah bulan ini, dan ndilalah kok ya sama-sama ditangkap karena dituding melakukan penghasutan dalam rangkaian demonstrasi akhir Agustus 2025.

Saya agak kaget saat aktivis Aksi Kamisan dan Social Movement Institute itu diciduk, sebab sehari sebelum ditangkap, saya masih bertemu dengannya di aksi Kenduri Suara Ibu Indonesia yang menuntut evaluasi total program MBG di bunderan UGM.

Chilla, pacar Paul, yang mengabari saya kalau Paul ditangkap. Saya membayangkan betapa Chilla sangat kelelahan menghadapi proses penangkapan Paul, terlebih Paul sempat dioper dari Polda DIY ke Polda Jatim. Paul resmi ditahan di Polda Jatim sejak 28 September 2025.

Tak berselang lama setelah Paul ditahan, tim kuasa hukum mengajukan penangguhan penahanan untuknya. Saya ikut menjadi salah satu penjamin untuk penangguhan penahanannya. Belakangan, pengajuan penangguhan penahanan untuknya dikabulkan.

Seminggu yang lalu, Paul dan Chilla datang ke rumah kami mengantarkan undangan pernikahan mereka. Ada sedikit keharuan saat mereka datang, walau tentu saja, saya tak kuat juga tidak menggoda Paul.

“Mentang-mentang habis ditangkap, trus bawa roti mereknya Mako Brimob,” kata saya megomentari roti Mako yang mereka bawakan buat kami.

Melihat Dera, Munif, Paul, dan Chilla, saya jadi teringat apa kata Prie GS, salah satu penulis favorit saya. Hidup ini memang seperti aliran sungai, kadang tenang, kadang banjir bandang, dan kita hanyalah batu-batu kali yang dipaksa bertahan dari gerusan arus.

Ah, pernikahan, pada akhirnya, adalah bentuk perlawanan paling sederhana. Di tengah negara yang hobi menangkap warganya sendiri, di tengah kebijakan yang lebih sering bikin sakit perut daripada puas hati, keputusan untuk berkomitmen mencintai satu orang seumur hidup adalah tindakan yang berani.

Pernikahan Dera-Munif yang sempat tertunda dan kegelisahan Chilla menanti Paul adalah monumen pengingat, bahwa di negeri ini, mencintai dengan wajar saja butuh nyali yang luar biasa.

Mungkin itulah kenapa anniversary keenam ini terasa begitu sentimentil. Kata orang, ketahanan warga negara tidak diukur dari ketiadaan penderitaan, melainkan dari kemampuan untuk tetap merayakan hidup, mencintai, tertawa di tengah hidup yang bobrok dan makin senewen, serta berlagak kuat di bawah kekuasaan yang paranoid yang bahkan tak segan memaksa cinta untuk bertiarap.

Maka, untukmu, Kalis Mardiasih, terima kasih sudah mau menampung selama enam tahun sosok imbas-imbis bernama Agus Mulyadi itu. Terima kasih sudah menjadi tempat untuk pulang ketika dunia di luar sana makin gila, terima kasih sudah menyediakan cinta yang besar buatku, dan yang paling penting, terima kasih sudah melahirkan Raras. Kalian berdua melengkapi hidupku, kalian berdua alasan terbesarku kenapa aku masih ingin hidup lebih lama.

agus kalis raras

Kalis, sayangku, ibu dari anakku, mari tertawa lebih keras lagi, karena cuma dengan cara itu kita bisa membalas dunia yang sering tidak baik-baik saja ini.


Sawer blog ini

0 komentar :

Post a Comment

Tentang Saya

Agus Mulyadi, seorang blogger, penulis, dan digital storyteller. Lahir di Magelang, 3 Agustus 1991. Sering menulis artikel ringan tentang politik, sosial, isu-isu populer di media sosial, serta catatan reflektif tentang kehidupan sehari-hari utamanya yang berkaitan dengan kehidupan pribadi, kawan, dan keluarga.

Pernah bekerja sebagai pemimpin redaksi di Mojok.co, sebuah media opini alternatif berbasis di Jogja. Sekarang menjadi manajer di Akal Buku, sebuah toko buku online sederhana yang saya jalankan bersama istri saya.
 
Copyright © 2010 Blog Agus Mulyadi , All rights reserved
Design by DZignine . Powered by Blogger