Kemarin siang saya berkesempatan mengisi di acaranya kawan-kawan prodi Pemikiran Politik Islam UIN Surakarta berduet bersama Mas Zainal Arifin Mochtar alias Mas Uceng.
Jelas ini sesi yang agak bernuansa ketabahan, sebab tim favorit saya dan Mas Uceng sama-sama baru saja menelan kekalahan memalukan di final dan sama-sama gagal tampil di kompetisi Eropa musim depan. Saya fans MU, sementara Mas Uceng fans Milan.
Saya dan Mas Uceng adalah tetangga dekat di Ngaglik. Rumah Mas Uceng hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumah saya. Namun, walau tetangga dekat, input kami sebagai personal sangat berbeda. Rumah Mas Uceng dekat sekali dengan masjid, sementara rumah saya dekat sekali dengan lapangan mini soccer.
Mas Uceng terbiasa mendengarkan kalimat-kalimat thoyyibah dari masjid, entah ceramah atau bacaan ayat suci Al-Quran. Sementara saya terbiasa mendengarkan kalimat “Oper kene, Su!” atau “Wooo, goblok, bal penak ngono kok ora gol!”
Kiranya itulah yang membuat kami menjadi pribadi yang sangat berbeda. Mas Uceng kini dikenal sebagai dosen dan salah satu pakar hukum tata negara paling jempolan di negeri ini. Ia sosok yang sangat berpendidikan, wajahnya sangat tut wuri handayani, gerak-geriknya sangat pedagogi. Ibarat kata, melihat wajahnya saja sudah membuat seseorang merasa terdidik.
Sementara saya, jelas jauh panggang dari api. Pendidikan saya mentok cuma sampai SMA, dan wajah saya pun jelas bukan gambaran ideal wajah seorang cendekia, semacam wajah yang jauh lebih pantas seandainya dijadikan sebagai cover buku “Pendidikan Kaum Tertindas”-nya Paulo Freire.
Jelas ini kesenjangan yang sangat besar. Mangkanya, tempo hari, saya agak jiper saat Dafi, mantan anak buah saya dulu (uhuk) yang sekarang sudah jadi Kaprodi di UIN Surakarta itu meminta saya buat berduet dengan Mas Uceng.
Puji Tuhan, performa saya ternyata tidak njeglek-njeglek amat saat beradu dengan Mas Uceng. Bahkan setelah selesai acara, mahasiswa yang meminta saya buat berfoto tak kalah jumlahnya dengan mahasiswa yang meminta foto bersama Mas Uceng.
Puncaknya adalah saat di ruang transit sesaat setelah Mas Uceng pulang. Saya berbisik pelan kepada Dafi. “Daf, iki jujur-jujuran wae. Aku penasaran. Honorku ro honore Mas Uceng gedhe sopo?”
“Podo,” jawab Dafi.
Tepat saat jawaban itu keluar dari mulut Dafi, saya merasa segala kesenjangan intelektual tadi langsung hilang seketika.
Northwestern University - 1
SMA Tidar - 1

0 komentar :
Post a Comment