Lebaran tinggal menunggu waktu. Satu per satu orang-orang mudik, melepaskan sejenak hal-hal bising dan kerasnya perantauan. Mencoba menemui lagi kampung halaman yang tak pernah bosan memeluk kita dengan segala romantisme masa lalu serta kenangan konyol dan tengik tetapi ngangeni itu.
Sejak dua hari lalu, beberapa kawan yang merantau sudah mulai menampakkan diri. Kami lantas mengatur jadwal untuk nongkrong, melepaskan kerinduan, mencoba mengulang kembali masa-masa saat kami semua masih menjadi anak kecil yang beranjak remaja, masa-masa ketika berkumpul bersama adalah hal yang sangat biasa.
Dulu mungkin kami berpikir, kami selamanya akan bisa menghabiskan ramadan dengan segala kemewahan anak kecil: menunggu waktu berbuka sambil menunggu jatah pembagian jaburan takjil di surau bersama kawan-kawan satu TPQ, berangkat tarawih beramai-ramai, berkeliling kampung sambil berlagak sok heroik menabuh tetabuhan membangunkan orang sahur seolah nasib santap-sahur seluruh warga kampung ada di tangan kami.
Namun, ternyata bukan begitu cara waktu bekerja. Usia terus merambat, dan kami dipaksa tumbuh dewasa, tak peduli sekeras apa pun kami mencoba menahan laju waktu.
Kami harus menerima kenyataan, bahwa kami bukan anak-anak lagi. Kami telah menjadi laki-laki yang harus bekerja, menjadi tulang punggung bagi keluarga kami masing-masing.
Sebagian dari kami cukup beruntung bisa mendapatkan pekerjaan yang layak di kota sendiri. Sebagian lain masih menerima nasib menjadi pengangguran. Dan sebagian lainnya harus merantau sangat jauh demi pekerjaan yang menopang harga diri kelelakiannya.
Kata orang, laki-laki tak boleh miskin sebab dunia jahat kepada laki-laki miskin. Kami paham betul hal itu, dan untuk alasan itulah kami tumbuh dewasa.
Lebaran selalu berhasil mempertemukan kami kembali. Dan itulah kemewahan kecil yang layak kami rayakan.
Berkumpul, meminum kopi, membicarakan banyak hal, tentang asmara, tentang kenakalan masa lalu, tentang betapa kami dulu sangat bodoh dan mudah sekali cekcok karena alasan-alasan konyol yang tak jelas. Malam yang menyenangkan di waktu yang kelewat sempit.
Minggu depan, sebagian dari kami harus kembali ke perantauan dan bekerja. Kami akan sibuk dengan pergulatan hidup kami masing-masing. Dan itu tak mengapa.
Mungkin memang itulah tirakat yang harus kami jalani, demi menunggu waktu saat kami menjadi tua dan peyot, lalu berkumpul di acara hajatan atau kematian salah satu dari kami, sambil membicarakan betapa lucunya cucu kami masing-masing.
Mudik dan Mengenang Masa Remaja
Oleh
Agus Mulyadi
|
Friday, 28 March 2025
|

0 komentar :
Post a Comment