Dalam perjalanan pulang setelah mengisi diskusi kepenulisan di Perpustakaan BI Solo tadi siang, saya singgah sejenak di salah satu SPBU di jalan raya Solo-Jogja untuk sholat zuhur sekalian mengisi angin karena ban mobil bagian depan saya agak kempes.
“Tak tunggu kene yo,” kata kawan saya Paijo, tepat di dekat gerai pengisian nitrogen sambil menunggu antrean mobil di depan mobil kami yang juga sedang mengisi angin. Paijo memang sering saya minta buat ngancani saya kalau saya ngisi acara ke luar kota, biar ada kawan ngobrol dan bisa gantian nyetir kalau pas saya pengin tiduran di mobil.
Saya turun dari mobil dan langsung mengedarkan pandangan mencari posisi mushola. Tak butuh waktu lama bagi saya untuk segera menemukannya.
Mushola di SPBU yang saya singgahi ini posisinya berada di lantai dua, sementara lantai satunya, seingat saya, dipakai sebagai toilet dan minimarket. Benar-benar SPBU yang punya semangat spiritual yang mumpuni. Makin tinggi letak mushola, makin dekat jarak doa yang dipanjatkan untuk diangkut ke langit.
Saat saya naik ke lantai dua melalui tangga, seorang lelaki setengah baya berbaju batik dan berpeci hitam tampak duduk termenung di salah satu anak tangga. Pandangannya terlihat kosong, dan itu membuat saya agak ragu untuk sekadar menyapa atau menyunggingkan senyum, sehingga saya memilih untuk melewatinya begitu saja.
Sesampainya di mushola, saya langsung melepas sepatu dan menghambur ke tempat wudhu. Dan sial, pengelola SPBU yang saya singgahi ini ternyata hanya pintar memilih posisi mushola, tetapi tidak pintar memilih keran wudhu. Seperti layaknya keran di rumah subsidi, keran di tempat wudhu ini adalah keran besi murahan sejuta umat, kalian pasti paham yang saya maksud: keran yang kalau diputar kecil, airnya menyebar ke mana-mana, tetapi kalau diputar agak besar, airnya menyembur dengan sangat brutal dan tidak kenal ampun.
Konon selain penaklukan Konstantinopel oleh Muhammad Al-Fatih, momen kemenangan umat Islam berikutnya ditandai dengan keluarnya instruksi dari Erick Thohir agar seluruh mushola di SPBU Pertamina mengganti keran wudhunya dengan keran merek Toto dan Paloma. Dan itu tampaknya masih akan sangat lama.
Setelah selesai berwudhu (yang agak disertai dengan sedikit umpatan tipis-tipis), saya segera masuk ke mushola.
Tidak ada satu orang pun di barisan shaf laki-laki, sementara di barisan shaf perempuan, ada seorang perempuan yang tampaknya baru saja selesai menunaikan sholatnya.
Karpet mushola yang bersih dengan kualitas yang baik membuat saya bisa menunaikan sholat dengan nyaman, sekaligus agak bisa menambal kesalahan pemilihan kualitas keran air di tempat wudhunya.
Selesai sholat, saya buru-buru keluar dan memakai sepatu. Tepat saat saya mengikat tali sepatu sebelah kiri saya, lelaki setengah baya yang tadi duduk di anak tangga tiba-tiba datang menghampiri saya. Kali ini, pandangannya jauh lebih baik, tak lagi kosong seperti sebelumnya.
“Mas, njenengan naik mobil, nggih?” tanya si bapak dengan nada yang sangat sopan layaknya keramahan seorang penjual souvenir di Candi Borobudur yang sedang menawarkan dagangannya kepada turis manca.
“Nggih, Pak. Pripun?” jawab saya dengan nada yang tak kalah ramah.
“Begini, Mas,” ujarnya agak ragu, “Njenengan tujuannya mana?”
“Saya Jogja, Pak.”
“Nganu, mbok kalau boleh, saya nunut numpang,” ujarnya dengan wajah yang penuh rikuh.
“Wah, numpang sampai mana, Pak?”
“Ya sampai Jogja, Mas.”
“Lha memangnya njenengan mau ke mana? Kok sampai butuh tumpangan?”
“Jadi begini, Mas…” si bapak mulai menjelaskan situasi yang sedang ia alami.
Ia menjelaskan bahwa dirinya awalnya berkendara naik motor berboncengan dengan istrinya menuju Wonosobo, tetapi di tengah perjalanan, motornya menabrak kendaraan lain. Saya tak tahu yang ia tabrak itu mobil atau motor. Namun yang jelas, motor miliknya itu kemudian ditahan sebagai jaminan ganti rugi sebab kendaraan yang ia tabrak mengalami kerusakan.
“Uang saya habis, Mas,” terangnya, “Saya bingung mau gimana lagi.”
“Lha istri njenengan di mana?”
“Itu di dalam,” jawabnya sambil menunjuk arah mushola. Rupanya perempuan yang tadi berada di barisan shaf perempuan itu adalah istri si bapak yang sedang menjadi lawan bicara saya ini.
Sejujurnya, itu adalah permintaan pertolongan yang sederhana saja, tetapi entah kenapa, saya bingung bagaimana menjawabnya.
“Saya tak ngomong dulu sama temen saya nggih, Pak, soalnya saya juga numpang,” jawab saya sedikit berbohong, mencoba mengalihkan “beban” saya kepada Paijo.
“Nggih, Mas,” kata si Bapak. “Nyuwun tulung, nggih.”
Saya kemudian turun dan segera menemui Paijo dan menanyakan bagaimana pendapatnya.
“Tulungi ora?” tanya saya.
Paijo, dengan pertimbangan seorang sopir yang sudah berpengalaman, tenyata tidak butuh waktu lama untuk menolak. “Aku ora wani, Gus. Samare wong modus,” kata Paijo.
Saya mendengarkan alasan Paijo itu dengan seksama dan mencoba menimbang-nimbang resiko yang mungkin akan saya dan Paijo dapatkan kalau kami nekat memberikan tumpangan kepada orang asing yang belum kami kenal.
“Aku bukane pelit yo, Gus. Dan aku mudeng, awakmu mesti pengin banget nulungi bapak kuwi. Tapi jaman saiki wong kriminal ki akeh dalane je. Nek umpomo aku karo kowe digendam piye?” kata Paijo mencoba menjelaskan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja kami hadapi. “Umpomo bapake kuwi nggowo sajam piye? Kan ra mungkin juga kowe nggeledah deknen tho?”
Saya rasanya ingin membantah Paijo. Bagi saya, sangat kecil kemungkinan yang ia sampaikan. Tetapi, sekecil apa pun kemungkinan, ia tetaplah kemungkinan yang mungkin saja terjadi. Jujur saja, terbersit juga kekhawatiran saya tentang apa yang dikatakan oleh Paijo, apalagi bukan cuma sekali dua kali saya membaca berita tentang penumpang taksi online yang membegal driver yang mengantarnya.
Namun, saya juga tidak bisa memberikan alasan yang meyakinkan untuk bisa menjamin bahwa apa yang Paijo khawatirkan itu tidak mungkin terjadi. Dan dalam hal ini, posisi saya lemah, sebab Paijo sudah bertahun-tahun menjadi sopir, apa saja yang ia katakan tentang kejahatan jalanan, tentu jauh lebih otoritatif ketimbang saya.
Pada akhirnya, setelah melalui sedikit perdebatan kecil dan pergolakan batin yang cukup sengit, saya akhirnya memutuskan untuk tidak menolong pasangan suami-istri itu. Dan tepat saat saya memutuskan itu, hati saya terasa agak sesak.
“Ya wis, tak ngomong karo bapake nek ngono,” kata saya.
“Rasah ngomong!” kata Paijo mencoba mencegah saya, “Teko langsung tinggal wae, kowe nek ngomong malah ora tegel le nolak.”
Kami berdua pun akhirnya berlalu. Mobil kami melaju keluar dari SPBU meninggalkan pasangan suami-istri yang mungkin memang sangat membutuhkan pertolongan itu.
Sepanjang perjalanan, pikiran saya berkecamuk. Ada kelegaan, tapi juga muncul penyesalan. Dan semakin jauh jarak mobil kami meninggalkan SPBU, semakin besar pula penyesalan yang hadir menyertai saya. Bagaimana seandainya posisi pasangan suami-istri itu adalah bapak dan ibu saya? Bagaimana kalau anak pasangan suami-istri itu sudah menunggu kabar bapak dan ibu mereka yang belum juga sampai ke rumah? Kenapa tadi saya tidak menolong mereka dengan memberikan uang saja sebagai ongkos naik bis? Dan aneka pertanyaan keparat lain yang membayangi kepala saya.
“Wis, tenangmo pikirmu,” kata Paijo yang tampaknya paham bahwa kawan di sebelahnya itu belum bisa sepenuhnya merelakan diri.
Saya mencoba los, tapi ternyata, itu bukan hal yang mudah.
Ya Tuhan, saya benci kecurigaan ini, saya benci perasaan terancam ini, saya benci dengan syak wasangka ini, dan yang jelas, saya benci dengan kepengecutan saya untuk mengambil resiko. Maafkan saya, Tuhan.

0 komentar :
Post a Comment